Let it Blossom

128 19 0
                                    


Tanaman kentang ini seperti kakakku.

Berbeda dengan tanaman musim semi yang lain, jika sudah siap panen bunga berwarna putih yang manis akan muncul di pucuk atas. Tanamannya tidak membutuhkan perawatan yg ekstra seperti bunga jeruk yang harus ditanam di dalam rumah kaca. Hasil panennya tersimpan di dalam tanah, dan bisa diolah menjadi beraneka macam makanan yang disukai semua kalangan.

Mirip dengan kakakku yang berpenampilan menarik, mudah berteman dan diterima oleh siapa saja dan menyimpan bermacam-macam bakat yang berguna untuk sekitarnya.

Jika diibaratkan dengan tanaman, mungkin aku seperti lobak? Waktu tanamnya paling singkat dan cepat dipanen. Tapi hasil panennya hanya disukai pihak tertentu...

Ya, penampilanku sederhana. Tidak semenarik kakakku, dan bakat yang kupendam pun tidak sepenuhnya berguna...

 Yang menjadi kemiripan dari kami hanyalah hasil panen kami sama-sama terpendam didalam tanah.

Kami sama-sama belum mengetahui apa saja yang tersimpan didalam diri kami. Entah dari kami sendiri, atau bagi orang lain.

"Claire?"

Aku mendongak. Tanpa kusadari sosok laki-laki jangkung dengan rambut cokelat yg sedari tadi kupikirkan sudah berdiri disampingku. 

"Kalau sudah selesai menyiram tanaman, jangan lupa cuci tangan lalu bersihkan rumah." Dia merapikan sarung tangan kulit berwarna cokelat gelap dengan motif kotak berwarna merah besar di tengah yang dia kenakan sebelum melanjutkan. 

"Kau sudah menambahkan kompos untuk mempercepat pertumbuhan semua tanamanmu?" 

Kuulurkan tangan kananku yang sedang membawa sekop. "Sedang kulakukan."

"Baiklah kalau begitu, jangan lupa takarannya seperti yang kuajarkan kemarin ya."

Dia merapikan scraf merah yang mengelilingi lehernya, kemudian memandang sekitar. Wajah dengan pipi tirus dan alis tebal, yg menjadi idola para pegawai wanita di kantornya itu dipenuhi peluh akibat pekerjaan di lahan. Kemeja putih yg dia kenakan tidak menutupi postur tubuhnya yang kekar, justru membuat ototnya semakin terlihat. Aku yakin jika aku memotret kakak sekarang aku bisa menjual hasilnya dengan harga yang lumayan.

Aku tidak mengerti mengapa kakakku mengenakan kemeja putih sebagai seragam bertani. Kalau celana jeans biru sepaha dengan boots kulit yg dia kenakan sih tak masalah, tapi kemeja putih? Bukankah warna itu cepat kotor?

"Mau berapa tahun kutinggalkan, rasanya masih tetap sama ya."

"Peternakan ini?"

"Iya." Kak Jack tertawa kecil. "Meski lebih sepi dari saat aku yang memegang alih sih."

Aku mendengus mendengar sindiran kecilnya tersebut. "Maaf ya adik kecilmu ini belum berani untuk mengurus hewan ternak."

Tangan Kak Jack tiba-tiba sudah mendarat di rambutku, lalu mengacaknya tanpa ampun. "Kau juga sama saja, masih gampang marah seperti dahulu."

"Apa sih kak, aku bukan anak kecil lagi tau." aku berusaha menepis tangannya, namun karena posisiku yang sedang memegang sekop dan kantung kompos, membuatku tidak leluasa bergerak dari tempatku.

"Loh, siapa yang tadi berkata adik kecilku?"

"Kau tau kan aku tidak serius!"

Tawa Kak Jack kembali terdengar. Kemudian dia mengangkat tangannya. "Oh iya, hari ini aku akan menghabiskan waktu dengan teman-teman lamaku. Tidak apa kan?"

"Ya silakan saja."

"Baiklah kalau begitu." dia merenggangkan tubuhnya, sebelum melangkahkan kakinya menjauhiku. "Jangan lupa kunci pintu bila kau mau keluar!"

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang