Raina
"Cie cie, Nana." Shelma tak henti-hentinya menggoda Raina. Ia mengingat semalam Kafka memanggil Raina dengan sebutan 'Nana'.
Raina memelototkan matanya, "Ngga usah panggil gue Nana!"
Shelma tertawa menanggapi bentakan Raina, "Iya iya. Sori, gue harusnya ngga manggil lo gitu. Itu kan panggilan sayang Kafka ke elo."
Raina tidak lagi memperdulikan Shelma yang sejak tadi menggodanya. Ini semua gara-gara Kafka.
"Gimana rasanya dipeluk sama Kafka?" kini Shelma menanyakan hal lain, nada suara yang agak ditinggikan.
Raina langsung membungkam mulut Shelma, "Lo, ember banget. Ntar kalo ada gosip yang aneh-aneh gimana?"
Sepertinya Shelma sengaja meninggikan suaranya agar siswa lain yang berasa di kantin membuat gosip tentang Raina dengan Kafka.
Shelma melepaskan tangan Raina dari mulutnya, "Gue serius, gimana rasanya dipeluk sama Kafka?" kini suara Shelma sedikit diturunkan.
Raina langsung menjitak kening Shelma, "Rasain aja sendiri."
Shelma mengelus keningnya yang terkena jitakan Raina, "Sakit tau Rain."
Raina hanya memutar bolah matanya jengah. Ia kembali melanjutkan aktivitas sebelumnya, makan.
"Hai, Nana!" sapa seseorang yang sedang menghampirinya. Tepat sekali. Baru saja selesai dibicarakan, orangnya datang. Kafka.
Kafka duduk disamping Raina, kemudian langsung menyedot jus alpukat pesanan Raina.
"Itu jus gue!" Raina kesal, padahal ia belum meminumnya sama sekali. Tapi Kafka sudah meminumnya duluan.
Kafka menghentikan minumnya yang tinggal setengah, "Oh, punya lo. Nih," Kafka memberikan minumannya pada Raina.
Raina tidak mengambilnya, "Ogah, bekas lo."
"Ya udah," Kafka kembali meminumnya sampai habis. Itu membuat Raina ilfeel.
"Eh, Aldi sama temen lo satunya mana Kaf? Kok ngga keliatan?" tanya Shelma.
"Nyawanya masih setengah, belum ngumpul semua. Palingan juga bentar lagi nyampe."
Shelma hanya mengangukkan kepalanya. Nyawanya setengah? Berarti tidur. Jika nanti ia bertemu dengan Aldi, habis riwayat Aldi.
"Nana, gimana kabar lo? Udah ngga nangis lagi kan? Kalo nangis, sini gue peluk lagi," Kafka merentangkan tangannya kepada Raina. Raina langsung memukul Kafka menggunakan sendok yang dipegangnya dan membuat Kafka mengaduh kesakitan.
Raina mendesis. Tadi Shelma, sekarang Kafka yang menggodanya. Wajah Raina mungkin sekarang sudah memerah seperti tomat.
"Ngga, dan ngga akan pernah lagi!" Raina benar-benar ingin menutup mulut Kafka dengan mangkuk mie ayamnya.
"Oh ya? Padahal lo bilang 'jangan pergi', sambil nangis-nangis," Kafka menirukan eksperi Raina semalam.
Shelma yang melihatnya, terkikik geli. Ia tidak bisa membayangkan saat Raina memohon kepada Kafka sambil menangis.
"Ah, serah lo!" Raina sudah kesal dengan dua makhluk yang ada didepannya ini.
*****
Raina dan Shelma baru saja duduk di halte bus. Shelma hari ini tidak membawa mobil. Dan sekarang, mereka akan pulang naik bus.
"Aduh, Rain. HP gue ketinggalan di kelas," Shelma menepuk keningnya, "Gue ambil dulu ya?"
Belum sempat Raina menjawab, Shelma sudah tak terlihat lagi dihadapannya. Raina hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Shelma.
Raina memilih untuk memainkan ponselnya saat menunggu Shelma. Kemudian Raina nenyadari ada orang yang mendekatinya, tepat berada didepannya. Raina langsung mendongakkan kepalanya melihat siapa yang menghampirinya.
Betapa terkejutnya ia saat melihat orang yang menghampirinya. Dia lagi.
Raina langsung berdiri, kemudian menjauh satu langkah Farel. Bagaimana Farel bisa ada disini?
Raina benar-benar takut sekarang. Biasanya Farel hanya menerornya lewat telepon, tapi sekarang Farel benar-benar ada didepannya. Apa yang akan dilakukan Farel sekarang?
"L– lo, ngapain disini?" tanya Raina.
Farel menyeringai, "Mau jemput elo. Ayo pulang."
Raina menggeleng kuat, "Nggak, pergi!"
Tubuh Raina sudah bergetar sekarang. Ia takut Farel akan berbuat hal yang macam-macam pada Raina.
Farel mengulurkan tangannya pada Raina, "Ayo pulang."
Farel memberikan senyuman termanisnya. Itu agar siswa siswi disekitarnya tidak curiga pada Farel.
Raina menepis tangan Farel, "Jangan deket-deket. Pergi!"
Raina semakin menjauhkan dirinya dengan Farel. Farel dengan cepat menarik tangan Raina. Raina langsung berontak, tapi Farel tetap tidak melepaskan tangan Raina.
"Lepasin!"
"Sekarang, gue ngga akan lepasin lo. Masuk!" Farel langsung memaksa Raina masuk ke dalam mobil. Percuma saja jika Raina menolak, tidak akan bisa.
"Rain!" Shelma langsung berlari menghampiri Raina. Tapi telat, mobilnya sudah berjalan tepat dirinya sampai di halte bus. Walaupun Shelma sudah mengejarnya, tetap saja tidak bisa.
"Gimana ini?" Shelma mengatur deru nafasnya yang tidak beraturan. Ia takut terjadi apa-apa pada Raina. Shelma tidak menyangka jika Farel membawa Raina, biasanya Farel hanya menerornya.
Sudah beberapa menit sejak kepergian Farel membawa Raina, tapi Shelma masih mondar mandir dipinggir jalan.
Kemudian, sebuah mobil berhenti dihadapan Shelma. Itu mobil Kafka. Ini kesempatan untuk menyelamatkan Raina.
Baru saja Kafka hendak menurunkan kaca mobilnya untuk menyapanya, Shelma langsung masuk ke dalam mobil Kafka.
"Kenapa lo? Rain mana?" tanya Kafka yang kebingungan melihat Shelma gusar.
"Rain," Shelma memejamkan matanya sejenak, "Dia dibawa Farel."
Kafka langsung ternganga, "Sumpah lo. Kemana mereka sekarang?"
"Gue juga ngga tau. Tolong cari Rain."
"Ke arah mana terakhir lo liat mereka?" Kafka sudah bersiap-siap untuk menginjak pedal gasnya.
"Tadi belok kesana, terus kekiri. Terus gue ngga tau lagi. Argh.." Shelma menjambak rambutnya sendiri, "Rain."
"Tenangin diri lo. Kita cari bareng."
Shelma hanya mengangguk pasrah. Seharusnya ia tadi tidak meninggalkan Raina sendirian. Ini semua salahnya.
*****
Vomment..