Mohon maaf atas typo yang masih bertebaran..
(:
(:
(:-----------------------------------------------------
Raina
Raina melipat lengannya di atas meja dan menempelkan wajahnya di sana. Semalam ia kurang tidur, membuat matanya kian memberat dan mungkin sebentar lagi akan tertutup.
Sayangnya, takdir memang tidak pernah berpihak padanya. Matanya terpaksa membuka saat seseorang duduk di sampingnya, menghadapnya, melakukan hal yang sama dengan apa yang Raina lakukan.
Siapa lagi? Dan jawabannya masih seperti kemarin.
"Hai lagi," ucapnya. "Kenapa nggak ke kantin? Diet?"
Raina mendengus. Kafka terus mengusiknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak jelas. Waktu istirahatnya akan terasa amat panjang jika seperti ini.
Tidakkah Kafka merasa canggung setelah apa yang terjadi kemarin? Tapi mana mungkin manusia bernama Kafka bisa bersikap canggung, yang ada justru bersikap seenaknya sendiri.
"Dih, nggak dijawab," ia merogoh sesuatu yang sempat disembunyikan dan memperlihatkannya kepada Raina. "Coba liat ini."
Tepat ketika Raina menoleh, saat itu pula pupil matanya melebar. Bagaimana mungkin benda itu ada pada Kafka, sialan. Ini pasti karena kemarin.
"Balikin buku gue, Kaf." Raina mencoba meraihnya dari tangan Kafka.
"Coba aja, kalo bisa."
Ia dapat mendengar suara tawa yang menggelegar dari cowok itu. Dapat dipastikan bahwa Kafka sudah membaca semua isi dalam buku itu. Memalukan, itu buku pribadinya.
"Kaf, balikin." Raina terus saja merengek, tetapi Kafka tidak peduli. Bagi Kafka, yang ada dalam hidupnya adalah mengganggu Raina.
"Oke oke," Kafka menghentikan tawanya, masih dengan menjauhkan benda itu dari jangkauan Raina. "Dengan satu syarat."
"Apa sih pake syarat segala? Balikin aja langsung."
"Nggak mau ya udah, ini tetep sama gue."
Cowok itu mengacak anak rambut Raina sebelum akhirnya berjalan keluar kelas. Ia sempat melongo dengan perlakuan Kafka, tetapi sepersekian detik kemudian Raina mengejar Kafka, menahan lengannya.
"Ciee pegang pegang," Kafka menunjuk lengannya sekali lagi. "Cie."
Raina menggeplak lengan Kafka, membuat cowok itu mengaduh kesakitan. Ini bukan saatnya bercanda.
Ini tentang hidup dan matinya. Bagaimana jika Kafka menyebarkan aibnya kepada orang lain?
"Apa syaratnya?" tanya Raina to the point, meyakinkan diri untuk menerima tantangan Kafka.
"Bagus," ia dapat melihat senyum Kafka yang mengembang. Sial! Lagi-lagi Raina gagal fokus.
"Apa cepetan!" Raina terus mendesaknya. Rasanya malu dilihat siswa siswi yang berlalu lalang. Dasar Kafka memang tidak tahu malu.
Dengan senyum yang masih mengembang, Kafka maju beberapa langkah mendekati Raina. Cewek itu mematung di tempatnya ketika Kafka membisikkan sesuatu di telinganya. Pelan sekali, tetapi perkataannya berefek besar pada Raina.
"Jalan sama gue nanti malem."
Saat itulah, Kafka semakin memporak-porandakan hatinya.
Yang sudah tersusun rapi agar tidak tertarik kepada Kafka lagi, sekarang hancur. Raina kembali jatuh pada pesona Kafka.
Ha