Setelah sekian jam rendi di ruang UGD akhirnya bisa di pindahkan keruang rawat pasien. Aku dan mama selalu berada di samping rendi. Wajahnya yang tampan kini tertutupi oleh wajah yang pucat mata yang masih tertutup karena bius dan selang infus di tangan kirinya. Aku memandanginya dan mengingat hal yang bahagia bersamanya, aku hanya ingin satu hal dari rendi yaitu dia tersenyum padaku dan kembali seperti semula.
Karena aku khawatir akan keadaanya aku putuskan untuk menginap di RS dan menjaga rendi, walaupun rasa takut itu tetap berada di sisiku.
“Ai, mama pulang sebentar ya, ngambilin baju, tolong jaga kak rere ya, kalau ada apa-apa langsung kabari mama.” Kata mama sambil berpamitan pulang.
“Iya ma, mama hati-hati di jalan”. Sambil mencium tangan mama.
Aku memegang tangan rendi dengan erat, aku berharap rendi sadar. Sesekali aku mengajaknya bicara walaupun aku sendiri tidak tahu rendi mendengar atau tidak.
“Dasar dokter lebay, puas kamu buat aku nangis gara-gara kamu”. Sambil memegang tanganya dan air mataku pun jatuh di tanganya.
“Kamu harus bangun, apa kamu tega dengan air mata yang jatuh ini, kamu bangun ren”. Aku berkata di dekat telinganya rendi. Aku terus menagis dan berharap keajaiban itu datang.
Tanganku seperti ada yang menekan ketika aku memegang tangan rendi. Aku langsung sadar, ini tangannya rendi.
“Rendi... kamu sadar?”. Sambil mengusap air mataku dan tersenyum ke arah rendi. Rendi membuka matanya dengan perlahan.
“Aku panggilin dokter dulu ya”. Aku melepaskan genggamanku.
“Nda, aku tidak perlu dokter”. rendi menarik tanganku.
“Kenapa, tadi kata dokter kalau sudah sadar suruh panggil”. Aku langsung duduk di dekat ranjangnya.
“Nda yang aku butuhin itu kamu, aku ingin kamu selalu ada di sisiku, walaupun mama tidak setuju”.
“Ren, aku selalu disini kok, jangan dipikirin, aku hanya menunggu panggilan “Manja”, dari seorang dokter lebay”.
“Dasar manja, kamu selalu buat aku bahagia”.
“Sekarang aku panggilin dokter dulu ya?”
Rendi pasti tahu bagaimana aku mengumpulkan keberanian untuk memanggil dokter, oleh sebab itu rendi membuatku tenang dulu.
Setelah sekian menit pun dokter akhirnya datang dan memeriksa keadaan rendi. Karena dokter itu sudah kenal dengan rendi maka dokter langsung memberikan penjelasan dengan rendi.
“Ren, lukamu tidak serius, tapi Cuma ada masalah dengan lambungmu, tolong makan secara teratur dan minum obat. Kamu jangan kebanyakan pikiran. Kamu tahukan akibatnya?”. Dokter itu memberikan kode ke rendi kalau rendi stres bisa lebih parah.
“Iya dok, saya akan menuruti kata dokter”.
“Gitu dong, sebagai dokter ya harus gitu. Tolong jaga si dokter itu ya”. Dokter itu menepuk pundakku, dengan memberi isyarat kalau aku harus menjaga rendi.
“Iya”. Aku sambil mengangguk.
***
Pagi pun terasa aneh berada di rumah sakit. Aku bangun dari sofa di dekat ranjang rendi. Dan melihat rendi yang sudah bangun dan memainkan ponselnya.
“Loh ren, kamu sudah bangun?, maaf ya aku kesiangan, seharusnya aku yang jagain kamu”. Sambil mengucek kedua mataku
“Iya tidak masalah nda, aku udah enakan kok, sana gih mandi”. Rendi menyuruhku mandi.
Setelah beberapa menit aku mandi, aku keluar dari kamar mandi, rendi menatapku sambil tersenyum kearahku.
“Kenapa ren, senyum-senyum gitu, ada yang aneh ya?”.
“Enggak kok kamu lucu, imut banget kalau tidur tadi”. Sambil tertawa.
“Jangan-jangan kamu ngambil fotoku ya waktu aku tidur?”.
“Kalau iya kenapa, salah sendiri suruh jagain dokter ganteng ini malah tidur”.
“Hapus ren, hapus...”. aku berusaha menggapai ponselnya yang di tangannya namun hasilnya nihil.
Rendi menarik tanganku dan menarik tubuhku dan memelukku dengan erat. Rendi berbisik kepadaku.
“Nda, aku ingin kita selalu seperti ini”.
Aku hanya mengangguk di pundaknya.
Kita berdua kaget dan melepasnya ketika suara pintu ada yang membukanya dari luar.
“Ai, gimana kedaan rere”. Mama masuk ke kamar, tanpa melihat rendi.
“kak rere sudah baikan kok ma, nih dia orangnya”.
“Rere, akhirnya kamu sadar juga sayang”. Mama langsung memeluknya dengan erat.
“iya ma, tadi malem rere sudah sadar kok, tapi biar mama istirahat di rumah jadi tidak di kabari sama Nda”.
“Iya sayang, terpenting sekarang kamu harus turuti kata dokter ya?”.
“Iya ma”. Sambil memeluk pelukannya.
***
Aku hari ini memutuskan untuk pulang karena sudah dua hari aku di rumah sakit.
“Ma, Ai pulang dulu. lusa kan kak rere sudah pulang aku langsung kerumah mama ya”.
“Iya sayang makasih banget ya, sudah jagain rere”.
“Iya ma”.
Setelah aku berpamitan sama mama aku berpamitan sama rendi.
“kak rere aku pamit pulang dulu ya”. Karena mama selalu melihat ku ketika aku bersama rendi akhirnya aku memanggilnya dengan sebutan kakak.
“Iya Nda, makasih banget buat dua hari ini, selalu menjagaku dan membuatku tersenyum”.
Aku hanya terseyum padanya dan keluar dari kamarnya rendi.
***
Satu hari sudah berlalu.
“Ma, rere mau ngomong sama mama”.
“Ngomong aja re, kamu sakit lagi ?”.
“Enggak kok ma, rere Cuma mau bilang kalau aku cinta sama Nda, mama tau kan yang rere minta”.
“kamu harus sembuh, mama enggak mau kamu tambah parah gara-gara kamu mikirin itu lagi”. Mama langsung keluar kamar.
“Ma... rere mohon”. Rere hanya bisa duduk di ranjang tanpa mengejar mama.
Rere termenung dan hanya memainkan selang infusnya yang ada di tangannya.
Beberapa menit pun sudah berlalu, dokter yang bertugas memeriksa rendi pun masuk untuk memeriksanya kembali.
“Ren, selang infusnya mau di apaain, kamu tahu kan fungsinya itu”. dokterpun melihat rendi kebingungan. Rendi hanya diam tanpa melihat dokter itu.
“Ren saya priksa dulu ya”.
“Enggak usah dok, saya tidak sakit”. Rendi mengelak tangan dokter yang menaruh stetoskop di dadanya.
“Ren, kamu kenapa, ada apa kok tiba-tiba kamu jadi begini?”. Dokter itu tambah bingung melihat tingkah rendi.
Mama pun masuk ke ruangan itu yang melihat rendi menolak untuk di priksa.
“Kenapa dok, rendi tidak mau di priksa?”. Tanya mama kepada dokter itu.
“Iya bu, mungkin ibu tahu apa penyebabnya rendi jadi berubah seperti ini, kalau dia seperti ini terus keadaanya semakin buruk bu”.
“Mungkin rere banyak pikiran dok, coba di paksa saja dokter, rere memang belum dewasa jadi masih labil.”
“ya sudah saya coba ya bu”. Dokter itu mendekati rendi dan menyalurkan stetoskop itu kearanya rendi.
“saya ini tidak sakit dokter”. bentak rendi pada dokter itu.
rendi menarik stetoskop itu dan langsung membuang kearah dokter itu. rendi berontak dan mencoba melepaskan infus yang ada di tangannya. Tapi dokter itu lebih cepat menusukkan jarum suntik yang berisikan bius itu ke tangan kanannya rendi. Selang beberapa detik rendi pun tak sadarkan diri oleh bius itu.
setelah itu dokter memeriksanya dengan detail. Dan memberikan penjelasan pada mama.
“Bu, keadaanya rendi sekarang lebih buruk dari kemarin, sepertinya tingkat stresnya semakin tinggi, sehingga dia tidak bisa mengontol dirinya, yang saya takutkan kalau tinggat stes makin tinggi, akal sehatnya bisa terganggu. Paham kan yang saya maksud bu?”
“Iya dokter terimakasih”.
Mama yang di dekatnya rendi hanya bisa menangis melihat anak satu-satunya bisa seperti ini.
Dia berbisik dan memegang erat tanganya rendi. “Re, mama minta maaf mungkin ini memang salah mama tidak menyetujui kalian, karena mama takut kehilangan Ai suatu saat nanti kalau kamu sama Ai pacaran, tapi mama juga tidak mau kehilangan kamu re”.
“Mama janji akan membuat kalian bahagia”. Sambil meneteskan air mata.
***
Ketika aku bersiap menerima kabar kalau rendi pulang hari ini dengan penuh senyuman, tapi takdir berkata lain. aku mendapat kabar kalau rendi harus tetap dirawat di Rs sampai beberapa hari kedepan, karena keadaannya tak kunjung baik. Aku memutuskan untuk ke RS dan menjenguk rendi. Membawakan Brownies buatan ibuku.
Setengah jam aku berada di perjalanan akhirnya bisa sampai juga di depan ruangan dingin ini.
“selamat pagi ma”. Aku melangkahkan kaki ke kamar rawatnya rendi.
