Ketemu (Lagi)

663 19 0
                                    

Pukul 15.00, Karenina baru saja keluar dari ruang ICU. Ia melepas maskernya dan duduk sejenak di kursi tunggu.Kemudian ia menghela nafas lelah, menyeka peluh di dahinya, bersandar di kursi, dan memejamkan matanya sesaat. Gadis itu merasakan tubuhnya lemas, dan teringat bahwa ia belum makan siang. Gadis itu merasakan jika ada seseorang yg duduk di sampingnya, lalu mencolek bahunya perlahan. Ia mengumpat dalam hati dan bersiap menghajar orang itu, sebelum matanya terkesiap dengan sosok yg sedang tersenyum di dekatnya.

"Dimas.. Elu ngapain disini ??"

"Kerja dong.. Emangnya elu pikir, gue ngapain ??"

"Jadi, elu dokter baru yg mereka maksud ??"

"Yess.. By the way, elu nggak apa-apa Nin ?? Lu keliatan pucat.."

"Nggak apa-apa gue.. Efek laper aja paling.."

"Lu belum makan siang ??" tanya Dimas. Karenina menggeleng.
"Buat elu..." kata Dimas menyerahkan sekotak susu UHT rasa cokelat.

"Thanks ya Dim.. Baek banget sih.."

"Sama-sama.." kata Dimas menahan tawa ketika gadis di sebelahnya menyeruput habis susu UHT yg diberikannya.

"Tapi gue masih laper. Lu sibuk nggak ?? Temenin gue maksi yaa.."

"Boleh deh, gue juga belum makan siang.."

"Tunggu bentar yaa, gue ganti baju OK duluu.. Nggak lama kok.." kata gadis itu sambil setengah berlari menuju ruangannya.

Beberapa menit kemudian, gadis itu kembali setelah berganti baju OK dengan blouse yg di balut snelli lengan panjangnya. Gadis itu tersenyum menghampiri Dimas.

••••••••••••••••

"Jadi, kenapa elu bisa kesini ??" tanya Nina penasaran.

"Papa yg maksa.. Tiap hari beliau ngerecokin gue. Padahal gue pengen nyoba di tempat lain.. Gue jadi ngerasa KKN gituu.." cerita Dimas.

"Jadi, Pak Bintara Anggara itu, papa elu ??"

"Yess.. Dan ini rahasia kita berdua. Gue harap selain kita, nggak akan ada yg tahu.."

"Bisa diatur.. Tapi ngomong-ngomong kok elu bisa ambil spesialis neurology sii ?? Emang kemarin belajarnya nggak mumet banget ??"

"Hahahahh,, nggak tau juga deh.. Udah takdirnya mungkin.. Kalau nggak gitu kan, kita nggak berjodoh ketemu disini..."

Berjodoh.

Karenina hampir tersedak kuah supnya. Matanya membulat menatap Dimas. Laki-laki itu tersenyum sambil mengaduk-aduk sotonya. Lalu, ia menyuapkan sesendok ke mulutnya.

Gadis itu merasa waktu berhenti sejenak. Dunianya berhenti berputar. Ia berterima kasih pada semesta karena telah mempertemukannya kembali dengan Dimas-nya. Ia ingin terus seperti ini. Ingin terus dekat dengan Dimas-nya. Ingin memiliki juga rasanya. Tapi, ia sadar siapa dirinya. Ia tahu kalau Dimas-nya itu seperti bulan. Dan dia seperti pungguk yg ingin meraihnya. Ayah Dimas pemilik RS sekaligus atasannya. Dan pacar Dimas, model cantik yg nggak sebanding dengan dirinya. Sadar akan hal itu, Karenina mendesah perlahan.

"Kenapa, Nin ?? Habiskan makanannya kalii.. Tadi aja katanya laper.. Kasihan nanti makanannya nangis..."

"Yaa kalii, Dim.. Emangnya gue anak kecil yg bisa di bohongin gituu.."

"Dulu waktu SD kamu percaya ajaa.."

"Ya kan, waktu itu gue masih polos.."

"Ya ya ya... Kalau sekarang menurut gue, elu juga masih polos dan gue suka sama yg polos-polos gituu.."

Tuhaaan...

Jangan biarkan hambamu ini lupa bernafas sampai akhirnya collapse. Cerebral palsy. Kata-kata Dimas tadi cukup membuat syaraf Karenina terganggu dan berhasil mempengaruhi sistem koordinasi serta pergerakan tubuhnya. Ia seperti merasa terkena cerebral palsy. Dan kalau sampai hal itu terjadi, Dimas sebagai spesialis neurology, harus bertanggung jawab penuh.

"Elu sendiri Nin.. Kok bisa berujung ke spesialis anestesi ??"

"Sama kayak kata elu.. Takdir kali yaa.."

"Gue kira kemarin elu ngomong serius sama Erga.."

"Ngomong apaan ??"

"Elu bilang kalau elu spesialis bedah, eh gak taunya malah spesialis anestesi yg sebentar lagi jadi kepala ICU.."

"Gue cuman bercanda sama si Erga. But wait... Kepala ICU ?!? Maksud elu, Dim ??"

"Papa yg bilang.."

"Tapi gue.."

"Papa gue orang yg sangat profesional, Nin.. Elu jangan mikir yg nggak-nggak.. Naiknya elu sebagai kepala ICU karena elu orang yg berkompeten dan bertanggung jawab. Dari hasil tes elu, sampai praktik keseharian elu, papa naksir elu banget.."

"Naksir ??"

"Naksir pengen elu yg naik jadi kepala ICU.. Bukan yg gimana-gimana.. Ya kalii, papa gue kan cuman cinta sama mama doang.."

"Dim, gue tahu kok kalau elu spesialis saraf. Tapi please, jangan bikin saraf sensorik gue nggak bekerja dong.."

"Hahahahh.. Bisaan aja elu, Nin.. Bagus kan kalau gituu.."

"Gimana bisa bagus, kalau kenyataannya saraf gue yg bermasalah ??"

"Yaa supaya elu bisa terus deket gue untuk di terapi sel-sel neuron.."

"Gue milih terapi sama dokter Pandu aja deh, secara kan beliau neurolog pediatrik yg kece badhai gituu.."

"Elu kan bukan anak-anak.." protes Dimas.

"Tapi kan tadi elu bilang, kalau gue masih polos.. Yaa boleh, dong ??"

"Harus sama gue, Nin pokoknya !! Soalnya gue perlu memperbaiki sel-sel neuron elu, supaya bisa segera mengirimkan sinyal-sinyal ke seluruh tubuh elu.."

••••••••••••••••••

Pukul 20.30, Karenina bergegas pulang. Sesampainya di lobby RS, Rendy meneleponnya dan menyuruh segera turun ke basement.

"Elu bareng gue aja, Nin.." perintah Dimas.

"Tapi kan Rendy udah ngejemput gue, Dim.."

"Rendy bareng Grace aja, elu bareng gue. Yaa kalii gue sendirian Nin.."

"Kita mau kemana sii ??"

"Makanya buru naik.. Ntar elu bakal tahu deh.."

Yang (Ter)LewatkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang