Raina
Perlahan, Raina membuka matanya. Ia menatap ke sekelilingnya. Shelma dan Mama Raina tertidur di sofa. Sejak kapan ia dibawa ke rumah sakit?
"Lo udah sadar?" tanya Kafka.
Raina langsung menoleh ke sampingnya. Kafka duduk disampingnya sambil menggenggam tangan Raina. Apa Kafka tidak tidur hanya untuk menunggunya sadar?
Raina melepaskan tangan Kafka, kemudian memegang pelipisnya. Kenapa sakit sekali?
Kafka langsung berdiri dari tempat duduknya, "Masih sakit? Gue panggilin perawat dulu yah?"
Raina menggeleng, "Ngga usah panggilin perawat. Gue mau tidur."
Kafka tersenyum. Ia kembali duduk di kursi sebelah Raina.
"Lo ngga tidur?" tanya Raina.
Kafka menggeleng, "Gue ngga ngantuk. Mending gue nungguin lo disini."
Raina mengamati wajah Kafka yang terlihat sayu. Kafka berbohong. Jelas-jelas Kafka menguap, itu artinya dia mengantuk.
"Katanya mau tidur, kenapa malah liatin gue terus." ucap Kafka saat menergoki Raina menatapnya.
"Apa lo yang bawa gue kesini?" Raina memperhatikan penampilan Kafka dari atas ke bawah. Rambutnya acak-acakan, seragamnya kusut. Bahkan ada bercak darah di seragamnya.
Kafka mengangguk, "Gue sama Shelma. Kita tadi nyari lo."
"Makasih," Ucap Raina pelan.
Raina merasa tidak enak terhadap Kafka. Seharusnya Kafka sekarang berada di rumah, mungkin seharusnya juga Kafka sudah tidur.
"Dimana Farel?" tiba-tiba Raina mengingat Farel. Lukanya pasti lebih parah dari pada dirinya.
"Dia ada di kamar sebelah."
Raina mencoba untuk duduk, "Gue mau kesana," Raina menyibakkan selimutnya dan berusaha turun dari ranjang, namun Kafka menahannya.
"Jangan sekarang, lo pasti masih sakit. Dia juga belum sadar," Kafka mencoba untuk membuat Raina tetap di tempatnya. Itu karena Kafka tidak ingin Raina tambah sakit.
"Gue mau liat keadaan Farel," Raina tetap kekeuh ingin mengunjungi Farel.
Kafka kembali menahan Raina agar tetap di tempatnya, "Lo ngga usah bandel kalo di bilangin. Lo masih sakit!" Kafka sedikit meninggikan suaranya, namun tidak terdengar oleh Mama Raina dan Shelma.
"Gue ngga peduli. Lo, urusin aja diri lo sendiri! Emang lo siapa?" kini Raina juga ikut terpancing emosi.
Kafka terdiam sejenak mendengar ucapan Raina. Benar. Memang ia siapa yang harus mengatur Raina.
Raina yang menyadari ucapannya langsung menutup mulutnya. Seharusnya ia tidak berbicara seperti itu pada Kafka.
"Sori," ucap Raina lirih.
Kafka menghela nafasnya. Ia duduk memunggungi Raina di tepi ranjang, "Naik."
Raina mengerutkan keningnya, "Ngapain?"
Kafka menarik tangan Raina dan melingkarkannya di leher Kafka, "Gue anter lo ke Farel," Kafka menggendong Raina menuju kamar rawat yang di tempati Farel.