“Ai, akhirnya kamu datang juga?”. sambil memelukku.
“Gimana keadaanya kak rere ma?”.
“Kamu lihat kan Ai, rere hanya diam sepanjang hari, dia juga tidak mau makan, mama bingung banget Ai”.
Aku mencoba mendekati rere yang duduk di depan kaca bangunan rumah sakit dengan infus di sisi kursinya. Mama keluar kamar meninggalkan kami berdua.
“Ren, aku kesini lagi, oh iya aku bawain Brownies nih, aku suapin ya”. Aku memberikan kue itu kearah mulutnya rendi. Rendi hanya diam.
“ayolah dokter lebay yang ganteng sendiri makan kuenya”. Akupun membujuknya.
“Lupakan panggilan itu”. kata rendi dengan nada lemah.
“Kenapa? Apa ada yang salah dengan panggilan itu, apa itu membuatmu tidak nyaman?”. Mataku langsung berkaca-kaca mendengar kalimat tersebut.
“kita hanya kakak dan adik Nda, bukan pasangan ataupun kekasih, kamu harus lebih sopan”.
“Kenapa ren, kamu berubah seperti ini?”.
“Biarkan aku menderita seperti ini Nda, dari pada aku harus merasa bersalah untuk kedua kalinya pada mama, mungkin memamang seharusnya takdir seperti ini”. rendi meneteskan air mata. Aku berjongkok di hadapanya rendi yang berapa di kursi.
“Ren, kalau itu membuat mu lebih baik aku akan terima kok, aku tetap sayang sama kamu bukan sebagai kakak”.
“Nda aku sayang banget sama kamu”. Rendi sambil mengusap air mataku. Ternyata mama di dekat pintu sudah lama dan melihat kita berdua.
Mama mendekati kita berdua dan meneteskan air mata.
“Re, mama minta maaf sudah membuat kamu menderita seperti ini, sebagai permintaan maaf mama pada kalian berdua, mama ikhlas dan menyetujui hubungan kalian”.
“Ma, rere tahu ini berat buat mama kan, rere akan menuruti kata mama kemarin”.
“Enggak re, mama serius menyetujui hubungan kalian, dan mama harap kalian berdua bisa bahagia”.
“Beneran mama ikhlas ?”. rendi memastikan lagi. Aku hanya tersenyum kearahnya rendi.
Rendi langsung memelukku dengan erat. Dan dia berbisik kepadaku “Inilah keajaiban nda”. Aku mengangguk.
“Re, tapi mama punya syarat”.
“Apa ma?”
“Rere harus cepet sembuh dan mama ingin apapun yang terjadi kalian berdua tetap bersama, kalaupun bukan jodoh dia akan tetap jadi adikmu, kalau kelak memang itu jodoh mu kalian harus bahagia bagaimanapun caranya, karena mama hanya ingi melihat kalian berdua bersama dan tersenyum bersama”.
“Iya ma aku hanya berharap Nda itu jodohku selamanya, makasih ma. I love You”. Rendi memeluk mama dengan erat. Aku melihat dengan air mata bahagia.
***
Minggu lalu penuh suka dan penuh air mata juga. dan hari ini aku menikmati kehidupanku sebenarnya. Sebagai mahasiswa dan rendi seagai dokter. entah bagaimana semua teman dan sahabatku mengetahui hubungan kami, tapi ini lah yang namanya bumbu kehidupan.
Seperti biasa aku hanya bisa bertemu rendi dua sampai tiga hari sekali karena kesibukanku, tapi kita tetap kominikasi dan tak lupa “Berantem”.
“Nikmatilah kehidupan seperti halnya Brownies, ada rasa sakit ketika masih menjadi adonan dan melalui banyak proses, dan ada kalanya merasa sakit ketika di oven, tapi lihatlah setelah matang, membuat seyum lebar dan bahagia di akhir, manis seperti kehidupan. Itulah kehidupan yang sebenarnya banyak proses yang harus dilalui”.&&&&
* Terima kasih khusus buat Readers ku, tanpa kalian karya ku bukan apa-apa. Terimakasih selalu meluagkan waktu buat membaca karya yang jelek ini. hanya kalian semua aku semangat untuk menulis. Dan terimakasih lagi- lagi dan lagi.
* Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin, mungkin dalam tulisanku ini banyak salah dan harus ada revisi mohon di maafkan ya. Karena manusia itu kan tidak ada yang sempurnya. Semoga semua menjadi fitri dan selalu berada di lindungan Allah.
* Mungkin untuk Part 2 nya di pending, soalnya mau nyelesaiin dan fokus pada ceritaku satunya yang masih On Going yang terlantar sejak tahun lalu. Baca ya judulnya “Macaroon Love Story”
* Tingkah laku jelek mohon tidak di tiru ya. 😊😊😊
![](https://img.wattpad.com/cover/59453586-288-k768234.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Me Vs Doctor
SonstigesPerjalanan kisah Cinta seseorang yg benci terhadap dokter dan menjadi Cinta pertama dan sejati