[45] - EMPAT PULUH LIMA

4.6K 241 8
                                    

:) Sepertinya aku memang harus pergi darimu. Bukankah itu yang kamu inginkan? (:

____________________________________________

Raina

"Eh, nyontek nomor tujuh dong," ucap Shelma.

Bukannya menjawab, orang yang diajak bicara justru hanya diam. Yang Shelma tahu, sejak ia berangkat sekolah sampai jam pelajaran ketiga berlangsung, Raina memang banyak diam. Memang dasarnya dia pendiam, tapi tidak sependiam ini.

"Heh!" Shelma menepuk bahu Raina hingga si empunya menoleh, "Lo kayak kucing sakit, diem mulu."

Yang Shelma lihat, Raina seperti tidak ada semangatnya sama sekali. Seperti patung.

"Ambil aja, di tas."

"Lo lagi ada masalah?" Sambil merogoh tas Raina untuk mengambil buku tugasnya, Shelma terus bertanya. "Kenapa?"

Tak ingin  menjelaskan, Raina hanya menggeleng. Kemudia ia beranjak dari tempatnya seraya berkata, "Gue ke UKS dulu, rada pusing  kepala gue."

"Mau dianter? Biar gue yang ngomong sama bu guru."

Sebelum Shelma benar-benar berdiri, Raina langsung mencegahnya. "Ngga usah, gue sendiri aja."

Sepertinya Shelma mengerti, ia tidak mengikuti Raina. Raina bergegas pergi dengan meminta izin kepada guru pengajarnya terlebih dahulu.

Bukannya apa, entah kenapa akhir-akhir ini ia sering sakit kepala. Rasanya nyeri. Pikirannya juga sedang bercabang, jadi ia melarikan diri ke UKS. Satu lagi, Raina sedang malas menjawab pertanyaan bertubi dari Shelma. Sahabatnya itu pasti tidak akan menghentikan pertanyaannya sebelum dia dapat jawaban yang masuk akal. Dan sekarang Raina sedang malas membuat alasan-alasan itu.

Langkahnya semakin dekat dengan UKS. Hingga sebelum Raina membuka pintu, seseorang menepuk bahunya terlebih dahulu. Raina menoleh, menemukan Kafka tersenyum padanya.

"Lo mau ngapain?" tanyanya.

Raina menatap Kafka sejenak, "Ke dalem."

"Ra--"

Belum sempat Kafka menyebut nama, Raina sudah meninggalkannya. Raina menyapa petugas UKS, sekadar berbasa basi sebelum ia merebahkan diri di ranjang UKS yang kosong.

"Rain, gue belum selesai ngomong. Main tinggal aja sih."

Lagi. Suara itu. Tidak bisakah orang-orang di sekitarnya untuk  tidak mengganggunya sejenak? Kepalanya sungguh pening. Ia butuh istirahat, bukan orang seperti Kafka.

"Raina," panggil Kafka

Lagi. Raina tidak menjawabnya. Sejak tadi ia sudah memunggungi Kafka, bergemul dalam selimut sambil memijat kepalanya, berharap rasa sakitnya hilang.

Kafka menarik kursinya untuk lebih dekat dengan Raina, "Lo marah?"

Marah? Untuk apa? Memangnya apa alasan Raina marah kepada Kafka?

Ha

Lucu ya.

"Maaf."

Raina [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang