Raina
Raina ketakutan sekarang. Ia tidak tahu kemana Farel akan membawanya. Farel membawa mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi.
"Ngga ada yang boleh deketin lo!" ucap Farel yang masih fokus menyetir.
"Lo milik gue," lanjutnya.
"Rel, lo kakak gue," ucap Raina.
Farel menambah laju kecepatan mobilnya, "Apa kalo gue bukan kakak lo, lo bakal cinta sama gue?"
Raina tidak menjawab. Ia memegang setbelt kuat-kuat saat Farel membawa mobilnya ugal-ugalan.
Farel menyeringai, "Ah iya. Bukannya kita bakalan mati bareng?"
Raina menggeleng kuat, "Rel, jangan," ia sudah menahan tangisnya.
Farel semakin menjadi-jadi. Bahkan tadi, Farel hampir menabrak pedagang asongan yang lewat. Farel sudah keterlaluan. Ini tidak bisa dibiarkan.
"Rel, gue ngga mau mati sekarang."
Farel memelankan laju mobilnya mendengar ucapan Raina barusan.
"Jadi.. Lo udah cinta sama gue?"
Raina menggeleng, "Ngga! Gue ngga pernah cinta sama lo, Rel. Lo kakak gue."
Farel langsung mempercepat laju mobilnya lagi, "Kalo gitu, kita bakalan mati bareng."
Perlahan, Raina mulai meneteskan air matanya. Bagaimana Raina bisa keluar dari sini. Ia tidak ingin mati sekarang, kehidupannya masih panjang.
Raina menggoyangkan lengan Farel, "Rel, berenti. Tolong jangan kayak gini."
Farel langsung menepis tangan Raina. Ia terus mempercepat laju mobilnya. Hingga truk datang dari arah berlawanan.
"Rel, awas!" Raina ikut memegang stir, membanting stir ke arah kiri.
Raina berhasil menghindar dari truk. Tapi sayang, mobilnya justru menabrak pohon.
BRAK..
Raina mencoba membuka matanya. Ia memegang pelipisnya. Sakit.
"R– rel, ba– bangun," Raina menepuk lengan Farel. Raina sudah tidak bisa bergerak, tubuhnya benar-benar sakit.
Farel sudah banyak mengeluarkan darah. Farel tadi tidak memakai seatbelt saat membawa mobilnya.
"To– tolong," Raina berusaha berteriak, namun usahanya sia-sia. Kemudian, ia merasa pndangannya kabur. Hingga akhirnya.
Semua menjadi gelap.
*****
"Kaf, kita udah muter-muter. Kemana Rain sebenernya?" Shelma sejak tadi tidak bisa tenang. Pikirannya kalut.
Kafka mendesah frustasi, "Gue juga ngga tau. Lo bisa diem ngga sih?"
"Gimana gue bisa diem kalo sahabat gue dalam bahaya!" Shelma sudah tidak tahu lagi, ia malah melampiaskan kemarahannya kepada Kafka.
"Gue juga khawatir. Tapi gue ngga bisa konsen kalo lo ngga bisa diem," Kafka mencoba untuk tidak terbawa emosi, "Kita bakal lewat jalan Kenanga, kita belum lewat sana tadi."
Shelma hanya mengangguk.
Hari sudah semakin malam dan mereka belum juga menemukan Raina. Kemana sebenarnya Farel membawa Raina. Kafka juga kesal. Jika terjadi apa-apa pada Raina, Kafka tidak segan-segan untuk memberinya pelajaran.
"Kaf, itu mobil yang tadi dibawa Farel," Shelma menyipitkan matanya, berusaha memastikan. Itu memang benar mobil Farel. Beberapa ratus meter darinya saat ini.
Betapa terkejutnya mereka saat melihat mobil Farel menabrak pohon. Itu artinya, mereka kecelakaan!
"Kaf, Rain!" Shelma langsung turun dari mobilnya untuk menghampiri Raina dan Farel.
