"Ya ampun, mana tenagamu anak kota?"
"Batu itu tidak akan pecah dengan kekuatan selemah itu!"
"Apa semangatmu selama ini cuma ilusi belaka?"
Kuletakkan paluku dengan kesal. Kupelototi siluman bertopi baseball itu dengan tajam. Dia hanya mendengus sambil mengangkat palu yang besarnya hampir separuh dari tinggi badannya. "Cuma segitu saja kemampuanmu, hai petani baru?"
Ya Tuhan. Sebenarnya siapa makhluk ini sih. Kok rasanya berbeda sekali dengan Gray William yang kukenal beberapa hari sebelumnya?
Baru beberapa jam berlalu setelah aku merasa berdebar tidak karuan karena akan menghabiskan waktu berduaan saja dengan cowok ini, dan ternyata berakhir sia-sia saja.
Boro-boro romantis, Gray justru berubah menjadi "makhluk" lain ketika dia sudah berada di dalam gua tambang ini.
Diktator, kejam, cerewet dan sinis. Menyebalkan.
"Kamu mendengarkan tidak sih?" Suara makhluk menyebalkan itu kembali menggelegar di dalam gua. "Perhatikkan teknikku! Kau mau peralatanmu ditingkatkan tidak?"
"Iya iya aku dengar!" balasku tak kalah sinis, kemudian memperagakan genggaman di palu yang sesuai dengannya.
"Begitu. Pegang yang kuat. Setelah itu ayunkan dengan sekuat tenaga ke arah batu sampai batu itu retak. Berkali-kali." Gray kembali mempraktekannya hingga batu di hadapannya retak. Saat itu terlihat ada bijih tembaga disana.
"Nah kalau sudah begini, pukul halus sekitarnya, agar bijihnya tidak ikut hancur" instruksi Gray lagi. Kali ini kuperhatikan dengan sungguh-sungguh. Dari ketika tangan-tangannya menyentuh batu yang mengeluarkan barang tambang, ketika palunya dibenturkan dengan tak terlalu kuat disekitarnya, sampai akhirnya yg tersisa hanyalah bijih tambangnya saja.
"Lihat, ini namanya tembaga." Suara diktator itu terdengar lagi. "Barang ini bisa digunakan untuk menaikkan fungsi peralatanmu ke tahap 1. Jadi dengan ini, kau bisa mencangkul sampai 2 petak, menyiram dengan kapasitas dua kali lebih besar dari sebelumnya, dan sebagainya."
"Hanya 2 kali?"
"Iya. Memangnya kau butuh sampai berapa kali?"
"Hemm, 10 kali?"
"Bodoh." Gray menertawakanku sambil mengusap rambutku. "Tenaga buat menambang saja masih lemah, kok sudah berharap dapat bijih tambang yang sehebat itu."
Serrr.
Saat itu waktuku seakan berhenti. Beserta debaran jantung yang kembali kurasakan. Kemudian, mata kami bertemu untuk beberapa detik, dengan jarak wajah kami yang tidak lebih dari 5 cm.
"Eh, maafkan aku. Aku lupa kalau tanganku dipenuhi tanah." Sahut Gray sambil terburu-buru berdiri dan membenarkan letak topinya. "Mau dilanjutkan?"
Aku menahan senyum. Rupanya dia masih Gray yang sama. Yang malu-malu jika bertatapan dengan perempuan.
"Baiklah." Aku beranjak dari tempatku sambil mengangkat paluku dengan mantap.
Sepertinya, 'kencan' di tambang tidak buruk juga.
***
Aku baru tahu jika hembusan angin setelah kau bekerja keras akan terasa senyaman ini.
Sudah lebih dari 4 jam kami berada di dalam gua, Gray pun memutuskan untuk berhenti. Hasil tambang yang kami dapatkan pun cukup banyak. 5 tembaga dengan 1 perak.
Gray menyerahkan semuanya kepadaku. Dia bilang sebagai hadiah atas kerja kerasku yang pertama. "Tapi untuk selanjutnya, kau harus menambang sendiri ya!" Ujarnya sambil tersenyum licik.
"Iya iya aku tau" balasku sambil menikmati hembusan angin dibawah pohon.
Rasanya nikmat sekali.
Sinar matahari tidak terlalu terik karena waktu sudah beranjak sore. Aku memejamkan mataku untuk merilekskan tubuhku lebih jauh sebelum akhirnya,
"Kriuuuk"
.......
Ya Tuhan, rasanya aku ingin mati.
Setelah bunyi perut yang memalukan tersebut, terdengar suara tawa yang cukup lantang. Dan saat kubuka mataku, terlihat Gray tertawa lepas. Pemandangan yang sangat langka, karena aku terlalu sering melihat ekspresinya yang datar atau kalau bisa dibilang kemajuan ya wajahnya yang sinis tadi saat kita berada di tambang.
Yang sekarang, rasanya dia polos sekali. Seperti anak kecil.
Ternyata dia bisa berekspresi seperti ini juga.
"Suara perutmu hebat sekali sih." Ujarnya sambil membelakangiku. Aku menunduk, menahan diri untuk tidak melawannya, karena saat itu aku tengah bingung harus merasa terpesona akibat ekspresinya barusan atau merasa tersinggung akibat sindirannya tersebut.
Saat itu, di atas kepalaku terasa ada sesuatu. Dengan wangi khas Gray.
Kuangkat kepalaku. Rupanya dia memakaikan topinya kepadaku, sambil menyodorkan sesuatu di tangannya. "Jangan sampai kau pingsan akibat kelaparan ya."
Telur rebus hangat berada dalam genggamannya. Sepertinya masih baru, karena uapnya terasa mengenai wajahku saat aku melihatnya.
"Makanlah." dia kemudian meletakkan tiga telur itu di hadapanku, sementara dia beranjak ke sisi pohon yang berbeda untuk menikmati telur rebus jatahnya.
"Makasih.." Sahutku sambil membuka kulit telur itu dengan hati-hati. Gray tidak menjawab, aku pun tidak berani menatap wajahnya.
Kami pun menghabiskan sore itu dengan menikmati telur rebus di bawah pohon, sambil terlarut dengan pikiran kami masing-masing.
***
HALOOOO
Maaf banget ya karena fanfic ini sempat tidak update untuk waktu yang lama. Hal itu disebabkan karena saya tengah disibukkan dengan kegiatan kampus, jadinya inspirasi dan mood untuk melanjutkan ini rasanya hilang :'')))
Tapi sekarang, akan diusahakan supaya fanfic ini bisa rutin terbit seminggu sekali!
Oh iya, saya juga bahagia sekali ketika melihat ada banyak orang yang memasukkan fanfic ini ke daftar bacaan mereka. Juga komentar-komentar kecil kalian mengenai berbagai scene kecil dicerita saya. Terima kasih banyak!
Percayalah, tidak ada kesenangan yang lebih besar bagi seorang penulis ketika ada pembaca yang menikmati hasil karya mereka x''')
Akhir kata, selamat menunggu update berikutnya ya!
Best regards
IvyShower
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Something!
FanfictionLelaki bernama Gray itu jarang sekali berbicara. Namun tingkah lakunya membuat Claire, gadis pindahan dari kota itu penasaran. Terutama saat kedua mata mereka bertemu. Entah sejak kapan, Claire menjadi tergoda untuk mendekatinya. Inginkan lelaki pen...