How?

120 15 1
                                    


Memanen adalah kegiatan yang paling menyenangkan.

Rasanya seperti seorang ibu yang berhasil membesarkan anak-anaknya, mengamati hasil didikannya dengan bangga, lalu melepaskannya ke dunia nyata tanpa rasa takut. 

Sambil berpikir demikian, aku menaruh lobak-lobak yang kupanen kedalam keranjang kayu berbentuk tabung, benda yang dibeli kak Jack saat berkunjung tempo hari yang sangat membantuku disini.

Kakakku sudah kembali ke kota tepat di hari setelah festival itu terjadi. Katanya karena ada kesibukan di kota. 

Bahkan ditengah kesibukannya dia masih menyempatkan untuk mendatangi adiknya yang tinggal cukup jauh dari tempat tinggalnya. Mungkin memiliki kakak sebawel kak Jack tak selamanya buruk, pikirku sambil tersenyum sendiri.

Selepas kak Jack, aku kembali ke rutinitasku. Merawat lahan, memetik hasil hutan sebagai penghasilan tambahan, makan di penginapan Ann, check up di klinik, terkadang aku menyempatkan diri untuk mengunjungi warga desa lainnya, seperti nenek Ellen, Basil, kakek Saibara, dan lainnya. Bermain dengan May dan Stu di gereja juga kulakukan ketika aku senggang di sore hari yang ditutup dengan cemilan manis buatan pastor Carter, susu strawberry.

Mungkin karena aku begitu menikmati hari-hariku disini hingga tak terasa waktu sudah sampai di pengujung musim semi. Musim tersibuk bagiku, karena selain memanen aku juga harus membersihkan tanaman-tanaman yang ada untuk kusiapkan sebagai lahan tanaman musim berikutnya.

Kuangkat keranjang yg dipenuhi lobak tersebut menuju kotak penjualan, untuk dijual Zack sore hari nanti.

Saat berjalan, pikiranku memutar kembali kenangan apa saja yang sudah kudapat disini.

Mulai dari keputusanku untuk pindah ke sini, perkenalan pertama dengan walikota dan zack, disusul Ann, perkenalanku dengan Gray...

"Lain kali aku akan mengajakmu."

Hampir kujatuhkan keranjangku ketika dialog itu kembali menggema dalam otak. Astaga. Setiap kali aku mengingat Gray, momen itu selalu teringat.

Kulirik tangan kananku di sisi keranjang yang saat itu digenggam olehnya sambil menahan senyum.

Kira-kira, kapan saat itu datang?

Kubuka kotak penjualan yang sudah terisi ketimun dan kentang. Menghitung jumlahnya beserta lobak yang berada di dalam keranjang, kemudian mengeluarkan handphone untuk memanfaatkan fitur kalkulator.

Hm sempurna. Dengan begini saat musim panas nanti aku bisa membeli dua ekor ayam.

Eh tapi tunggu, untuk makanannya bagaimana?

Aku hendak menghitung pengeluaranku untuk membeli pakan ayam sebelum mataku melirik ke Poultry Farm.

Benar juga. Aku selalu melihat kak Rick melepaskan ayamnya dibalik pagar kayu di sebelah rumahnya. Dengan begitu aku tak perlu membeli pakan.

"Baiklah kalau begitu, musim panas nanti pekerjaanku akan bertambah!"

Kutaruh kembali handphoneku ke dalam saku overall biru yang kukenakan, lalu mengeluarkan sabit dari dalam tas untuk membersihkan tanaman ketimun yang masih berdiri di lahan.

****

Kali ini, pekerjaanku di musim semi telah benar-benar selesai.

Aku menghembuskan nafas lega sambil menatap kondisi lahanku yang telah bersih dari tanaman, kecuali batu dan ranting.

Kurebahkan tubuhku dibawah pohon apel sejenak. Mengistirahatkan tubuhku yang otot-ototnya kini mulai terlatih dengan pekerjaan fisik.

Kulirik jam tanganku. Tepat pukul dua siang.

Sekarang bagaimana ya? Makan siang dulu mungkin?

Tiba-tiba bayangan nasi rebung hangat buatan Ann membuatku lapar. Rebung yang menjadi tanaman musim semi dimasak oleh salah satu ahli masak di desa ini, dengan saus kecap...

Buru-buru aku beranjak dari posisiku dan berjalan menuju air terjun untuk mencari rebung yang masih segar.

***

"Kau tahu kan, Mary?"

Langkah kakiku di tangga terhenti saat aku mendengar suara Karen. 

Saat ini aku tengah berada di tangga menuju pemandian air panas yang berseberangan dengan air terjun. Di sisi pemandian ini terdapat hutan bambu yang memiliki banyak sekali rebung bambu. Rencanaya aku ingin memetiknya untuk kubawa ke Ann sebagai lauk makan siang-

"Iya aku tau, itu yang terbaik untuk mereka kan?" kali ini suara Mary yang terdengar.

"Begitulah. Baik untuk Gray ataupun Claire."

"Iya."

O-oke. Sepertinya aku datang di saat yang kurang tepat. Atau mungkin, tepat? Karena mereka sedang membicarakan aku.

Pelan-pelan aku menunduk agar mereka tak menyadari keberadaanku. Kutajamkan pendengaran agar aku bisa mendengar perkataan mereka dari balik derasnya suara air terjun.

"Sepertinya memang aku harus menyerah soal Gray."

BRUK

Keranjang kayu yang kubawa langsung menggelinding kebawah ketika aku mendengar kalimat tersebut. Namun aku tak langsung mengejarnya karena otakku masih belum dapat mencerna perkataan yang kudengar barusan.

Menyerah... soal Gray?

Apa ini?

"Siapa itu?" Karen beranjak mendekati anak tangga. Dan mendapati aku berada disana.

"E-eh Claire? Sejak kapan kau ada disini?"

"Claire?" Mary turut mendekati Karen.

"Eeh.... aku baru saja sampai, untuk memetik rebung dan tanaman herbal, hehe.."

Tersisa keheningan yang membuat canggung setelah aku menjawabnya. Buru-buru aku mengambil keranjangku yang jatuh tersebut.

"Itu... tak seperti yang kau pikirkan." Karen kembali bersuara ketika aku selesai mengambil keranjang kayu dengan tinggi 50 cm tersebut.

"Kita... hanya mencemaskan Gray. Karena daridulu dia bisa berbuat gegabah, ya kan?" Mary turut bersuara, namun sedetik kemudian dia menutup mulutnya dengan tangan. Berikut lirikan tajam Karen yang seakan berkata mengapa-kau-berkata-begitu.

Setelah berpikir sejenak, mendadak perkataan dokter saat merawatku di klinik tempo hari teringat.

"Wajar jika Claire, mungkin dia teringat dengan teman masa kecilnya."

Melihat Mary yang tampaknya begitu memahami Gray, membuatku teringat kata-kata tersebut.

Jangan-jangan...

"Mary, apa kamu teman masa kecil Gray?"

***

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang