Raina
Shelma menatap kepergian Raina. Kenapa setelah menerima telepon, Raina langsung ketakutan? Siapa sebenarnya yang menelepon Raina?
"Rain kenapa?" Aldi mencoba bertanya pada Shelma yang sejak tadi diam.
Shelma menggeleng. Ia belum tahu siapa yang menelepon Raina tadi. Tetapi dari reaksinya, kemungkinan besar yang meneleponnya adalah orang yang sama yang membuat Raina trauma.
"Pacarnya Raina?" kini Kafka yang bertanya.
Shelma menggeleng, "Rain ngga punya pacar."
"Apa ada hubungannya sama orang yang ngehajar gue?"
Shelma langsung memutar kepalanya menghadap Kafka, "Siapa maksud lo?"
"Tadi orang yang hajar gue, minta gue buat jauhin Rain. Gue kira dia pacarnya Rain."
"Emang yang kayak gimana sih orangnya?"
"Mmm... Orangnya," Kafka berpikir sejenak, "Tingginya hampir sama kayak gue, kira-kira dua atau tiga tahun lebih tua dari kita lah. Terus satu lagi, kayak ada tanda lahir di telapak tangannya."
Deg
Sekarang Shelma tahu. Laki-laki itu. Setelah lebih dari satu tahun menghilang, dia kembali. Untuk apa?
"Wah, lo berbakat jadi detektif. Hebat, baru pertama ketemu udah ngerti ciri-cirinya," Hendra bertepuk tangan.
Ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda, Hendra.
"Gue nyusul Rain dulu ya," Shelma berdiri dari tempat duduknya.
"Mau gue temenin?" Aldi bertanya pada Shelma.
"Ngga usah. Kalian disini aja."
Shelma langsung keluar dari restoran untuk mencari Raina. Ia sudah mencoba menghubungi Raina, tapi tidak ada jawaban.
Shelma sudah mencari Raina kemana-mana, tapi Raina tidak ada. Shelma mendadak khawatir, bagaimana jika terjadi apa-apa dengan Raina?
Shelma mengamati sekitarnya. Ini sudah malam dan Raina, sendirian. Kemudian, Shelma melihat seseorang duduk trotoar jalan. Itu adalah Raina. Shelma menghela nafas lega. Kemudian ia turun dari mobilnya dan menghampiri Raina.
"Rain, ayo pulang."
Raina diam. Shelma yang melihatnya hanya bisa menghela nafas berat.
"Jawab gue." Shelma menatap Raina, "Apa bener yang telpon lo tadi...."
Shelma sengaja tidak meneruskan pertanyaannya. Ia yakin Raina tahu apa maksudnya.
"Iya..." Raina memejamkan matanya sejenak, "Dia... Farel."
Shelma langsung memeluk Raina. Perlahan tubuh Raina bergetar, Raina menangis dipelukan Shelna. Ia tahu apa yang Raina rasakan sekarang. Trauma.
"Gue takut, Shel."
Shelma mengelus punggung Raina, "Lo ngga perlu takut. Dia ngga bakal ganggu lo."
"Kenapa dia dateng lagi. Gue ngga mau kejadian kayak dulu keulang lagi."
Shelma melepaskan pelukannya, kemudian memegang kedua bahu Raina, "Dengerin gue. Gue ngga bakal biarin dia ganggu lo."
"Jangan nangis lagi," Shelma menghapus air mata Raina.
Raina mengangguk. Ia tersenyum kepada Shelma.
Shelma berdiri, kemudian mengulurkan tangannya kepada Raina, "Ayo pulang."
Raina menerima uluran tangan Shelma, "Makasih udah nyemangatin gue. Lo emang sahabat terbaik gue."
"Gue merasa terhormat," Shelma tersenyum.
*****
Raina baru saja keluar dari minimarket. Sebenarnya ia malas datang ke sini. Ini semua karena mama Raina pergi ke rumah tantenya, dan mamanya baru akan pulang nanti malam. Padahal tante Ambar belum lahiran. Tapi Mama Raina sudah sibuk dengan tantenya. Dan sekarang. Raina sebenarnya malas pergi belanja. Tetapi ya, mau bagaimana lagi. Ia tidak ingin mati kelaparan.
Bruk
"Aduh," Raina memegangi keningnya.
Mungkin ini karena efek karena ia berjalan sambil memikirkan hal lain. Ia sekarang menabrak seseorang. Semoga saja orang yang ia tabarak tidak memarahinya.
Raina mendongakkan kepalanya menghadap orang yang tidak sengaja ia tabrak tadi.
Orang itu tersenyum, "Hai, Nana."
Itu adalah Kafka.
Raina mengerutkan keningnya. Kafka memanggil siapa? Raina menengok ke belakang, padahal tidak ada siapa-siapa. Kenapa Kafka tadi memanggil 'Nana'?
"Eh, gue manggil elo." Kafka menunjuk Raina.
"Gue?" Raina menunjuk dirinya sendiri, "Sejak kapan nama gue jadi Nana?"
"Kan nama lo Raina. Boleh dong gue panggil lo Nana?"
Raina menatap Kafka datar, "Ngga!"
"Terserah elo, yang penting gue panggil lo Nana." Raina mendengus.
Raina memperhatikan Kafka. Untuk apa dia datang ke mini market sini? Apa rumahnya ada di dekat sini?
"Ngapain lo kesini?"
"Emang kenapa? Ini tempat lo?" tanya Kafka.
Raina merutuki kebodohannya sendiri. Seharusnya ia tadi tidak usah bertanya pada Kafka. Apa salahnya jika Kafka berbelanja disini? Ini tempat umum, siapapun boleh datang kesini.
"Bukan sih."
Kafka menyeringai, "Oh iya. Sorry yang tadi. Sengaja."
Raina mengerutkan keningnya, "Maksud lo?"
"Itu yang tadi nabrak lo. Sengaja."
"Iya ngga apa-ap–," Raina berfikir sejenak, "Tunggu dulu. Apa lo bilang? Sengaja?"
Raina kira, Kafka tidak sengaja menabraknya. Tapi ternyata sengaja. Dasar, Kafka!
"Iya. Abisnya lo jalan sambil ngedumel. Ya gue tabrak aja."
Raina menatap nanar kepada Kafka, "Lo—"
Ponsel Raina bergetar. Ia cepat-cepat merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya.
Nomor tidak diketahui..
Nomor tidak diketahui? Jangan-jangan, Farel yang meneleponnya.
Raina menelan ludahnya dengan susah payah. Tangannya sudah bergetar saat menekan tombol hijau untuk menjawab panggilannya.
"H– halo." Raina membuka suaranya.
*****
A.N.
Cerita makin gaje??
Bodo amat..
Abisnya kalian jahat..
Kalian ngga mau kasih vomment buat cerita aku..😒