Raina
Kafka menepis tangan Jihan setelah ia memastikan bahwa Raina sudah tidak melihatnya lagi.
"Lo pulang sendiri," Kafka mengambil kunci motor yang semula ada di tasnya. "Gue males sama lo!"
Tanpa mendengar respon Jihan, Kafka sudah menjalankan motornya. Pergi meninggalkan Jihan yang sekarang menatap nanar kepergian Kafka.
"Kok sakit ya, Kaf?" Jihan tersenyum miris.
"Tapi kenapa gue ngga bisa benci sama lo?" lirih Jihan yang tak mungkin didengar oleh Kafka.
Kafka tahu bagamana perasaan Jihan sekarang. Pasti rasanya sakit. Namun jika Kafka tidak bersikap seperti ini, Jihan pasti tidak akan melepaskan Kafka. Toh, ini juga kemauan Jihan sendiri.
Motor Kafka terhenti saat ia sampai di gerbang sekolahnya. Matanya menyipit saat melihat Raina dibonceng oleh seseorang.
Sial, cowok itu lagi! batim Kafka.
Dia adalah orang yang pernah berkelahi dengannya. Dan entah kenapa Kafka merasa hatinya panas saat melihatnya. Apalagi saat Raina memberikan senyum manisnya kepada Alex. Rasanya Kafka ingin menyingkirkan Alex saat ini juga.
Tetapi tidak mungkin. Raina bukan siapa-siapa Kafka.
Mereka hanya.... Teman
Itu pun jika Raina masih mengakui Kafka sebagai teman. Jika tidak, mungkin Raina hanya menganggapnya sebagai orang yang dibencinya. Jadi sekarang, apa yang harus Kafka lakukan?
***
Tas yang semula melekat di tubuh Kafk, sekarang sudah ia lempar asal di kasur bersamaan dengan ponselnya. Kemudian ia melepas sepatunya.
Kafka merebahkan tubuhnya di kasur, matanya menatap ke atas, entah sedang memikirkan apa. Akhir-akhir ini pikiran Kafka campur aduk. Mulai dari permasalahannya dengan Jihan, Raina, hingga masalah lainnya.
Karena merasa bosan hanya tiduran terus, Kafka merubah posisinya menjadi duduk. Tangan kanannya terulur untuk mengambil sebuah origami di meja belajarnya.
Origami ini merupakan buatan seseorang yang membuatnya berhenti menangis sewaktu kecil. Sudah bertahun-tahun lamanya, sampai sekarang masih tersimpan utuh. Dulu memang ada banyak, tetapi Kafka sengaja menyimpan satu saja sebagai kenangan.
-
"Kamu kenapa nangis, Sayang?" tanya ibu Kafka yang baru saja menghampiri Kafka kecil.
Kafka mengucek matanya yang berair karena menangis, kemudian tangannya menunjuk teman sebayanya yang sedang bermain. "Pesawat kertas Kafka disobek, ma. Dia jahat!"
Ibu Kafka tersenyum sambil mengelus kepala Kafka. "Cup cup. Udah ah jangan nangis. Ayo, nanti mama buatin yang lebih bagus dari itu."
Kafka menghentikan tangisnya, matanya seketika berbinar mendengar penuturan ibunya. Dengan semangat, Kafka mengangguk dan menggandeng ibunya untuk duduk di sudut taman dekat pohon.
Ibu Kafka mengeluarkan beberapa kertas kemudian mulai membuat lipatan-lipatan yang tidak Kafka mengerti. Kafka memperhatikan dengan detail setiap lipatan yang ibunya buat. Kafka bahkan mencoba untuk mengikuti ibunya membuat lipatan-lipatan itu, tetapi tidak bisa.
"Nah, sudah jadi. Nih buat anak mama tersayang," ibu Kafka memberikan origami yang Kafka yakini sebagai kepiting, tetapi kakinya hanya ada dua.