Shelma mengetuk kaca mobil Farel, "Rain. Lo bisa denger gue?" Shelma kembali mengetuk kaca mobil Farel lagi, "Rain!"
Kafka juga sudah mencoba untuk membuka pintu mobil Farel, tapi tidak bisa. Pintunya terkunci dari dalam.
"Pintunya kekunci dari dalem. Gue bakal pecahin kaca belakang." ucap Kafka.
Shelma mengangguk. Kafka sedang berusaha memecahkan kaca belakang.
Kafka masuk kedalam mobil, kemudian membuka pintu mobil depan. Keduanya mengeluarkan banyak darah.
"Cepet bawa Rain ke mobil!" ucap Shelma.
Kafka langsung membopong Rain dan membawanya kedalam mobil Kafka. Kafka mengamati Raina sejenak. Bagaimana ini bisa terjadi? Farel memang benar-benar keterlaluan.
Setelah mengantar Raina kedalam mobilnya, Kafka menghampiri Shelma yang sedang memapah Farel. Ia membantu Shelma memapah Farel dan masuk ke dalam mobilnya.
"Cepetan bawa mereka ke rumah sakit!" Shelma sudah memasang setbelt nya.
Kafka mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya kerumah sakit.
"Gimana bisa kayak gini?" Shelma menatap Raina yang masih mengeluarkan darah segar dari pelipisnya.
"Ngga akan terjadi apa-apa sama Rain," ucap Kafka berusaha menenangkan Shelma.
Hingga sampai dirumah sakit, Kafka menyuruh perawat untuk segera membawa Raina dan Farel kedalam.
Shelma dan Kafka sedang menunggu didepan ruang IGD. Mereka terdiam dengan pikirannya masing-masing.
Shelma merosotkan dirinya ke lantai, "Gue ngga bisa ngelindungim sahabat gue sendiri."
Shelma menjambak rambutnya sendiri. Mata Shelma sudah membengkak karena menangis sejak menemukan Raina tadi. Ia tidak menyangka jika hal seperti ini akan terjadi.
Kafka ikut duduk disamping Shelma, "Lo tenangin diri lo. Mendingan sekarang lo telpon nyokapnya Rain," Kafka menepuk bahu Shelma agar Shelma lebih tenang.
Shelma menggeleng, "Gue ngga tau harus jelasin gimana sama nyokapnya Rain."
"Biar gue aja yang ngomong. Gue yang akan jelasin," Shelma hanya mengangguk dan memberikan ponselnya kepada Kafka.
Kafka menelepon Mama Raina dan menjelaskan semua yang terjadi hari ini. Termasuk Farel yang tiba-tiba datang membawa Raina.
"Jadi lo udah tau semuanya?" tanya Shelma saat melihat Kafka memutuskan sambungan teleponnya.
Kafka mengangguk, "Dia udah jelasin semuanya ke gue waktu gue kerumahnya."
Shelma menatap Kafka, "Kaf, apa lo sayang sama Rain?"
Kafka langsung membulatkan matanya. Namun sedetik kemudian, ia mengerjabkan matanya. Kafka nampak terkejut dengan pertanyaan Shelma.
"Gue ngga tau, Shel."
Shelma tersenyum, "Gue tau lo orang yang baik. Jangan sakitin dia," Shelma menepuk bahu Kafka.
Shelma berdiri, "Gue mau ke mushola dulu. Hubungin gue kalo ada apa-apa sama Rain."
Kafka mengangguk. Ia melihat Shelma yang semakin jauh dari pandangannya. Ia memejamkan matanya sejenak. Kafka tidak tahu, apakah ia menyayangi Rain atau tidak. Mungkin ia memang menyukai Rain. Rasa suka bisa saja hilang seiring berjalannya waktu. Tapi jika sayang? Kafka tidak tahu, biarlah waktu yang menjawabnya.
*****
How is my story??
Vomment..