[41] - EMPAT PULUH SATU

5.5K 274 12
                                    

Raina

Sial!

Satu kata itu memang tepat untuk menyatakan keadaan yang Raina alami saat ini. Hanya karena ketahuan makan jajan saat pelajaran berlangsung, ia harus menerima hukuman dari guru sejarahnya.

Saya berjanji tidak akan makan jajan saat pelajaran berlangsung.

Kira-kira seperti itu yang harus Raina tulis. Dan parahnya, ia harus menulis kalimat itu hingga dua lembar penuh. Ini sana saja dengan empat halaman!

Lalu bagaimana dengan Shelma? Dia hanya terkikik dengan senyum mengejeknya saat melihat Raina. Benar-benar sahabat kurang ajar. Padahal tadi Shelma juga makan jajan, tetapi yang tertangkap basah hanya Raina.

Jika seperti ini terus, bisa-bisa tangannya jadi keriting hanya karena tulisan tidak penting. Ditambah dengan ocehan tak jelas disertai lelucon yang menurut Raina garing, guru sejarahnya itu membuat siapa pun murid yang berada di sana ingin menghilang. Sudah tidak mengerti dengan apa yang sedang dijelaskan, siswa dibuat pusing tujuh keliling.

"Kamu," si Guru sejarah meletakkan bukunya kemudian menunjuk Raina. "Yang tadi suruh nulis, udah selesai?"

Raina mengerutkan keningnya kemudian menengok ke belakang sekilas untuk memastikan bahwa gurunya itu menunjuknya atau orang lain.

"Saya, Bu?" dengan tampang polosnya, Raina menunjuk dirinya sendiri. Itu membuat guru Sejarahnya geram.

"Ya iya lah. Memang siapa lagi yang saya hukum?"

Raina tidak menjawabnya, hanya saja ia menghentikan aktivitas menulisnya. Is tidak ingin jika gurunya menambah hukumannya.

"Sebelum istirahat, kamu harus sudah selesai menulisnya." Raina sempat membulatkan matanya saat mendengarnya. "Kalau tidak, hukuman kamu jadi dua kali libat."

Saat Raina membuka mulutnya untuk protes, gurunya sudah lebih dulu menginterupsinya agar tidak protes.

Ini gila! Raina bahkan baru saja memulainya, sedangkan waktu istirahat tinggal lima menit lagi. Guru Sejarah Raina tega sekali padanya.

Dengan gerakan cepat, Raina menulisnya. Ia tidak peduli akan kualitas tulisannya, dari yang tadinya tulisan kecil dan rapi sekarang berubah seperti cekeran ayam.

Mengenaskan sekali.

"Ayo, Rain. Semangat!" ucap Shelma.

Raina mendelik sebal kepada Shelma, "Brisik!"

Selanjutnya Raina tidak lagi membalas ucapan Shelma, itu hanya akan membuatnya menunda hukumannya. Dan tinggal sekitar lima kalimat lagi maka pekerjaannya akan selesai.

"Ya," guru pengajarnya menutup spidolnya. "Saya cukupkan pembelajaran hari ini."

Astaga! Masih ada tiga kalimat lagi. Dan gurunya sudah mulai menutup pembelajaran. Tidak. Ini tidak boleh ternjadi.

Dan tepat ketika guru Sejarahnya mengucapkan salam, sekitar satu kalimat lagi yang bisa ia tulis. Rsaina terlambat, gurunya sudah keluar kelas.

Namun, Raina tetap menyelesaikan kalimat terakhirnya dan kemudian langsung berlari selama gurunya belum jauh. Raina bahkan hampir tersandung bangku jika ia tidak segera menyeimbangkan tubuhnya. Raina juga harus melewati puluhan murid yang berada di sekitarnya.

Setelah Raina rasa tinggal beberapa langkah lagi sampai di hadapan gurunya, ia memanggil si guru Sejarahnya hingga membuat beliau berbalik.

"Ini Bu, saya sudah selesai." ucap Raina yang baru sampai di hadapam gurunya dan memberikan dua lembar tulisannya kepada beliau.

"Kamu terlambat," ucap beliau. "Sekarang kamu harus menulis lagi, setelah itu berikan kepada saya di kantor."

"Nggak bisa gitu dong, Bu." tolak Raina dengan nafas yang masih terengah, "Kan saya sudah selesai."

"Bukannya saya tadi sudah bilang, sebelum istirahat kamu harus selesai. Sekarang terima nasib kamu," ia menurunkan kacamatanya, "untuk ini Ibu kasih waktu kamu sampai pulang sekolah."

