[16] - ENAM BELAS

6.4K 386 10
                                    

Raina

Raina berhenti tepat di teras rumahnya. Tubuhnya basah kuyup terkena hujan. Ia berusaha mengatur nafasnya yang memburu. Ini gila! Raina berlari dari sekolah sampai rumah. Ia sudah sangat lelah sekarang. Jika tadi tidak ada Kafka, ia pasti masih menunggu bus. Tetapi mau bagaimana lagi. Ia harus menjauhi Kafla sekarang. Harus!

Raina melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Ia memutar kenop pintu rumahnya.

"Eh."

Kenapa pintunya terkunci? Tidak biasanya Mama Raina mengunci pintu rumahnya jika Raina belum pulang. Ah, mungkin Mamanya sedang belanja ke mini market.

Raina mengeluarkan kunci cadangan dari dalam tasnya, kemudian ia membuka pintu rumahnya.

Rumahnya terlihat sepi. Raina segera menuju kamarnya. Raina ingin cepat-cepat mengganti bajunya, ia sudah kedinginan akibat lari menerobos hujan tadi.

Setelah selesai mengganti bajunya, Raina turun ke bawah. Ternyata Mamanya belum pulang.

Raina duduk di sofa ruang tengah. Ia menyalakan televisi, kemudian memakan cemilan yang sudah ia bawa tadi.

"Mama kemana sih?" Raina berbicara sendiri.

Jika Mamanya hanya pergi ke mini market pasti tidak akan selama ini. Dan jika Mamanya ada urusan mendadak, pasti langsung menelepon atau mengirimi pesan kepada Raina.

Raina menepuk keningnya. Ponsel! Raina mengeluarkan ponselnya. Kenapa sejak tadi ia lupa mengecek ponselnya?

Raina langsung menyalakan ponselnya. Ada tiga panggilan tak terjawab dan sebuah pesan, itu dari Mamanya semua. Raina membuka pesan dari Mamanya.

Rain, Mama lagi dirumah tante Ambar. Tante Ambar abis lahiran. Mama mau nginep disini. Kamu mau nginep disini atau mau dirumah aja? Kalo mau dirumah, minta Shelma buat temenin kamu.

Raina menghela nafasnya. Sekarang bagaimana ia bisa dia menyuruh Shelma kesini? Shelma mungkin sudah pulang, tetapi ia tidak ingin mengkhawatirkan Shelma. Shelma masih berduka atas meninggalnya nenek Shelma. Tetapi jika ia pergi ke rumah tante Ambar, sangat tidak mungkin. Rumah tante Ambar lumayan jauh dari rumah Raina.

"Kayaknya gue dirumah sendirian aja deh."

Ya, Raina sedang tidak ingin merepotkan siapa pun disini. Yang ia takutkan hanya jika Farel menerornya lagi.

Raina kembali ke aktivitasnya semula. Menonton televisi sambil memakan cemilannya.

*****

Raina terbangun dari tidurnya karena telepon rumahnya berbunyi. Ini sudah jam delapan malam. Ternyata Raina tertidur di sofa saat sedang menonton televisi tadi. Raina mengucek matanya, kemudian mengangkat telepon entah dari siapa.

"Halo," Raina berbicara dalam keadaan setengah sadar, ia masih mengantuk.

"Bukannya kita masih punya satu janji?" tanya seseorang yang menelepon Raina.

Mata Raina langsung membulat sempurnya. Farel lagi.

"Bukannya kita bakal mati bareng? Ayo kita lakuin."

Raina menggigit bibir bawahnya. Raina benar-benar takut. Apakah Farel akan mencoba membunuhnya lagi?

Tidak! Itu tidak akan terjadi! Raina langsung menutup teleponnya. Ia langsung buru-buru mengambil ponselnya untuk menghubungi Shelma. Persetan dengan keadaan. Ia hanya berharap Shelma tidak keberatan jika datang ke rumahnya sekarang juga.

Saat teleponnya diangkat, Raina langsung berbicara.

"Gue takut."

"D– dia neror gue lagi."

"Tolong kesini, g– gue takut."

Raina memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Bahkan sebelum orang yang Raina telepon membuka suaranya.

Raina langsung mengunci pintu rumahnya.

*****

Kafka mengetuk pintu rumah Raina dengan tidak sabar, ia takut terjadi sesuatu pada Raina. Saat Raina meneleponnya tadi, ia langsung  melesat menuju rumah Raina.

Sekali lagi, Kafka mengetuk  pintu rumah Raina. Kemudian seseorang membukakan pintunya. Raina!

Tanpa ba bi bu, Raina langsung menghambur ke pelukan Kafka. Memeluk Kafka erat.

"L– lo, ngga apa-apa kan?"

Shh... Kafka seharusnya tidak usah bertanya. Sudah jelas Raina kenapa-kenapa. Matanya sembab.

"Gue takut," hanya itu jawaban yang Raina keluarkan.

Kafka mengusap puncak kepala Raina, "Gue ada disini. Jangan takut."

Raina tidak melepaskan pelukannya dari Kafka. Tubuhnya bergetar, Raina menangis untuk beberapa saat di pelukan Kafka.

"Udah selese nangisnya?" Kafka menjauhkan tubuhnya dari Raina untuk melihat Raina.

Raina mengangguk, kemudian mengusap air matanya yang hampir kering. Tetapi ada yang aneh. Raina terdiam sejenak. Kenapa Kafka ada disini? Dan apa itu tadi? Raina memeluk Kafka!

"Ke– kenapa lo disini?"

Kafka mengerutkan keningnya, "Kan lo yang telpon gue."

"Hah," Raina mengeluarkan ponselnya dan membuka log panggilan, "Gue ngga nelp–"

Raina mendekatkan wajahnya ke ponsel, "Kenapa gue nelpon lo? Tadi gue mau telpon Shelma."

"Buktinya elo nelpon gue."

Raina menggigit bibir bawahnya. Jika seperti ini, usahanya untuk menjauhi Kafka tidak akan berhasil. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apa Raina harus memberitahunya tentang Farel?

Tidak! Raina menggeleng keras. Kafka tidak boleh tahu tentang Farel. Kafka tidak boleh berurusan dengan Farel.

"Hei, kenapa lo?"

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Jika Raina menyuruh Kafka pergi, maka Raina akan semakin ketakukan dirumah sendiri.

Tidak ada pilihan lain selain menyuruh Kafka untuk berada disini.

"Ja– jangan pergi."

Kafka mengerutkan keningnya. Kenapa Raina jadi begini? Padahal tadi siang Raina memintanya untuk tidak mendekatinya. Tetapi sekarang Raina meminta Kafka untuk tidak pergi.

Raina segera menarik tangan Kafka untuk masuk ke dalam rumahnya dan mengunci pintunya.

"Lo kenapa sih?" Sejak tadi Kafka bingung dengan tingkah Raina.

*****

A.N.

Author lagi mabok wattpad..
Senyum-senyum sendiri kaya orang kurang waras..
Semoga kalian ngga kena virusnya..

Vomment..

Raina [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang