20 March 2016
15.00 pm"Diandra, nak, kamu yakin?" Mama mengelus pelan rambut gue. Gue menganggukkan kepala kemudian tersenyum ke arah mama. "Iya, ma aku yakin lagian kan emang karena tuntutan pekerjaan mama. Kita semua pindah aja," kemudian mama menengok ke arah Gerald yang masih diam mendengar keputusan nyokap.
"Iya, enggak apa-apa ma." Gerald tersenyum ke arah mama.
Pekerjaan nyokap gue bakal dipindahkan ke Australia, tepatnya di Melbourne. Rencana nya hanya nyokap doang yang bakal pindah ke sana dan beliau akan mengirimkan gue dan Gerald biaya kehidupan setiap bulannya, tetapi gue bersikeras memaksa nyokap dan Gerald agar kami semua mengikuti kepindahan pekerjaan nyokap ke Melbourne. Gue rasa gue udah enggak kuat tinggal di Indonesia, semua memori-memori buruk terus-menerus menghantui gue dan sekarang gue jatuh cinta sama kembaran Aldo. Bego banget sih gue, Aldi kan mirip sama Aldo kenapa gue enggak kepikiran kalau mereka itu saudara? Mereka itu kembar? Ugh! Aldo juga enggak pernah cerita kalau dia punya kembaran ya gimana gue bisa tahu kalau mereka kembar? Yang gue tahu kalau di dunia ini 'kata' nya kita punya tujuh kembaran, tapi enggak sengaja kembar gitu lho wajahnya, ya gue kira Aldi itu merupakan salah satu dari tujuh orang-orang yang kembar sama wajah Aldo. Bego banget gue percaya hal-hal kayak gitu.
"Yaudah, mama mau ke rumah temen mama dulu ya si tante Rachel, dia butuh temen buat beli bahan-bahan masak, jaga diri di rumah ya sayang," nyokap mencium kepala gue dan Gerald kemudian memasang wedges ke kaki nya dan melesat pergi.
"Mau ke Starbucks sekarang?" Tanya Gerald dengan nada menawarkan. Gue menganggukkan kepala kemudian berlari kecil ke kamar untuk bersiap-siap. Gerald pun juga melakukan hal yang sama. Gue mengenakan baju tanpa lengan warna baby blue dan joger pants hitam kemudian mengambil jaket denim dari atas tempat tidur dan juga tas kecil untuk memasukkan handphone dan earphone. Gue berjalan menuju rak sepatu dan memakai vans putih. Setelah itu, gue pergi menuju mobil Gerald dan mendapati abang gue sudah duduk manis di dalam mobil menunggu adiknya yang cantik ini.
"Enggak usah cantik-cantik amat kalau enggak mau disukain sama orangnya," celetuk Gerald sambil memperhatikan pakaian gue dari atas sampai bawah.
"Idih ngalusin adek sendiri, enggak baik enggak baik." Gue menggeleng-gelengkan kepala sambil memasukkan diri ke dalam mobil. Lagian, pakaian yang gue kenakan enggak cakep-cakep amat sih, ini basic banget malah.
"Iya, iya, whatever." Balas Gerald kemudian tertawa pelan.
Mobil melaju pelan menuju Starbucks, coffee shop yang berada tidak jauh dari rumah kami. Selama perjalanan gue dan Gerald hanya mendengarkan radio, tidak ada percakapan diantara kami berdua, tidak ada yang memulai atau ingin berbicara juga.
Akhirnya kami berdua sampai di tempat. Gue belum melihat batang hidung Aldi di sekitar Starbucks. Kami berdua akhirnya memesan minuman kami dulu kemudian duduk di kursi dekat jendela.
"Lo udah bilang ke Aldi belum kalau kita udah di sini?" Tanya gue kepada Gerald.
"Ha? Oh iya belum!" Ujar Gerald sambil menepuk jidat nya. Abang gue itu buru-buru memberi kabar kepada Aldi.
"Pantesan itu orang enggak keliatan dari tadi, gimana sih lo bang." Ujar gue kesal kemudian berjalan untuk mengambil minuman kami yang telah selesai dibuat.
"Udah gue kabarin, dia bilang 'oke'." Gerald memberika gue pose tangan membentuk huruf 'o' dengan tiga jari terangkat ke atas.
Setelah satu jam menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga. Aldi mengenakan celana jeans selutut, t-shirt hitam polos, dan sepatu converse. God damn it ganteng banget sih. Enggak Diandra, enggak, dia jelek, jelek banget.
"Bro," Aldi mengajak Gerald tos ala-ala cowok kalau lagi ketemu gitu deh dan Gerald pun membalas nya.
"Jadi, ada apa nih?" Tanya Aldi seperti biasa dengan gaya nya yang santai.
"Gua sama Diandra mau ngucapin, ehm, gimana ya bilangnya?" Tiba-tiba abang gue menjadi kaku dan bingung.
"Kita berdua mau pindah." Ujar gue spontan dan cepat.
"Kemana?" Nada suara Aldi menjadi dingin.
"Ke Australia, Melbourne. Nyokap gua pindah kerja disana, Di."
Aldi hanya terdiam sambil menatap gue yang hanya menundukkan kepala saja.
"Kapan, Ge?"
"Masih bulan Juli nanti sih," ujar Gerald pelan kemudian meminum kopi yang ia pesan. Aldi menganggukkan kepalanya paham.
"Ehm, sebentar ya gua mau mesen minuman dulu." Ujar Aldi kemudian melangkahkan kakinya menuju ke barista Starbucks.
"Dingin banget ya Aldi sekarang," gumam Gerald pelan sambil memainkan handphone nya. Gue cuma membalas dengan 'hm' doang. Beberapa menit kemudian Aldi kembali ke meja kami dengan membawa iced caramel macchiato nya.
"Hm, kenapa lu berdua mau pindah? Kepanasan tinggal di Indonesia?" Ujar Aldi dengan seulas senyum gigi kemudian menyeruput minumannya.
"Ya kali, ya iya juga sih, tapi bukan itu," Gerald meminum minumannya sebelum melanjutkan omongannya, tetapi gue sudah terlanjur melanjutkan omongan Gerald.
"Nyokap kerjaan nya dipindahkan ke Melbourne, jadi ya kita semua harus ikut pindah." Gue menjelaskan ke arah Aldi yang mata nya kini seperti terkunci ke arah gue. Gue sampai enggak berani menatap mata Aldi ketika menjelaskan alasan kepindahan kita. Gue cuma bisa menunduk dan sesekali melihat ke arah lain berusaha tidak melihat ke arah Aldi.
"Oh, gitu." Aldi menganggukkan kepala nya lagi.
Kemudian terjadi kesunyian yang sangat awkward di antara kami bertiga. Handphone Aldi tiba-tiba berbunyi kemudian cowok itu meminta izin untuk mengangkata telefon itu sebentar.
"Oh iya, oke, saya akan segera kesana terima kasih atas informasi nya, Dok."
Dok? Dokter? Jangan-jangan nyokapnya Aldi kenapa-kenapa nih? Waduh! Eh kok gue jadi panik gini?
"Woi, gua enggak bisa lama-lama gua harus ke rumah sakit ada urusan." Aldi memeluk Gerald tetapi hanya memberikan gue tatapan dingin.
"Ge, nanti sebelum lu berdua berangkat tolong ya kabarin gua."
"Pasti. Hati-hati, Di." Gerald melambaikan tangan ke arah Aldi yang tersenyum ke arah...gue eh bukan ke arah Gerald kemudian dia berjalan keluar menuju mobilnya. Gue menghela nafas merasa kesal, pasrah, dan menyesal. Iya, gue jujur, gue merasa menyesal udah berantem sama Aldi, iya jujur, gue kangen sama Aldi, kangen sama candaannya, godaan pasarannya, kangen waktu dia menghibur gue, tapi gue enggak bisa, gue enggak bisa suka sama orang yang muka nya sama dengan orang yang gue benci, karena gue tau pasti sifat dia bakalan sama kayak Aldo. Gue enggak bisa, benar-benar enggak bisa.

KAMU SEDANG MEMBACA
aldiandra
Fiksi RemajaAldiriyan Ahmad Santoso bertemu Diandra Alfajar. Kedua nya jatuh ke dalam lubang yang biasa kita kenal dengan cinta. Namun, apa jadinya jika salah satu diantara mereka ada yang mengelak akan datangnya perasaan itu?