Bahu Raina merosot seketika, sudah tidak ada lagi harapan. Ia segera berbalik arah untuk kembali ke kelasnya. Hari ini, Raina mendapat double kesialan. Menyebalkan.

Setelah Raina sampai di kelasnya, ia segera menarik bangkunya dan mendaratkan pantatnya disana. Sepertinya istirahat pertamanya tidak akan ia gunakan untuk ke kantin. Tiba-tiba nafsu makannya menghilang, membuatnya malas pergi kemana pun.

"Rain, lo mau ke kantin?" tanya Shelma yang hanya dijawab dengan gelengan oleh Raina.

"Males," jawabnya.

Tanpa menunggu lebih lama, Shelma pergi dari hadapannya. Untung saja Shelma mengerti dan langsung pergi tanpa harus menarik-nariknya. Jadi Raina tidak harus mengeluarkan banyak tenaga lagi.

Suasana kelas semakin sepi, hanya ada dirinya dan dua siswi yang sedang membaca buku. Sedangkan Raina hanya menatap kosong ke depan. Entah apa yang Raina pikirkan, tetapi ia hanya ingin melamun.

Raina membuyarkan lamunannya dan terperanjat ketika melihat kresek berwarna hitam tergeletak di hadapannya. Ketika Raina menoleh untuk mengetahui si pelaku, ia melihat Kafka memasang senyum tak berdosanya kepadanya.

Ini sial lagi!

"Jangan cemberut," Kafka menarik bangku di samping Raina untuk ia duduki. "Ntar makin manis, bikin gue gemes."

Raina sudah hampir tersenyum saat ia sadar bahwa apa yang Kafka katakan hanya untuk menggodanya saja, jelas sekali.

Raina mendengus, "Receh. Nggak mempan."

Kafka tersenyum mendengarnya. Setidaknya Raina tidak mengabaikannya meskipun hanya menjawab dengan nada ketus, itu sudah membuat Kafka senang.

"Itu buat lo," Kafka menunjuk kantong kresek yang tadi ia bawa. "Gue nggak mau liat lo mati kelaperan cuma karena hukuman guru Sejarah."

Raina mengalihkan pandangannya, "Nggak laper."

"Dan gue nggak peduli, lo harus makan ini sekarang juga."

Dan lagi.

Entah mengapa kalimat itu membuat emosi Raina naik seketika. Raina bahkan sampai mengepalkan tangannya. Kafka tidak bisa seenaknya sendiri untuk menentukan apa yang akan Raina lakukan.

"Dan gue nggak peduli dengan apapun perintah lo, " Raina tersenyum mengejek sebelum ia mengatakan, "emang lo siapa berhak ngatur-ngatur hidup gue?"

Untuk beberapa detik Kafka terdiam. Ia tidak menyangka akan mendapat jawaban intu dari Raina. Ucapan Raina seperti menamparnya untuk menyadari kenyataan bahwa Raina sangat membencinya. Hatinya seperti tercubit sesuatu hingga membuatnya sakit.

Kafka kembali menatap Raina ketika yang ditatap justru hanya mengarahkan pandangannya ke depan. Raina tidak ingin menoleh sama sekali.

Kafka tersenyum lagi, "Ya udah, gue ke kelas dulu ya. Terserah lo mau makan atau buang makanan ini, itu hak lo."

Sekali lagi Kafka tersenyum, mencoba menormalkan ekspresinya kemudian mengacak puncak kepala Raina sebelum ia meninggalkan Raina sendirian.

Setelah Raina merasa bahwa Kafka sudah pergi, Raina menghela nafasnya sambil menyenderkan punggungnya di kursi.

Raina menyesal telah mengucapkan kalimat itu pada Kafka. Entah apa yang Kafka rasakan setelah mendengarnya, tetapi ia melihat Kafka terdiam untuk beberapa saat setelah mendengar ucapan Raina. Ia hanya takut Kafka sakit hati.

Sungguh, Raina tidak berniat untuk menyakiti hati Kafka sama sekali. Raina hanya ingin menghentikan Kafka yang seenaknya saja menyuruhnya.

Raina melihat isi kresek yang dibawa Kafka. Isinya ada dua buah roti dengan teh kotak.

"Gue ambil aja deh," Raina memasukkannya ke dalam tas. "Nggak mungkin juga gue buang, pamali."

*****

T
B
C

Haloooo...
Udah berapa lama aku nggak update? Wkwk:v

Raina [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang