Raina
Tok! Tok! Tok!
Seseorang mengetuk pintu kamar Kafka. Kafka mempersilahkannya masuk.
"Den, ini bibi buatin susu hangat buat den Kafka. Diminum ya?" ucapnya sambil meletakkan minuman di meja belajar Kafka.
Dia adalah bi Marni, pembantu diumah Kafka.
"Makasih bi, tapi bibi ngga usah repot-repot. Kafka bisa buat sendiri kok," ucap Kafka.
Bi Marni hanya tersenyum. Kafka memang tidak ingin merepotkan pembantunya. Jika hanya membuat susu, dia juga bisa sendiri.
Kafka mengambil susu cokelat kesukaannya dan meminumnya.
"Mama belum pulang ya, bi?" tanya Kafka.
Senyum bi Marni memudar, "Belum, den. Den Kafka kan tau sendiri."
Kafka hanya tersenyum kecut, kemudian mengangguk. Ibunya memang terlalu sibuk bekerja. Berangkat pagi dan pulangmya juga malam sehingga Kafka hanya bertemu waktu sarapan saja. Itupun jika sempat.
"Oh iya, bibi sampe lupa," ia menepuk keningnya, "Itu, ada temen-temennya den Kafka di depan."
"Suruh masuk aja bi. Biasanya juga langsung masuk." ucap Kafka.
"Iya."
Bi Marni keluar dari kamar Kafka. Tidak lama kemudian, Aldi dan Hendra masuk ke kamarnya.
"Tumbenan lo jam tujuh dirumah," ucap Hendra heran.
"Iya, biasanya kan ketemuan sama cewek," Aldi menambahkan.
Kafka meletakkan buku pelajarannya. Kemudian ia membalikkan kursinya menghadap dua sahabatnya.
"Gue mau tobat aja deh," ucap Kafka.
"Hah? Lo ngga sakit kan?" Aldi menyentuh kening Kafka, "ngga sakit ko."
"Coba sini," Hendra juga ikut-ikutan menyentuh kening Kafka, " iya, ngga sakit ko."
"Apaan sih lo pada! Orang gue beneran mau tobat kok!" ucapnya. Kafka risih dengan kelakuan mereka berdua.
"Elah lo. Kalo tobat juga palingan bakal kambuh lagi."
"Sialan lo! Temen mau tobat malah dibilang gitu." ucap Kafka kesal.
"Oh, jangan-jangan lo suka beneran sama Rain?" tanya Hendra.
Hendra memicingkan matanya menatap Kafka curiga. Sepertinya mereka berdua hendak mengintimidasi Kafka.
"Apaan? Kaga!" ucap Kafka.
Kafka berusaha mengelak. Tapi di sisi lain, dia memang tertarik pada Raina. Yah meskipun jutek.
"Tuh kan bener, lo pasti suka sama dia, nih buktinya." Hendra menunjukkan sms di ponsel Kafka.
Hendra menunjukkan sms yang dikirim Kafka kepada Raina. Sejak kapan ponselnya ada ditangan Hendra?
"Ngapain lo buka HP gue, sini balikin!" Kafka langsung menghampiri Hendra dan mengambil ponsel miliknya.
"Lo kalo mau sama Rain jangan cari masalah, ntar gue yang kena. Dia kan sahabatnya pacar gue," ucap Aldi.
"Gue ngga bakal cari masalah, tenang aja," ucap Kafka.
"Lo beneran suka sama dia?" tanya Aldi.
"Hoo.. Kapan lo mau nembak dia?" Kini giliran Hendra yang bertanya, "tapi tunggu, apa dia mau sama lo?"
Kafka kemudian mendaratkan bantal yang dipegangnya kepada mereka berdua. Tapi mereka dengan cepat menghindarinya.
Kafka mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya dan menyibukkan diri dengan bermain game. Ia juga memasang headset ke telinganya. Tentu saja itu membuat Aldi dan Hendra kesal karena Kafka tidak menjawab pertanyaan dari mereka.
*****
02.15
Raina langsung terbangun dari tidurnya. Ia memegangi dadanya berusaha mengatur nafasnya yang tersenggal-senggal. Keringat dingin mengalir disekujur tubuhnya.
"Mimpi itu lagi."
Raina mengambil segelas air putih dan langsung meminumnya. Ia menghela nafasnya, kemudian meletakkan gelasnya kembali. Akhir-akhir ini ia memang sering mimpi buruk.
Raina menatap langit-langit kamarnya. Ia membaringkan tubuhnya lagi dan berusaha memejamkan matanya kembali, tapi tidak bisa. Padahal ini masih pukul dua lebih.
Raina beranjak dari tempat tidurnya, berjalan menuju jendela. Ia membuka jendela kamarnya, menghirup angin malam.Cerah sekali malam ini. Ada banyak bintang juga disana.
Raina berjalan menuju meja belajarnya. Matanya kini tertuju pada sebuah album foto. Ia mengambilnya. Album itu terlihat kusam. Didalam album itu ada banyak kumpulan foto-foto keluarganya.
Raina mulai membuka lembar demi lembar album yang dipegangnya.
Air matanya mengalir saat melihat foto seorang pria paruh baya duduk disampingnya dan tersenyum pada kamera. Pria paruh baya itu adalah Ayahnya. Sudah sekitar satu tahun lebih Ayahnya meninggalkan Raina, tapi masih ada duka didalam dirinya.
Ia menyeka air matanya, berusaha menahan tangisnya.
Raina menutup albumnya kembali, kemudian membaringkan tubuhnya ke kasur. Ia memeluk album itu erat. Erat sekali, seolah tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya.
"Papa, Raina kangen.." ucapnya lirih.
Ia tidak bisa menahannya. Air matanya kembali mengalir membasahi pipinya.
*****
A.N.
Yang ini pendek..
Lagi males..