Raina
"H- halo," Raina membuka suaranya.
"Gue ada di deket lo," ini benar-benar suara Farel.
Itu artinya, Farel ada di sekitar sini. Bagaimana ini? Raina mengamati sekitarnya, berusaha mencari sosok Farel. Tapi tidak ada. Yang ada hanya orang-orang yang berlalu lalang melewati dirinya.
"Jangan deketin dia, kalo lo ngga mau dia terluka."
Apakah yang dimaksud dengan dia adalah Kafka? Raina menatap Kafka sekilas. Itu artinya, yang menghajar Kafka kemarin adalah Farel. Tapi kenapa Farel melibatkan Kafka? Kafka tidak ada urusan dengannya.
"Gue selalu ngawasin lo. Jadi lo ngga usah macem-macem." Farel berusaha mengancam Raina.
Raina tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya seolah terkunci ketika mendengar suara Farel.
Farel memutuskan sambungan teleponnya.
"Siapa yang telpon lo tadi? Kok lo diem aja?" Kafka kebingungan melihat ekspresi Raina yang berubah drastis setelah menerima telepon dari seseorang.
"Bukan urusan lo! Lo mau ke dalem, kan? Sana masuk!" Raina berusaha mengalihkan pembicaraan.
Nada suara Raina juga sedikit ketus. Itu karena mulai sekarang, ia harus menjauhi Kafka. Raina hanya tidak ingin Kafka terluka karena Farel. Tidak akan.
"Iye-iye. Jutek amat mba," Kafka langsung masuk ke dalam mini market.
Raina menghela nafasnya, ia sekarang akan berlari menuju rumahnya. Berlari sambil mengawasi sekitarnya.
Raina terus berlari, tidak peduli jika ia tidak sengaja menabrak orang yang berlalu lalang disekitarnya. Ia hanya berharap Farel tidak mengikutinya.
Hingga sampai rumah, ia langsung menutup pintunya rapat-rapat. Raina menempelkan punggungnya ke pintu. Perlahan tubuhnya merosot ke lantai. Raina menekuk kakinya, kemudian menenggelamkan wajahnya diatas lutut.
Kenapa Farel datang lagi? Seharusnya dia menghilang selama-lamanya setelah kejadian itu. Kejadian yang menurutnya sangat mengerikan.
Farel... Dia adalah..
Dia adalah kakak Raina. Kakak yang mencintai adiknya sendiri. Mencintai Raina. Kakak yang telah membuatnya trauma.
Sekarang Raina takut. Takut jika Farel berbuat seperti dulu lagi. Kejadian yang selalu membuatnya bermimpi buruk. Raina jelas masih sangat mengingatnya.
Farel menyudutkan Raina ke sisi dinding, kemudian mengelus pipi Raina, "Jadi, lo pilih hidup sama gue atau kita mati bareng?"
Raina menggeleng, "Rel, jangan kayak gini."
Raina meneteskan air matanya. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Farel benar-benar membuatnya ketakutan.
"Jangan nangis," Farel mengusap air mata Raina, "Gue cinta sama lo."
Raina menurunkan tangan Farel, "Lo kakak gue, Rel."
"Tapi gue cinta sama lo."
"Lo kakak gue."
Farel mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Pisau lipat! Apa yang akan ia lakukan pada Raina?
"Lo pilih yang mana?" Raina tidak menjawabnya.
"Lo ngga milih? Itu artinya, kita mati bareng." ia memainkan pisau lipatnya di depan Raina.
"Ah gini aja, gue bunuh lo dulu. Baru gue bunuh gue sendiri. Setuju!" ucap Farel.
Raina menggelengkan kepalanya, ia tidak ingin mati, "R- Rel.."
Farel mengarahkan pisau lipatnya ke leher Raina. Raina memejamkan matanya. Perih. Apa Farel benar-benar akan membunuhnya?
"R- Rel, lo ngga boleh kayak gini. Lo kakak gue," Tubuh Raina bergetar. Ia ketakutan.
Raina langsung mengusap air matanya. Ia langsung menghilangkan kilasan kejadian itu. Raina hampir mati pada saat itu. Ia tidak ingin kejadian itu terulang lagi.
Raina mengambil ponsel dari sakunya. Ia menghubungi Shelma dan menyuruhnya untuk datang ke rumahnya. Setidaknya sampai Mamanya pulang dari rumah tantenya.
*****
Raina duduk di halte bus sambil menatap langit. Masih hujan.
'Kapan hujannya reda?', batinnya sambil melihat jam di ponselnya.
Sudah setengah jam setelah pelajaran sekolah usai, tapi hujan tidak juga reda.
Ia mendengus kesal, ia bahkan tidak membawa payung. Biasanya ia bersama Shelma, tetapi hari ini Shelma tidak masuk sekolah. Shelma tidak masuk sekolah karena neneknya yang dirawat dirumah sakit beberapa waktu lalu meninggal.
Dan sekarang, bagaimana ia bisa pulang jika hujan terus-menerus? Apa ia harus menerobos hujan?
Tiba-tiba Kafka datang menghampiri Raina sambil membawa sebuah payung ditangannya.
"Ayo pulang," ucap Kafka.
Raina mengangkat wajahnya. Kemudian ia mendengus lagi. Ia tidak ingin melihat Kafka.
"Nggak, mending gue balik sendiri," ucap Raina sedikit ketus.
"Paling ngga terima payung ini. Gue ngga pengin lo sakit," Kafka memberikan payungnya kepada Raina.
"Gue ngga butuh."
Ia berdiri dan hendak berlari, tapi Kafka menahan tangan Raina. Kafka menatap lekat iris hitam milik Raina.
"Kenapa sikap lo jutek lagi sih sama gue. Kenapa?"
Raina tidak berani balas menatap mata laki-laki itu, ia memandang ke arah lain.
"Gue ngga nyuruh lo kesini. Dan lo ngga perlu deket-deket gue, gue ngga butuh lo!"
Kafka bahkan tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Terutama tentang apa yang membuat Raina itu harus menjaga jarak dengannya.
Kemudian Raina berlari menembus hujan, meninggalkan Kafka yang masih terpaku di tempatnya.
*****
A.N.
Eh, jadi kalian tetep mau kayak gini??
Jadi silent reader..
Terserah kalian lah..
Kalian ngga asik..😒Vomment..