The Heat

117 20 4
                                    


"Claire!"

Aku menoleh. Kudapati sesosok laki-laki berkulit cokelat dengan ceria berjalan ke arahku. Bandana ungu di kepalanya terlihat mencolok, namun tidak mengurangi ketampanan wajah yang dimilikinya. Postur tubuh yg kekar terlihat dibalik kaus putih dan kemeja cokelat setengah lengan yang dia kenakan.

"Kau ini, kita lama tidak bertemu kan? Mengapa tidak mampir dulu di kedaiku seusai lomba kemarin?"

Aku terkekeh mendengarnya. Kuletakkan keranjang yg berisi perkakas bertaniku. 

"Kau masih sama seperti dulu ya Ford, atau mungkin kupanggil, Tuan Kai?"

Laki-laki yang kusebutkan namanya itu menyeringai mendengar ucapanku. Tak lama kemudian kami saling tertawa lepas. Aku tak menyangka jika Kai yang disebut-sebut oleh teman-temanku kemarin adalah teman masa kecilku ini.

Kai Lanford, adalah partner kerja serta sahabat dari kakakku. Saat aku masih kecil, dia suka sekali mengusiliku.  Meski berulang kali dijitak oleh kakak, dia tak pernah kapok. Dahulu aku sangat membencinya karena itu. Namun ketika aku mulai beranjak dewasa, perlakuannya mulai berubah. Dia sedikit mirip dengan Kak Jack di bagian kebawelannya. Namun tak seperti kakakku yang kalem dan ramah, dia lebih cuek, ceplas ceplos dan cenderung liar. Kejahilan yg dia miliki semasa kecil masih terbawa, namun sudah terbungkus dengan kata-kata rayuan manis yang entah darimana dia mempelajarinya. Mungkin karena itulah dia sangat lihai dalam merebut hati lawan jenis.

Kecuali aku tentunya.

"Kenapa kau tidak mengabariku jika kau berada disini sekarang? Kalau tau begitu, mungkin aku akan menetap disini untuk menemanimu!"

Kai hendak mengusap rambutku yang langsung kutepis sambil tersenyum masam. "Tidak terima kasih, aku tidak mau dibakar oleh penggemar-penggemar gilamu"  

"Sembarangan! Sekarang aku sudah punya pacar tau!"

"Berapa banyak?"

"The one and only Popuri!"

Aku bergidik melihat ekspresinya ketika berkata demikian. Kenapa juga ada wanita yang tahan menerima ucapan-ucapan menggelikan ini darinya.

"Oh iya, kemarin aku terlalu lelah jadi tak sempat mampir ke kedaimu, maaf ya." ujarku mengabaikan ucapan menjijikannya barusan.

Sebelah alis Kai terangkat mendengar jawabanku. "Kau sakit?"

"Tidak sih. Kau taulah." aku menatapnya penuh arti. Kai mengerti dengan isyarat yg kuberikan, lalu mengangguk kecil.

"Kudengar sekarang kau mengurusi peternakan ini ya? Bagaimana kalau setiap musim panas kau menjual jagung untukku dengan harga khusus?"

Kulipat tanganku sambil menatap Kai. "Berapa yang kau tawarkan?"

"Kau penjualnya, jadi harusnya kau yang memberi penawaran awal."

"200G setiap biji."

Kai melotot. "YANG BENAR SAJA!"

Tawaku kembali terlepas ketika mendapati ekspresinya saat kusebut harga itu. 

Mungkin dulu dialah yang menjahiliku, namun kali ini aku bisa balas dendam. Pikirku sambil tersenyum licik.

"Baiklah baiklah, rencananya kau butuh berapa banyak memang?" ujarku sambil mengeluarkan buku notes kecil dari dalam saku. 

"2 karung saja cukup."

"2 saja? Tidak 4?" Ulangku. Mengingat perkataan Ann jika desa kecil ini di setiap musim panas mendapat banyak kunjungan dari luar. Baik itu dari desa sebelah ataupun dari pulau lain untuk berlibur. 

Desa Mineral mungkin merupakan pulau kecil, namun dia memiliki wisata alam yang mampu memanjakan para pengunjung yg ingin melepaskan kepenatan hidup di kota. Pantai biru dengan pasir yg masih bersih dan lembut, bukit Ibu yang memiliki pemandangan alam spektakuler, taman bunga yg berada dibawah bukit, danau mungil yang konon terdapat makhluk mistis disana, serta pemandian yg berdampingan dengan air terjun Dewi Panen.

Sayangnya, mereka hanya tertarik mendatangi pulai ini dikala musim panas. Pengunjung akan membludak hingga Ann dan Paman Doug kewalahan dalam menyediakan kamar untuk disewa. Dan yg kudengar sih, karena ada kedai musim panas dengan sajian yg memikat dan pelayan yg rupawan. Yaitu kawan masa kecil di depanku ini.

Heh, ketampanannya menguntungkan sekali, pikirku sarkastik sambil mencatat perhitungan harga jagung.

"Yap! Lagipula yang paling laris dari kedaiku itu adalah es serut buatanku!" Ujar Kai bangga sambil menunjuk dirinya sendiri. "Seandainya kau bisa menjual es batu juga, itu akan sangat membantuku!"

"Aku ingin sih, tapi sayangnya aku belum memiliki dapur sendiri." jawabku sambil mencatat pesanan Kai. Juga untuk memperkirakan berapakah harga yg pantas untuk kutawarkan padanya.

"Baiklah, bagaimana jika 50G untuk setiap buah?"

"Kau serius?" Matanya membulat tak percaya mendengar penawaranku.

"Tentu! Anggap saja harga khusus dariku." 

"Baiklah kuterima! Kuambil pesananku tanggal 15 nanti ya! Memang kau yang terbaik Claire!" ujar Kai yang tiba-tiba memelukku sambil tertawa senang. Tawa yang dia miliki memang menular, karena kini aku pun ikut tertawa karenanya.

Segar sekali rasanya bertemu dengannya. Entah mengapa, mungkin karena selama sebulan ini aku berada di tempat dimana aku sama sekali tidak mengenali mereka, membuatku tak bisa bebas berekspresi. Namun begitu bertemu dengan teman lama, rasanya semua topeng yg kugunakan itu terlepas begitu saja.

"Sudah! Jika Popuri melihatku bisa-bisa dia melempariku telur busuk dari sana!" Sergahku sambil melepaskan pelukannya. 

Kai menyeringai. "Tenang saja. Popuri sudah kuceritakan kok....."

Aku mendelik mendengar ucapannya. "...tentu saja tidak sampai hal 'itu.'" sambung Kai sambil mengeluarkan simbol OK dengan tangan kanannya.

"Bagus." 

Tanpa sengaja, mataku menangkap sosok Gray dari balik Kai. Dia berdiri Blacksmith memandangi kami. Aku melambaikan tangan kepadanya sambil tersenyum. 

Anehnya dia tak merespon, dia langsung memasuki Blacksmith begitu saja.

Dengan membanting pintu.

Kai terkejut mendengar suara bantingan itu hingga dia refleks menoleh ke arah sumber suara. "Apa itu tadi?"

"Ah, Gray. Aku menyapanya namun dia mengabaikanku dan langsung masuk kesana." ujarku sambil menunduk.

Tingkah Gray tadi menimbulkan perasaan tak nyaman didiriku. Padahal kemarin dia masih tampak biasa saja. Tertawa dan tersenyum seperti biasanya. 

"Apa dia sedang ada masalah ya?" gumamku, yg sialnya terdengar oleh Kai.

"Hmmmm?"

Aku melirik Kai yang kini memandangku dengan pandangan penuh arti. "Apa?" 

"Baru satu bulan kau disini dan sudah menemukan mangsa. Sadis sekali nyonya Claire Rustwold..." 

"T-tutup mulutmu! Kita tak ada hubungan apa-apa!" Sergahku panik. Orang satu ini mulutnya sudah seperti samudra. Sekali saja dia berniat jahil, maka semua ucapannya takkan bisa distop layaknya tsunami. 

Menyebalkan.

Bukan berarti aku keberatan jika memang aku dengan Gray memiliki hubungan sih. 

Karena lengah, Kai berhasil mengusap  diatas kepalaku sambil berbisik dari belakang. "Yaah, tapi pilihanmu tidak buruk juga. Kudukung deh."

"Berisik!"

Awalnya aku hendak menepisnya kembali, tapi karena Kai kembali membisikkan sesuatu, kubatalkan niatku. 

Kali ini kubiarkan usapan kepala yang sama hangatnya seperti tangan Kak Jack tersebut.

 ***

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang