PART 10

804 47 3
                                    

Follow me on
IG: @rachmafadil

Vote & komen please!
Jangan jadi silent readers!

Please VOTE + COMMENT + SHARE!
It means a lot to me... :)

Happy reading... 😊

Genie menunggu dengan cemas di depan ruang UGD. Kepalanya tertunduk. Kedua tangannya saling bertaut erat di atas pangkuannya. Bibirnya tak henti-hentinya memanjatkan doa untuk seseorang yang berada di dalamnya. Tak diacuhkannya orang-orang di sekitarnya yang sejak tadi memperhatikan penampilannya yang kusut tak karuan karena pakaian, tangan, dan wajahnya yang berlumuran darah.

"Genie." Sebuah suara bass membuatnya seketika mendongak.

"Kak Myron."

Cowok bernama Myron berjalan mendekat ke arahnya kemudian duduk di sebelahnya. "Lo nggak pa-pa, kan?" tanyanya khawatir.

Genie menggeleng. "Gue nggak pa-pa."

"Trus kenapa baju, tangan, sama muka lo berdarah gini?"

"Ini bukan darah gue."

"Trus?"

"Tadi gue nolongin kakak kelas gue yang pingsan gara-gara dikeroyok sama preman."

"Jadi ini darahnya dia?" Yang ditanya mengangguk. "Ya udah, bersihin dulu tangan sama muka lo! Trus ganti baju. Nggak tahan gue liatnya. Mana baunya anyir, lagi." Myron mengulurkan tas berisi satu setel kaos lengan pendek, celana soft denim panjang, dan jaket.

Genie berdecak. "Yeee.... Biasa aja kali, Kak. Cuma darah ini. Orang yang kena darah sini, kenapa situ yang sewot? Lagian dimana-mana darah tu baunya anyir. Kalo wangi, parfum namanya."

"Ck. Dasar adek nggak tau diri. Udah dibawain baju ganti, bukannya bilang makasih malah ngomel-ngomel."

"Biarin."

Genie menjulurkan lidah lalu mengambil tas yang tadi diulurkan Myron padanya. Lantas dilangkahkan kakinya menuju toilet yang terletak di ujung koridor. Sekembalinya dari toilet, penampilannya sudah bersih seperti semula. Genie balik duduk di depan ruang UGD sambil memangku tas yang berisi pakaian kotornya.

"Kak, ini bajunya Kak Lesya ya?" tanya cewek itu.

"Iya. Ini bajunya dia waktu belom nikah. Sengaja ditinggal soalnya udah nggak muat."

"Iyalah. Gimana mau muat? Orang lagi hamil gitu."

"Oya, tadi Kak Lesya bilang, bajunya nggak usah dibalikin."

"Kenapa?" Genie mengernyit heran.

"Katanya, dia udah nggak mau pake baju-bajunya waktu masih belom nikah. Malah dia nyuruh gue buat ngasih semuanya ke elo."

Mendengar penuturan Myron, otomatis mata cewek itu berbinar. Senyum lebar tak pelak muncul di bibirnya. "Beneran, Kak?"

"Iya." Myron mengangguk. "Lo mau, kan?"

"Mau bangetlah. Secara bajunya bagus-bagus gitu."

"Oke. Lo mau gue anterin bajunya ke rumah lo apa lo yang ngambil sendiri ke rumah gue?"

"Biar gue aja yang ke rumah lo. Tapi besok Sabtu."

"Nginep ya? Gue kangen nih sama lo," ujar Myron seraya mengusap puncak kepala adik sepupu kesayangannya.

"Oke. Tapi besok beliin gue es krim sama puding yang buanyak."

"Apapun yang lo minta, gue kasih. Apa sih yang enggak buat adek gue?"

Genie tersenyum lebar lantas memeluk erat leher Myron. "Makasih Kak Myron yang paling ganteng sejagat raya."

Cowok itu tergelak lalu balas memeluk adiknya sambil mengacak-acak rambutnya. Semenit kemudian, dilepasnya pelukan itu. Dirapikannya lagi rambut Genie yang berantakan meski tak bisa serapi tadi.

"Ya udah, gue pulang dulu. Besok gue kudu nganter nyokap ke bandara pagi-pagi. Lo nggak pa-pa kan gue tinggal?"

Genie menggeleng. "Nggak pa-pa," jawabnya. "Eh, tapi emang lo nggak kuliah, Kak?"

Kakak sepupunya terkekeh. "Sekali-kali bolos nggak pa-pa, kan?"

"Ck. Dasar," cibirnya. "Inget ya, Kak! Lo tuh udah semester lima. Yang serius kuliahnya!"

"Iya, iya. Bawel banget sih jadi orang."

"Biarin. Yang penting pinter."

"Ya, ya, ya. Yang berhasil masuk Marcient," sindir Myron.

Genie terkikik geli, puas membalas ucapan Myron. Ia tahu, dulu kakak sepupunya itu ingin sekali masuk Universitas Marcient. Tapi karena hasil tes masuknya nggak mencukupi, jadinya cowok itu harus puas masuk Universitas Stanivler, salah satu rival universitasnya. Meski rival, Stanivler tak pernah bisa menyaingi Marcient. Baik dalam bidang akademik dan non-akademik. Kampusnya selalu unggul. Dan itu membuat Genie bangga bisa menjadi salah satu mahasiswa di sana.

"Oya, nih pake power bank sama charger gue. Takutnya iPhone lo lowbat."

Myron mengeluarkan benda abu-abu berbentuk kotak dan charger berwarna putih dari saku jaketnya. Genie tersenyum, bersyukur punya kakak yang begitu pengertian dan perhatian padanya. Makin sayang deh dia sama cowok itu.

"Udah ya, gue pulang dulu. Lo bawa dompet, kan?" tanya Myron. Genie mengangguk. "Bagus. Ntar kalo ada apa-apa, langsung hubungin gue! Telpon ya, jangan sms! Telpon sampe gue angkat. Ngerti?!"

"Iya, iya, kakak gue yang overprotective," kata cewek itu malas.

Myron tertawa mendengar kalimat Genie, tahu adik sepupunya itu paling sebal kalau ia bersikap protektif. Tapi gimana lagi? Gadis itu satu-satunya sepupu cewek yang dia punya. Karena kebetulan nggak punya adik, ia sudah menganggap Genie adik kandungnya. Jadi jangan salahkan Myron kalau dari dulu dia selalu protektif banget sama cewek itu!

Myron berdiri lalu mengusap puncak kepala adiknya. "Gue pulang."

Genie mengangguk. "Ati-ati, Kak. Udah malem banget soalnya."

Sepeninggal kakak sepupunya, Genie menghela napas kemudian menundukkan kepala. Kecemasan yang tadi sempat berkurang karena kehadiran Myron sekarang kembali lagi. Sudah satu jam lebih ia menunggu Arsen di depan ruang UGD, tapi dokter yang memeriksa dan para perawat yang membantu mengobatinya belum juga keluar dari sana. Lelah, akhirnya cewek itu mengeluarkan iPhone dan memainkan game favoritnya buat membunuh waktu.

Beberapa menit berlalu, pintu di sebelahnya pun terbuka. Genie yang melihat dokter dan para perawat keluar dari ruangan itu langsung berdiri kemudian menghampiri mereka.

"Gimana, Dok?" tanyanya panik.

"Lukanya nggak terlalu parah. Cuma tadi kondisinya sempet drop karna kehilangan banyak darah."

"Apa udah bisa dipindahin ke ruang inap, Dok?"

"Maaf, Mbak. Untuk sekarang belom bisa. Besok pagi akan kami cek lagi. Kalau keadaannya sudah membaik, baru bisa dipindah ke sana."

"Tapi sekarang saya boleh masuk kan, Dok?"

"Oh, silahkan!"

"Makasih, Dok."

"Sama-sama."

Genie membuka pintu di depannya kemudian masuk ke dalam ruangan itu. Didekatinya ranjang yang di atasnya terbaring cowok yang tadi ditolongnya. Ada sebuah infus berwarna merah di tangan kiri cowok itu. Ia yakin cairan merah itu darah yang ditranfusikan ke tubuhnya. Genie lalu duduk di kursi berbentuk lingkaran tanpa sandaran yang terletak di sebelah kanan ranjang.

Diamatinya lekat wajah pucat di hadapannya. Tiba-tiba satu kesadaran terbesit di kepalanya. Ingatan akan pertemuannya dengan cowok ini membuatnya bertanya-tanya sendiri dalam hati. Siapa sih lo sebenernya? Kenapa dari kemaren lo ada di deket gue? Nggak cuma di kampus, di rumah pun gue ketemu sama lo.

Genie menghembuskan napas. Rasa lelah dan kantuk kini menyerangnya. Ditangkupkannya kedua lengan di atas ranjang lalu diletakannya kepala di atasnya. Tak lama kemudian, matanya lamat-lamat tertutup.

Vomment ditunggu.

See you... :)

Flower & The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang