Bertemu

5.7K 395 13
                                    


Lena begitu tenang melangkahkan kakinya menyusuri jalanan kecil. Kakinya menendang kerikil-kerikil yang ada di trotoar. Ia tak menghiraukan keadaan kanan dan kirinya. Bahkan ia tak menggubris orang-orang yang menatapnya heran.

Orang-orang itu merasa familiar dengan wajah Lena, namun enggan untuk menyapanya. Mereka berusaha menunduk dan mengetikkan beberapa kata lewat ponsel mereka. Mungkin sebentar lagi nama atau wajah Lena akan muncul di media sosial sebagai bahan gunjingan. Tak masalah. Ia sudah mulai terbiasa akan itu.

"Maaf, kami sedang tidak membuka casting."

Ditolak lagi! Dan ini sudah kelima kalinya dalam sehari ia ditolak untuk mengikuti seleksi menjadi presenter. Sangat menyakitkan memang. Apalagi ketika mereka menolaknya dengan mengaitkannya dengan kasus beberapa waktu lalu. Mereka beranggapan bahwa Lena sudah tidak kredibel lagi untuk menjadi jurnalis. Yang benar saja!

Lena berjalan lemah ke halte bis dan menunggu sebuah bis menuju ke pinggir kota, lalu ia menaikinya. Ia duduk di bangku belakang bis dengan lesu. Merenungkan kegagalannya hari ini. Sampai di sebuah gedung, ia turun dari bis dan berjalan ke kantor berita cetak yang berada di lantai dua gedung itu.

"Lena bisa ke ruangan saya sebentar?" ucap sang pemimpin redaksi dari balik pintu ruangannya.

"Baik Pak."

Lena beranjak dari kursinya dan berjalan ke ruangan atasannya itu. "Ada apa, Pak?"

Pria itu menyodorkan sebuah kertas kepada Lena. "Kau tahu siapa dia?"

Lena memperhatikan profil seorang dokter yang ada di tangannya. Kemudian ia menggeleng.

"Dia adalah dokter yang pernah menangani kasus virus Zika di Perancis."

"Ha? Bagaimana seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah bisa menangani virus itu?"

"Benar! Pertanyaan itu juga yang ada di benak saya. Kebetulan, dokter itu sekarang sedang berada di kota ini. Tepatnya di rumah sakit D."

Mata Lena tiba-tiba berbinar. Entah mengapa ia merasa bahwa berita ini akan menjadi berita yang menarik.

"Bagaimana menurutmu?"

"Sangat menarik, Pak!"

"Bagus! Kalau begitu kau yang menjadi jurnalisnya!"

"Ha? Anda yakin Pak?"

Sang atasan tersenyum lebar. "Tentu. Saya sudah lama mengenalmu dan saya tahu potensi dalam dirimu. Lakukan yang terbaik karena berita ini akan menjadi berita utama di majalah kesehatan kita."

Lena terperangah, "Bapak yakin saya yang menjadi jurnalisnya?"

"Iya Lena."

Wanita itu menatap Pak Adam-atasannya- dengan tatapan tak percaya. Ia sudah banyak menerima bantuan dari atasannya itu. Bahkan sejak mereka dalam satu program lima tahun lalu di New York. Dan sekarang, saat ia tidak memiliki pekerjaan, Pak Adam langsung menghubunginya dan mengajaknya untuk bergabung ke perusahaannya di Bandung. Walaupun sang atasan tetap membebaskan Lena untuk mencoba peruntungan di dunia layar kaca. Dunia yang sangat diinginkan oleh wanita itu.

"Terima kasih, Pak" ucap Lena tulus.

"Sekarang, sebaiknya kau ke rumah sakit itu. Karena besok ia akan pergi ke Jakarta. Akan sangat sulit untuk menemuinya jika ia sudah di Jakarta."

"Baik, Pak. Saya permisi."

Lena membungkukkan badannya dan berlalu. Ia mengambil tasnya dan bergegas ke rumah sakit yang berjarak 16 kilometer dari kantornya.

My Last YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang