Balas Dendam

4.3K 271 27
                                        

Sejenak Lena menutup matanya, membiarkan rasa frustasi dan kekesalannya bercampur aduk dengan kenangannya, kemudian menatap sang psikiater dengan dalam.

Lena selalu menggambarkan masa lalunya seperti campuran awan gelap dan angin ribut. Kedua hal yang menandakan akan terjadinya badai. Tapi ia sekarang harus berani untuk berbicara setidaknya ini untuk dirinya sendiri.

Setelah dua jam bercerita, psikiater itu kemudian bertanya, "Apakah ini saja yang ingin kau katakan padaku, Lena?"

"Apa?" jawab Lena.

"Apa kau tidak memiliki cerita lain yang ingin kau sampaikan?"

Lena merasa kaku dan ragu. Ia tidak sepenuhnya ingin menceritakan masa lalunya kepada orang lain. Ia seakan masih menyembunyikan sesuatu yang terdalam dan sangat menyakitkan di dalam dirinya.

Lena tak pernah menceritakan apapun kepada orang lain sejak ia kecil. Bahkan Lena tak pernah melakukan ritual pengakuan dosa yang pernah diajarkan oleh para suster dulu karena Lena beranggapan takkan ada yang mampu dilakukannya untuk mengubah masa lalu jadi dirinya hanya harus belajar untuk mengatasinya sendiri.

Tapi rasa benci, kepedihan dan rasa bersalah itu tak jua pergi. Mereka seakan mengikat Lena dan menyertai Lena sepanjang hidupnya seolah tak ingin membiarkan Lena hidup dengan tenang.

Semua akan baik-baik saja.

Kata-kata itu terus Lena ulang meski ia tahu bahwa hal itu tak akan terjadi. Sungguh khas.

Daniel meremas tangan Lena, ia berbisik, "Tak apa. Tidak perlu diteruskan." Lena mengangguk.

Setelah menyelesaikan perbincangan, Daniel diminta sang pskiater untuk berbicara. Entah apa yang mereka perbincangkan. Lena tak ingin mengambil pusing. Ia memilih untuk menunggu di ruangan lain sembari menonton televisi yang sedang menayangkan program acaranya dengan presenter lain karena Lena sudah meminta izin dan kebetulan ia sudah menyelesaikan semua pekerjaan untuk tayangan tiga minggu ke depan.

Di ruangan lain, sang psikiater menatap Daniel yang sedang duduk di depan mejanya. "Dokter Daniel, saya sudah menjadi psikiater Lena selama empat tahun."

"Benar dokter. Saya tahu akan hal itu."

"Hari ini anda sudah mendengar Lena menceritakan masa lalunya bukan?"

Daniel menjawab dengan anggukan kepala.

Sang psikiater mengeluarkan catatannya dari laci, catatan sejak empat tahun lalu. Kemudian psikiater itu menunjukkannya kepada Daniel.

Ekspresi Daniel tiba-tiba berubah. Mimik mukanya menjadi tegang. "Bagaimana mungkin?" ujarnya terkejut.

"Benar. Kisah yang Lena ceritakan tadi sama persis dengan kisah yang dia ceritakan empat tahun lalu dan terus menerus dkceritakannya ketika dia berkonsultasi dengan saya."

"Jadi maksud anda Lena sedang berbohong?"

Sang psikiater menggeleng, "Bukan berbohong seperti biasa. Lena sedang mengidap mythomania. Dia sedang menciptakan realitas sendiri untuk dirinya sendiri."

"Tapi dokter, dia tidak terlihat seperti itu. Saya telah memeriksa semua identitasnya dan pekerjaannya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita penyakit itu."

"Benar. Saya menduga penyakit ini hanya akan muncul ketika Lena berhadapan dengan masa lalunya. Kebohongan yang dilakukan olehnya cenderung di luar kesadaran dan tersusun di alam bawah sadarnya sehingga dia mengaburkan antara fantasi dan fakta yang sesungguhnya."

Daniel mengusap wajahnya denga kasar lalu menghembuskan napasnya. "Lantas, apa yang harus saya lakukan?"

Sang psikiater menatap Daniel, "Apakah selama bersama anda, Lena pernah melakukan hipnoterapi?"

My Last YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang