Lemah?

4.5K 259 3
                                    

"Apa kau tidak memiliki perkerjaan? Mengapa kau sering sekali mengunjungiku?" ujar Lena kepada Daniel yang duduk di kursi di samping ranjangnya. Ini kali ketiga pria itu duduk di kursi di sampingnya dan itu membuat Lena begitu kesal.

"Aku hanya khawatir dengan keadaanmu, sayang," ungkap pria itu.

"Jika kau terus menggangguku, aku yakin kondisiku tidak akan membaik. Dan satu lagi, berhenti memanggilku seperti itu. Sungguh menjengkelkan mendengarnya!"

"Bukankah itu bagus? Semakin lama kau berada di sini maka semakin dekat aku denganmu." Pria itu berlagak berpikir. "Hemm... Sepertinya aku harus mengatur ulang jadwalku agar bisa menyisihkan waktu untuk menjengukmu setiap hari."

Lena menatap Daniel dengan tajam, raut ketidaksukaan jelas terlihat di wajahnya. Sedangkan pria yang ditatap hanya terkikik, merasa geli dengan wajah kesal istrinya.

"Baiklah sayang. Aku tidak akan mengunjungimu lagi, tapi..." Daniel menghentikan perkataannya, ia kesal melihat wanita itu yang mengabaikannya dan justru terpaku dengan layar ponselnya. "Kau harus benar-benar beristirahat," sambungnya sambil merampas ponsel dari tangan Lena.

"Brengsek!!! Kembalikan ponselku!" katanya pada Daniel. Kali ini pria itu yang mengabaikan perkataan Lena. Ia melirik ponsel Lena yang ada di tangannya, mematikannya dan memasukan benda itu ke dalam sakunya.

"Istirahatlah, dua jam lagi Romi akan menjemputmu."

"Hei!!! Kembalikan ponselku, brengsek!!!"

Daniel merendahkan kepalanya mendekati wajah Lena. Ia mengerang ketika dengan cepat wanita itu menutup bibirnya dengan telapak tangan kanannya yang tidak tertusuk jarum infus. Sepertinya wanita itu sudah mulai bisa membaca gelagatnya.

"Tidak perlu emosi, sayang. Turuti perkataanku maka aku akan mengembalikan ponselmu," ucapnya di atas wajah Lena. Setiap udara yang keluar dari bibirnya menyapu rambut-rambut halus yang menutupi kening wanita itu.

Sialan! Jarak mereka terlalu dekat. Belum lagi salah satu tangannya masih diinfus. Dalam kondisi tubuhnya yang melemah seperti sekarang, melawan adalah pilihan yang sangat buruk.

"Bagaimana? Kau mau menuruti perintahku?" Pria itu berkata masih dalam posisi dan jarak yang sama.

Lena mengangguk pelan.

"Bagus," ucap Daniel sembari mengecup kening Lena. Ia mengangkat wajahnya menjauhi wajah wanita itu. "Aku harap kali ini kau benar-benar istirahat. Jika tidak, aku akan memastikan kau tidak akan keluar dari apartemenku, sayang."

Pria itu beranjak dari tempatnya, ia berjalan ke arah pintu.

"Aku tidak akan mengikuti perkataanmu, brengsek!!!" acam Lena sambil menyemburkan sumpah serapahnya kepada Daniel. Pria hanya tersenyum, memandang Lena sebentar, membuka pintu dan melenggang keluar dari ruangan itu.

Tepat dua jam kemudian, Romi menjemput Lena. Pria itu membawanya ke salah satu apartemen mewah di Jakarta Pusat. Keraton Residence. Apartemen super mahal yang menempati posisi teratas dari lima daftar apartemen dengan harga tertinggi di Jakarta. Dengan harta yang berlimpah, Lena sama sekali tidak heran mengapa Daniel bisa menempati apartemen bintang lima itu. Ia hanya merasa kesal karena pria itu mengajaknya untuk tinggal di apartemen yang terletak di kawasan Bunderan Hotel Indonesia itu. Ia bisa menduga apa yang akan dialaminya jika ia tinggal di sana. Macet. Macet. Dan macet. Huh!

"Ini kamar Anda, Nyonya." Romi menunjukan sebuah kamar Grand Deluxe ke Lena. Wanita itu membuka kamar itu. Ia bisa melihat perabotan mewah yang ada di dalam kamar yang didominasi dengan warna putih, hitam dan abu-abu itu.

"Apa Daniel juga tidur di kamar ini?"

"Tentu saja, Nyonya." Ucapan Romi membuat Lena melangkah keluar. Ia memasuki kamar di sebelahnya –kamar yang sedikit lebih kecil dari kamar Daniel. Wanita itu menutup pintunya lalu dengan cepat merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Gila saja! Apakah pria itu berencana untuk tidur sekamar dengannya?

"Nyonya. Tuan mengatakan agar anda tidur di kamar utama," seru Romi dari luar kamarnya. Lena mengabaikan perkataan Romi. Ia memilih untuk melarutkan dirinya dengan rasa kantuknya.

XXXXX

Sinar matahari pagi membangunkan Lena. Wanita itu masih dalam kondisi setengah sadar tapi ia ingat betul di mana ia berada sekarang. Ia harus segera kembali ke Bandung. Hari ini ialah hari terakhir dari deadline yang ditentukan oleh perusahaannya. Jika ia tidak menerbitkan sekarang, maka habislah sudah karirnya.

Lena sudah selesai mandi dan sudah berpakaian rapi. Entah sejak kapan semua pakaiannya yang ada di apartemennya di Bandung, kini sudah berpindah ke kamar yang ada apartemen milik Daniel itu. Ini pasti ulah Sang Dokter. Sialan!

"Selamat pagi, Lena," sapa seorang pria. Daniel. Pria itu tengah duduk di ruang makan. Di depannya sudah berjejer aneka jenis makanan yang mengiurkan. Sepertinya pria itu menyiapkan semua makanan itu sendiri, karena menurut keterangan Romi yang Lena dengar kemarin, pria itu tidak pernah menggunakan pelayan untuk menyiapkan kebutuhannya.

"Kau tidak ingin sarapan?" ucap pria itu lagi. Jika ingin jujur, sebenarnya saat ini Lena benar-benar dalam keadaan lapar. Apalagi setelah melihat makanan-makanan yang ada di atas meja, membuatnya sangat tergoda untuk menyicipinya. Agh! Persetan dengan sarapan! Lena sudah terlambat. Ia harus segera kembali ke Bandung.

Lena melangkahkan kakinya menuju pintu apartemen. "Menyingkirlah Romi. Aku harus segera pergi," katanya kepada Romi yang berdiri di depan pintu, berusaha menghalangi langkah wanita itu.

"Dia tidak akan menyingkir dari sana jika kau belum menghabiskan sarapanmu, sayang." Suara baritone itu kembali terdengar dari ruang makan. Membuat Lena mau tak mau berjalan kehadapan pria itu.

Lena mengebrak meja. "Apa maumu brengsek? Sudah ku katakan jangan mengaturku!" Aura mengintimidasinya yang begitu jelas membuat Daniel menghembuskan napasnya. "Jika kau berpikir ingin mengekangku, aku katakan bahwa kau tidak akan pernah berhasil! Kau bisa saja mengikatku dengan pernikahan sialan ini. Tapi kau tidak akan bisa menghentikanku. Dengar, aku akan melakukan apapun tapi aku tidak akan membiarkan ambisiku dihancurkan," ucapnya dengan lantang.

Lagi, Daniel menghembuskan napasnya. Ia berdiri dari kursinya. Dengan pelan ia memegang tangan Lena dan mendudukkan wanita itu di salah satu kursi yang ada di ruangan itu. Pria itu mengambil serbet dan meletakkannya di pangkuan Lena.

"Kau harus sarapan, Lena," tuturnya lembut.

Lena memalingkan wajahnya tepat di dekat wajah pria itu. "Aku takkan membiarkan siapapun menghancurkan ambisimu, sayang." Mata hazel pria itu menatapnya lekat-lekat, senyuman tipis tergambar di bibirnya. "Jika tidak bisa hidup sebagai pasangan, tidak bisakah kita hidup sebagai teman? Aku tidak akan melakukan apa pun yang kau tidak setujui. Begitu juga denganmu, kau harus melakukan apapun dengan seizinku."

Deg!

Lena merasa ada sesuatu yang mengusik. Sebuah rasa yang sulit untuk didefinisikan yang membuatnya tidak bisa berkata apapun, seolah terhipnotis oleh wajah tampan dan perkataan pria itu.

"Habiskan sarapanmu. Aku pastikan kau akan tiba di Bandung tepat waktu." Daniel mengusap kepala Lena sebentar, kemudian melenggang pergi meninggalkan Lena yang diawasi oleh asistennya, Romi.

Apa ini? Apakah ia akan mengikuti perkataan pria itu? Ayolah. Di mana Lena yang dulu? Lena yang bebas tanpa ada yang bisa mengaturnya. Lena yang bisa dengan mudah menaklukan hati para lelaki tanpa sekali pun bisa ditaklukan. Yang ia temukan saat ini hanyalah seorang perempuan munafik. Yah... Memang pada dasarnya rata-rata perempuan di luar sana adalah makhluk yang munafik. Mereka sering berkata baik-baik saja walaupun hati mereka terluka, melepaskan walau mereka ingin digenggam, tersenyum walau ingin menangis dan tertawa walau mereka menderita. Karena setiap perempuan itu berpikir mereka hanya ingin menunjukkan bahwa mereka bisa bahagia. Bahagia tanpa buaian setiap ucapan racun yang terdengar seperti madu. Manis namun berujung tragis.

Munafik? Ya benar. Tapi ia menemukan dirinya lebih buruk dari perempuan di luar sana itu. Ia lebih terlihat seperti perempuan yang... lemah? Oh tidak! Berhenti sampai di sini! Ia tidak akan membiarkan Arlena menjadi perempuan lemah. Sungguh mengerikan!

XXXX

Maaf terlambat... semoga kalian mnyukai part ini yahh...

Jgn lupa komentar dan votenya... Danke ^_^

My Last YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang