PART 16

776 42 6
                                    

Follow me on
IG: @rachmafadil

Vote & komen please!
Jangan jadi silent readers!

Please VOTE + COMMENT + SHARE!
It means a lot to me... :)

Happy reading... 😊

Arsen melepas headset yang tergantung di lehernya kemudian turun dari panggung. Dihampirinya teman-teman satu gengnya yang sudah berkumpul di salah satu lounge yang sudah disewa Reynald atas nama dirinya.

"Woi, Sen!" panggil Willy setelah melihat sosok Arsen di kerumunan orang yang berjubel di dance floor.

Yang dipanggil tersenyum lebar sambil terus berjalan ke arahnya. Tampak beberapa anggota Dark Hunter duduk memutari sofa yang tersedia di lounge itu. Beberapa dari mereka bahkan sudah making out dengan 'teman semalam' mereka.

"Sadiiiss... Lagu yang lo mainin keren-keren," puji David ke sahabatnya yang baru saja duduk di sebelahnya.

"Thanks."

Arsen mengambil botol tequila yang masih terisi penuh di depannya kemudian meminumnya setelah tutupnya terbuka. Seketika rasa panas membakar tenggorokannya. Malam ini kepalanya terasa penat. Fakta bahwa Genie menyukai Paxie dan cowok sok baik itu juga punya perasaan yang sama membuatnya geram. Jangan salahkan Arsen kalau ia menganggap Paxie sok baik! Karena kenyataannya cowok itu memang bukan cowok baik-baik. Paxie cuma seorang bajingan yang menggunakan topeng berupa jabatan dan reputasinya di kampus. Ironis? Memang. Tapi itulah kenyataannya.

Belum juga masalah itu terpecahkan, datang lagi masalah yang lain. Apalagi kalau bukan masalah Death Phantom yang sudah tahu keberadaan Genie dan sengaja menjadikannya pion untuk menantangnya.

Sialan, sialan, sialan! Arsen mengumpat dalam hati.

Ditenggaknya sekali lagi tequila yang masih setengah itu sampai habis. Ia butuh berbotol-botol minuman keras untuk menjernihkan pikirannya. Ia butuh melupakan sejenak masalah yang menghimpitnya. Sesaat sebelum Arsen benar-benar tenggelam dalam ketidaksadarannya, satu ide terbesit di kepala. Sedetik kemudian, satu senyum tipis tercetak di bibir.

***

Usapan lembut di dada membuat mata Arsen perlahan terbuka. Ia menoleh dan mendapati seorang cewek berambut cokelat kemerahan sedang berusaha menggodanya dengan memberikan sentuhan-sentuhan di dada bidangnya. Ingatannya kembali ke kejadian tadi malam. Setelah bermain DJ selama 2 jam, Arsen menemui teman-temannya dan meminum beberapa botol tequila sampai ia tak sadarkan diri. Tapi kenapa sekarang dirinya bisa ada di sini? Yang lebih herannya lagi, kenapa ia bersama Lidya?

Siapa yang nggak tahu Lidya? Dia adalah anak dari pemilik Dixon club serta salah satu mahasiswi tercantik di Universitas Marcient, selain Grace. Cewek itu terobsesi banget sama Arsen. Dari awal kuliah, dia sudah berani mengejarnya, memohon-mohon agar mau jadi pacarnya. Tapi Arsen tetap Arsen. Sekeras apapun usaha untuk mendapatkannya, cowok itu tak pernah menggubris Lidya. Kalau cuma sekedar ingin melewati malam untuk bersenang-senang bersamanya, Arsen tidak keberatan. Malah dia welcome banget. Tapi kalau minta buat jadi pacar, jangan harap Arsen akan mengiyakan!

Dulu sempat terbesit dalam hatinya untuk memiliki hubungan serius dengan seorang cewek seperti cowok-cowok pada umumnya. Tapi cewek yang akan jadi pacarnya kelak adalah cewek yang benar-benar ia cintai dengan sepenuh hati. Bukan cewek yang hanya ia jadikan 'teman kencan, bermain, dan having fun'. Yang jelas, calon pacarnya bukan salah satu dari mereka. Karena baginya, sex partners are just sex partners. They don't deserve his heart, soul, and love.

Tapi yang jadi masalah di sini, kemarin Arsen sama sekali tidak punya niat bermalam di salah satu kamar yang disediakan Dixon. Ia ingin pulang dan tidur di apartemennya karena hari ini ia ingin menjalankan rencana yang sudah tersusun di kepalanya semalam. Cowok itu nggak ingin kecapekan gara-gara having sex dan membuat rencananya gagal.

"Pagi." Sapaan dari Lidya membuyarkan lamunan Arsen.

Tangan nakal cewek itu kini turun ke perutnya. Menelusuri otot-otot yang tercetak sempurna di sana. Lalu turun lagi ke arah pusat gairahnya yang mulai menegang akibat usapan Lidya. Saat tangan cewek itu hampir menyentuh kejantanannya, tiba-tiba satu kesadaran menyentak Arsen. Ia langsung mencekal pergelangan teman kampusnya itu.

"What did you do to me?" tanyanya seraya menatap tajam Lidya.

"What do you mean?" Lidya bertanya balik.

Arsen menghempas kasar tangan cewek itu lalu bangun dan duduk di ranjang. "Nggak usah pura-pura nggak tau, bitch! Lo masukin obat perangsang ke minuman gue, kan?"

Ya, Arsen ingat. Tadi malam Lidya ada di dalam lounge-nya. Sesaat kemudian cewek itu berjalan mendekat lalu duduk di sebelahnya. Lidya berusaha menarik perhatiannya sepanjang malam itu. Tapi Arsen tidak menghiraukannya. Ia tak percaya cewek itu bakal senekat ini hanya demi bisa 'tidur' dengannya.

Lidya bangun sambil menarik selimut menutupi tubuh telanjangnya. "Sen, gue nggak..."

"Nggak apa? Lo mau bilang kalo orang lain yang masukin obat sialan itu, hah?!" Alex berusaha menahan emosinya. "Jelas-jelas lo yang duduk di samping gue tadi malem. Kalo bukan lo, siapa lagi?"

Mata Lidya berkaca-kaca. "Iya. Gue yang masukin obat itu ke minuman lo. Puas?!" teriaknya frustasi. Air matanya mulai mengalir.

"Kenapa?"

Lidya menatap lurus tepat di manik mata cowok di depannya. "Lo masih tanya kenapa? Padahal lo sendiri udah tau jawabannya."

"Segitu desperate-nya ya lo sampe berani ngelakuin itu?" Alis kanan Arsen terangkat.

"Kalo iya kenapa?" tantang cewek itu. "Gue nggak peduli kalo harus pake cara kotor sekalipun buat bisa dapetin lo. Bahkan kalo harus bunuh semua cewek yang deket sama lo, akan gue lakukan. Asal lo jadi milik gue."

"Lo gila!" geramnya marah.

Arsen menyingkap selimut yang menutupi tubuh polosnya. Tak peduli Lidya melihatnya telanjang, disambarnya baju, celana, dan jaketnya yang teronggok mengenaskan di lantai dekat ranjang dan segera memakainya.

"Ya, gue gila karna lo. Gue gila karna gue cinta sama lo. Gue pengen lo jadi milik gue. Gue nggak mau ada cewek lain yang milikin lo selain gue!" Lidya berteriak histeris. Untung kamar ini kedap suara, jadi nggak akan ada orang yang mendengar teriakannya.

Selesai mengenakan pakaian, Arsen menoleh ke Lidya lalu mendekatinya. Sambil menahan amarahnya, dicekalnya kuat dagu cewek itu. Ditatapnya lurus-lurus mata hijau gelap di hadapannya.

"Denger gue baik-baik! Ini pertama dan terakhir gue ngasih tau lo," desisnya tajam. "Jauhin gue! Jangan pernah deketin gue lagi! Kalo nggak, gue pastiin nasib lo bakal sama kayak anak-anak lain yang berani ngelawan gue. Nggak peduli lo cewek sekalipun. Ngerti?!" Nyali Lidya menciut lalu mengangguk takut. "Bagus." Dilepasnya cekalan tangannya di dagu cewek itu. Kemudian diambilnya dompet, jam tangan, dan kunci motor di atas nakas. "Anyway, ternyata lo sama Grace sama-sama gila ya?" Itu pertanyaan retoris. "Pantes kalian bisa temenan. Sayangnya salah satunya ada yang nikung," ucapnya santai. "Kira-kira kalo gue kasih tau Grace kejadian semalem gimana ya?" Muka Lidya seketika memucat. Melihat reaksi cewek di depannya, Arsen mengulum senyum licik.

"Arsen, Arsen, please, jangan kasih tau Grace soal ini!" pinta Lidya dengan muka melasnya yang bikin cowok itu harus menahan tawa.

"Bisa diatur." Arsen mengedikkan bahu. "Asal lo lakuin apa yang gue suruh tadi."

"O-oke," jawabnya tergagap.

Cowok itu balik badan. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh sedikit ke belakang. "Well, thanks for giving me sex. Although I didn't really enjoy it."

Vomment ditunggu.

See ya... :)

Flower & The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang