Dua Puluh Lima : Bola, Kelemahan Rendi ??

3.5K 93 6
                                    

Di pagi ini ku injakkan kakiku di atas perguruan tinggi, aku siap untuk melanjutkan masa depanku.
Hari ini adalah ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri se Indonesia, walaupun dengan berat hati yang ku pilih perguruan di kotaku, tapi aku dengan senyuman ku isi dengan jurusan yang ku inginkan.
“Nda kamu pilih beneran pilih univ ini?”. riri sambil menunjuk formulirku
“Iya ri, kamu tau sendiri kan aku tidak boleh ke luar kota”. Dengan wajah murungku.
“Gapapa nda kan aku juga disini, kita harus berjuang, walaupun ini di kota sendiri tapi persaingannya se Indonesia lho”. Sambil menenangkan ku dan memberiku genggaman hangat.
“Esty ngambil di univ mana ri ?”. tanyaku. Riri langsung melihat ke arahku, “Dia milih di surabaya Nda, kan neneknya juga di sana, dia sambil nemenin neneknya mungkin”.
“Nda satu jam lagi kita ujian semoga kita lolos dan bisa masuk di PTN ya”. Aku langsung menjawabnya. “Aminn”. Sambil berdoa.
Satu jam ku siapkan dengan membaca materi ujian, tidak lupa lantunan doa yang mengiringi ujian ku hari ini. akhirnya hal yang ku tunggu akan segera di mulai.
Lembar jawaban dan lembar soal sudah terbagi di hadapanku, rasanya gemetar, deg-deg an, keringan dingin. Tapi aku bisa menenangkan pikiranku dengan doa yang ku panjatkan.
“Selamat pagi, selamat menempuh ujian seleksi masuk PTN se Indonesia, semoga lancar dan bisa masuk PTN yang di inginkan”. suara pengawas ujian.
***
Setelah selesai mengerjakan ujian, hati ku rasanya lega, tinggal menunggu hasilnya.
Untuk saat ini yang setia menemaniku adalah sahabat dan segelas coklat dingin, di situlah aku merasa bahagia dan melupakan sedikit masalahku.
“Nda gimana tadi ujiannya lancarkan?”. Riri bertanya kepadaku ketika aku menikmati coklat dinginku.
“Emmm.... alhamdullilah ri, lancar. Oh iya lupa aku, kamu ngambil jurusan apa sih ri?”. Tanyaku sambil meletakkan cangkir di atas meja.
“Aku lanjutin perjuangan IPA ku nda, aku ambil perawat untuk pilihan duanya aku ambil kesehatan masyarakat”. Aku langsung melongo mendengarkan pilihan yang di ambil riri, emang tidak kaget sih emang riri pinter banget biologi dan kimianya.
“Kamu pasti lolos ri, aku yakin”. Kataku sambil memegang tangan riri.
“Iya nda kita berdua pasti bisa”. Dia makin erat menggenggamku sambil menyakinkanku.
“Oh iya ri setiap kita lulus, di Ekstra PMR itu ada perpisahannya, besok saptu dan minggu akan di adakan perpisahan PMR bagi yang baru lulus, temanya Wisata camp. Nih undangan buat kamu”. Sambil memberiku sepotong undangan.
“emangnya kita di sana ngapain aja ri”. Riri langsung menjawab ku. “Kalau tahun lalu kita ke pantai bersama kakak-kakak yang baru lulus di sana kita seperti kemah bersama, seneng-seneng bareng intinya biar kita punya kenang-kenangan bersama seluruh anggota PMR sebelum berpisah”. Aku langsung meresponya. “Owhh..gitu”. sambil membayangkanya.
“Gimana kamu ikut kan nda ?”.
“Lihat sikonya aja dulu ri, kita wisata camp nya di mana emang?”.
“Kita ke puncak nda, kita camping di sana, kelihatannya seru juga, ayo lah nda”. Riri mulai merengek kepadaku.
“Emm... ya udah deh, itung-itung piknik sambil menunggu hasil seleksi, biar ga tegang terus”.
“Gitu dong”. Sambil mencubit pipiku.
***
“Bu ini aku dapet undangan dari PMR, minggu ini ada perpisahan PMR di puncak”. Sambil menunjukan pada ibu yang sedang asyik nonton sinetron kesukaannya.
“Di puncak hawanya dingin banget lo nda, ntar kalo kamu sakit gimana?”. Aku langsung merengek ke ibu, “Enggak lah bu, aku kuat kok”. ibu langsung melihat ke arah ku. “ Kamu ingat enggak pertama kalinya kamu ke puncak sama ayah dan ibu dulu, kamu ga kuat dingin terus sampek demam tinggi itu”.
Aku langsung menarik tangan ibu dan membujuknya. “Itu kan waktu aku SD bu, pliss boleh ya bu, aku kan juga ingin ngrasain camping bareng-bareng, kelihatanya kan seru bu, ayolah bu, boleh ya”. Sambil mengeluarkan jurus andalanku, ku kedip-kedipkan mataku dan senyumanku.
“Ya udah, tapi kamu harus janji sama ibu, bawa minyak, obat dan jaket. Ingat pesan ibu”. Akhirnya rayuan mautku membuat ibuku meleleh.
“Makasih ibuku yang cantik”. Sambil memeluk ibuku.
***
Tak terasa hari begitu cepat, hari ini ku siapkan semangat membara untuk camping. Semua perlengkapan udah ku packing dan tak lupa semua pesan ibu semua aku bawa, kecuali obat. Aku paling ga tahan yang namanya bau obat. Jadi tanpa sepengetahuan ibu aku taruh obat itu di bawah bantal.
Semua anggota PMR berkumpul di sekolahan, kupakai celana panjang, kaos, jaket tebal, Topi dingin dan sepatu gunung.
“Nda akhirnya kamu bisa ikut juga, biasanya kan kamu ga di izinin kalo ke puncak?”. Tanya riri.
“ini berkat rayuanku aku bisa ikut acara ini”. riri langsung menjawabku, “Salut deh nih jempol buat kamu”. Sambil menunjukan kedua jempolnya.
“oke semuanya udah kumpul, habis ini silahkan masuk bus satu persatu jangan sampai lupa semua perlengkapan di bawa”. Kata rendi selaku pembina Putra PMR.
Semua anggota masuk dalam bus tapi karena banyaknya perlengkapan seperti tenda, alat masak dan lain lain, jadi sempit bus mininya.
“Kak ren kursi busnya tidak ada yang kosong lagi”. Teriak loli dari pintu bus
“Iya kak ren, ini aja aku sama Nda masih belom masuk juga”. Tanya riri pada rendi.
“oh iya Mas rendi kan bawa mobil, untuk anak tiga ini kalau bareng mas rendi gimana?”. Kata kak Ria selaku pembina putri.
“Ow... iya gapapa, untuk riri, loli sama Nda ikut mobil ku aja, kalau udah bus nya bisa berangkat duluan, biar aku di belakang”.
Akhirnya bus sudah berangkat duluan. Aku, loli dan riri ikut mobilnya rendi.
“Aku sama loli duduk di belakang ya nda, kamu duduk di depan aja Nda”. Riri sambil membuka pintu belakang.
“Aku kan juga mau duduk di belakang ri, sini minggir”. Aku berusaha menerobos pintu belakang yang di halangi tanganya riri dan loli. “Nda ini Cuma muat dua orang, masak loli kamu kasih duduk di depan kan kasian loli, kalau kamu kan udah akrab sama kak rendi”. Aku tetap bersikukuh “aku tetap mau di sini”. Terdengar suara teriak dari pintu depan,
“Kalian ini sebenarnya mau beragkat ga sih”. Teriak rendi.
“Tuh kan kak rendi udah mulai marah, kamu sana aja nda”. Aku mengalah dengan riri yang duluan memegang pintu mobil belakang.
“Jangan cemberut gitu dong nda, masak gitu aja marah”. Sambil mencubit pipi ku
“Bodo amat”. Kataku sambil membuka pintu depan dan duduk di samping rendi.
***
Dalam perjalanan rendi mencoba membuatku tertawa karena mood ku lagi buruk.
“Nda diem aja dari tadi, kamu sakit ya?”. Rendi bertanya padaku ketika melihatku meratapi jendela mobil.
“kepo banget sih, siapa bilang aku sakit, aku lagi ga mood ngomong sama kamu”. Jawabku sadis pada rendi.
“Nda kok gitu amat jawabnya, yang sopan dong sama kak rendi”. Riri mengode ku karena ada loli di mobil, karena yang tau kedekatanku hanya riri. Tapi aku menghiraukan kode riri. Aku menjawabnya dengan singkat, “Bodo amat”. Aku melanjutkan meratapi perjalanan.
“Nda maaf deh, gara-gara aku kamu jadi ga mood gini”. Loli menyambar jawabanku dan merasa bersalah, aku merasa tidak enak dengan tindakanku kali ini, aku mencoba meredam amarah dan mengubur bedmood ku hari ini, “Iya li gapapa, jangan merasa bersalah gitu, yuk kembaliin suasananya”. Jawabku sambil tersenyum lebar pada loli.
“Biasa dek loli, nda itu emang seperti anak TK dikit-dikit marah tanpa sebab gitu, emang dasar manja”.
Rendi menyetrum jawabanku. Tangan ku yang gatal langsung terjun ke pundak rendi dengan kerasnya. Rendi pun langsung reflek, “Auccchh... sakit juga pukulan mu, nda”
“Sukurin salah siapa yamber terus kalo ada orang yang ngomong, dasar dokter lebay”.
“Loh kak rendi sama Nda kok akrab banget kelihatanya padahal kan nda baru ikut PMR kelas 12 ini”. loli heran dan bertanya-tanya. Aku dan rendi juga kebingungan menjawab.
Riri membisikan ketelingaku ku dari belakang , “Kan tadi udah aku kode nda, kamu yang sopan sama rendi biar kelihatanya kalian seperti murid lain”. aku menjawabnya dengan dengan perlahan. “Iya maap keceplosan ri”.
Loli melihat ku dan riri saling berbisik mencurigakan. “Kalian ngomongin apaan sih, kok aku tanya ga ada yang jawab?”.
Rendi menjelaskanya. “ Ya harus akrab dong dek loli, biar ga tegang suasananya, oh iya dek loli nglanjutin kuliah di mana”. Rendi pun mengalihkan pembicaraan.
“Aku di sini aja kak, ga boleh keluar kota sama ibu, aku ngambil ahli gizi, keren kan kak”.
Rendi pun mencoba mengakrab i loli. “Wih bagus banget, kok kaya Nda aja ga di bolehin sama ibunya jurusan yang di ambil juga bertolak belakang dengan jurusan SMA nya”.
Loli langsung merespon rendi dan penuh keheranan, “Kok kak rendi tau semuanya tentang Nda??”. Rendi langsung ingat kalau keceplosan, dia kebingungan menjawab, “Emmhh....”.
Akupun langsung menjelaskanya.“Iya kemarin aku sama riri ketemu kak rendi jadi kita ngobrol-ngobrol, iya kan Ri”. Aku langsung mengkode riri dengan kedipan mata. “Iya li, kemarin ketemu kak rendi”. Riri membantu menjawab.
“Udah-udah keponya, kita dengerin musik aja ya”. Rendi mengalihkan pembicaraan dengan menghidupkan musik di mobilnya.
Kita semua menikmati perjalanan dengan di iringi musik yang merdu. Sesekali rendi ikut menyanyi dan kita gila-gilaan di mobil.
“Udah capek nyanyi mulu, istirahat dulu deh. Oh iya ri kamu bawa bantal ga, pinjam dong buat sendenan”. Riri meluncurkan bantal berbentuk bola ke arah ku.
“Makasih ri”. Rendi langsung melihat ke arah ku dengan kagetnya.
“Jauhin bantal itu, cepet”. Sambil menunjuk bantal bola kesanyangan riri. Aku, riri dan loli melongo melihat ekspresi rendi yang ketakutan melihatnya.
“Emang kenapa kak ren”. Riri bertanya dan di sahut loli, “Emang ada yang salah ya kak ren dengan bantalnya riri?”.
“Jauhin dulu dari sini”. Aku langsung melemparnya ke arah riri dan riri pun menyimpanya di dalam tasnya lagi.
“Kamu alay banget sih”. Kataku. Rendi melihat ke arah ku dan langsung kembali fokus mengemudi.
“Emang kenapa sih kak ren, cerita dong”. Riri mulai keponya.
“Aku punya pengalaman buruk sekali sama yang namanya bola, karena bola itu menyelakai orang yang paling aku sayang, aku takut kalau terulang lagi”. Rendi sedih dan matanya berkaca-kaca.
“Siapa orang nya kak rendi”. Riri melanjutkan kepo tingkat dewanya. “udah sampai sini saja ya tanyanya”.  Rendi menghentikan jawabanya.
Aku tertawa kecil dan rendi pun melihatku, “Kenapa ketawa?”. Aku langsung menutup mulutku yang tertawa. “Aku baru tau yang namanya cowok takut sama bola itu ternyata ada”. Aku tak kuat menahan tawa dan tertawa girang di hadapan rendi.
“Emangnya masalah buat lo”. Aku tetap tertawa, “Ternyata ini kelemahanmu, akhirnya terbongkar juga”.
“Puas sekarang”. Aku menjawabnya dengan bangga. “Puas banget, lain kali aku bawain bola beneran ya”. Aku mulai jail.
“Bawain aja, aku juga akan bawain kamu jarum suntik yang banyak”. Aku langsung diam dan menghentikan tertawaku ketika mendengar jarum suntik.
“kak rendi sama Nda kok ejek-ejekan mulu, kok kelihatanya udah saling akrab gitu tidak seperti anak-anak yang lain”. loli penasaran.
Aku langsung menjawab dengan gugup “Emh... kita kan emang harus akrab kan sama pembina itu, dia kan kakak kedua kita”.
“Lupakan saja li, kita bobok aja yuk kelihatanya perjalanannya masih jauh”. Riri menenangkan loli yang penasaran.
Kita melanjutkan perjalanan ke puncak dengan diam agar loli tidak penasaran kalau aku dan rendi udah saling akrab di luar PMR.
***
“Yei.... Akhirnya kita sampai”. Aku teriak ketika keluar mobil.
“Sampek apanya tuh lihat, kita camping di atas bukit kecil itu, kita harus jalan kesananya, ini masih di parkiran”. Rendi mengedown kak ku. Tertawaku pun pecah dan langsung meratapi bukit yang tinggi dihadapanku.
“Semuanya kita jalan ke atas, jangan lupa barang kalian ya, jalanya hati-hati satu persatu”. Rendi memberi pengumuman.
Kita semua berjalan seperti semut yang berbaris menaiki bukit yang lumayan tinggi bagi ku. Di tengah perjalanan rasa dingin sudah menembus jaket tebalku. Aku mulai merasa dingin dan merasa capek. Aku berada di barisan belakang bersama riri, loli dan rendi yang paling belakang. Di tengah-tengah perjalanan kakiku yang pernah kesleo mulai merasa sakit dan jalanku tertitah-titah.
“Auch... kaki ku sakit banget”. Sambil memegang kakiku.
“Nda kenapa, kita istirahat dulu aja ya”. Riri megang pundakku dan mengajakku duduk di batu.
“Gapapa ri, yuk lanjut lagi”.
“Udah kamu duduk dulu aja, mana yang sakit biar aku pijat dulu aja”. Aku langsung menolak rendi. “gapapa kok ini udah sembuh yuk jalan lagi, kan udah hampir sampai”. Tanya ku menenagkan riri dan rendi aku tidak mau merepotkan mereka.
“Beneran Nda, kelihatanyamasih sakit, kamu jalan aja begitu”. Loli langsung melihat kakiku yang berjalan tertitah titah.
“Iya gapapa, yuk jalan”.
Kita pun melanjutkan perjalanan. sesampainya di camp aku langsung Istirahat di belakan tenda di batu besar, aku menahan rasa sakit dan aku melihat seseorang memantauku dari kejahuan, dan berjalan ke arahku membawa sesuatu di tangannya.

&&&&
Makasih udah ngikutin ceritanya, siapakah seseorang itu ???
Tunggu lanjutan ceritanya ya ^^

Me Vs DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang