[24] - DUA PULUH EMPAT

6.3K 376 29
                                    

Raina

Raina memilih untuk pergi ke toko buku di dekat sekolahnya. Semenjak pulang sekolah sampai sekarang, Raina masih asik memilih buku-buku kesukaannya.

Awalnya Raina hendak pulang bersama Shelma. Tapi berhubung Shelma di ajak jalan oleh Aldi, Raina pulang sendiri. Ia juga ingin mengajak Jihan pulang bersama. Tapi, Jihan sudah pulang duluan.

"Kenapa nasib gue gini yah? Udah sendirian, kayak orang ilang lagi."

Sejak tadi Raina berbicara sendiri sambil mencari-cari buku. Jika sudah menemukan buku yang ia sukai, ia akan berhenti menggerutu.

Raina melihat ke rak paling atas. Itu buku yang sedang ia cari. Tapi kenapa harus di tempatkan di atas sendiri.

Raina mulai berjinjit untuk mengambil bukunya. Namun nasibnya yang tidak tinggi membuatnya kesusahan untuk mengambilnya.

Raina mendesis pelan, "Tinggi banget, sih?"

Kemudian seseorang yang lebih tinggi datang dari arah belakang Raina dan mengambil buku yang akan Raina ambil.

"Eh, itu punya gue," Raina berbalik sambil menunjuk buku yang akan ia ambil justru diambil oleh seseorang.

"Nih," Kafka menyodorkan buku yang tadi ia ambil kepada Raina.

Raina terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengambil bukunya dari tangan Kafka, "Makasih."

"Gitu aja ngga nyampe. Makanya jangan pendek-pendek," ejek Kafka.

Raina mengubah ekspresinya menjadi cemberut, "Biarin pendek, yang penting idup."

Kafka terkekeh pelan, "Sendiri?"

Raina memutar bola matanya, "Udah tau pake nanya. Ngga liat gue lagi sendirian?"

"Lo lagi PMS yah? Sewot amat jawabnya."

"Ngga," jawab Raina singkat, padat, dan jelas.

Raina berjalan menuju antrian dan membayar buku yang telah ia dapatkan.

"Lo mau kemana?" tanya Kafka setelah mereka keluar dari toko buku tersebut. Ternyata sejak tadi Kafka masih mengekori Raina.

"Rumah sakit."

"Ngapain?" Kafka terdiam sejenak, "Jangan bilang lo mau ketemu Farel."

Raina hanya mengangguk singkat.

"Ngga boleh, " Kafka menghalangi jalan Raina, "Ntar kalo dia nyakitin lo lagi gimana?"

"Gue ngga peduli. Gue mau pergi," Raina langsung melengos meninggalkan Kafka.

"Na," Kafka menarik tangan Raina dan menyuruhnya naik ke mobil Kafka.

"Apaan sih?" Raina mencoba untuk turun dari mobil Kafka. Tapi Kafka buru-buru menahannya untuk diam di tempat.

Raina menyilangkan kedua lengannya di depan dada, "Rese!"

"Pake setbeltnya," Raina menahan nafasnya saat Kafka memasangkan seatbelt untuknya.

"Gue anter," Kafka langsung menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.

Raina hanya memperhatikan Kafka dari samping. Kenapa setiap hari Raina harus berurusan dengan Kafka? Bukannya apa-apa. Raina hanya tidak ingin merepotkan orang lain.

Raina [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang