Derasnya suara air terjun mengisi keheningan yg terjadi diantara kami bertiga. Mengusik kecanggungan yg tercipta setelah secara tak sengaja aku menemukan mereka membicarakanku, dan seusai aku menanyakan sesuatu kepada Mary.
Tak tahan, ku putuskan untuk memecah kesunyian diantara kami.
"Saat aku dirawat di rumah sakit, dokter mengatakan jika aku mirip dengan teman masa kecil Gray, karena itulah aku bisa berteman akrab dengannya." Senyuman kecil tersungging di bibirku seusai berkata demikian. "Karena itu aku penasaran, siapakah orang yg dimaksud oleh dokter tersebut. Dan kupikir itu kamu Mary."
"Mengapa kau berpikir demikian?"
"Karena kau terlihat sangat memahami Gray."
"Darimana-"
"Tapi mungkin hanya pikiranku saja ya, hehe." Aku menggaruk pipi kananku yg tidak gatal sambil tertawa canggung. "Maaf sudah menanyakan hal yg aneh."
Karen menghembuskan nafas lega seusai aku berkata demikian. Sementara Mary tampak sedang mempertimbangkan sesuatu, kemudian menatapku.
"Apa kamu benar-benar menyukai Gray?"
Jantungku berhenti berdetak beberapa detik saat mendengar pertanyaan itu. Kutatap manik mata emerald milik Mary dengan panik. "A-apa?"
"Tak apa, aku hanya ingin menanyakannya saja." Perempuan penjaga perpustakaan itu menghembuskan nafas, kemudian menoleh ke arah Karen. "Kita harus kembali, dokter pasti sudah menunggumu."
"A-ah iya benar juga!" Karen menepuk jidat, kemudian mengangkat keranjang kayu berisi tanaman berwarna biru. "Ayah juga pasti sudah menunggu lama. Bisa gawat kalau sakit perutnya semakin parah."
"Kalau begitu, kami duluan ya." Pamit Mary kepadaku. Tangannya terarah memegang tangan Karen lalu buru-buru meninggalkanku yang masih terkejut dengan pertanyaannya tadi.
***
Suara rintik hujan pelan-pelan berubah menjadi deras. Membuat tubuhku menjadi sedikit menggigil akibat terkena tetesannya dalam jumlah yang banyak. Di musim semi memang terkadang bisa turun hujan tanpa diperhitungkan sebelumnya. Padahal seingatku kemarin ramalan cuaca tak mengatakan jika hujan akan turun.
Aku menapaki jalan kecil di antara peternakan Poultry dan peternakan Barley dengan lesu. Pikiranku masih terperangkap dalam momen beberapa saat lalu, ketika bertemu dengan Karen dan Mary.
Pertanyaan Mary saat itu membuat kepalaku sedikit pening. Beberapa kilasan memori tiba-tiba berputar di otakku, meminta untuk diingat kembali.
Aku merasa seperti pernah mendapati momen seperti ini sebelumnya. Tapi entah kapan. Ketika seseorang menanyakan perasaanku kepada seseorang. Senyuman kecil yang tercipta saat aku menjawabnya, dan wajah-wajah bahagia dihadapanku. Namun, perasaan yang tak nyaman menggerogotiku saat aku melihatnya.
Rasanya begitu perih. Seperti teriris namun tak bisa diobati karena luka itu tak terlihat. Berdenyut begitu keras hingga membuatku kesulitan bernafas.
Perasaan apa ini?
"....re"
Aku tak paham. Mengapa akhir-akhir ini kata-kata yang diucapkan Karen dan Mary seperti melakukan benturan yang keras kepada otakku?
"....ire"
Tempo hari pun tiba-tiba mereka meminta maaf kepadaku. Meski mereka sudah mengatakan alasannya, tapi sejujurnya itu tak menghilangkan rasa penasaranku.
"Claire!"
Genggaman di pundak menyadarkanku dari lamunan. Saat kutoleh, kudapati Gray berada di sampingku. Memayungi sambil menatapku dengan cemas.
"Aku memanggilmu daritadi namun kau tak menjawab, jadi aku mendatangimu." alisnya mengernyit saat berkata demikian.
"A-ah iya.." Aku tergagap, tak mampu menatap wajahnya. Otakku terlalu dipenuhi pertanyaan yang membingungkan hingga aku tak menyadari jika dia mengejarku.
Tangannya memegang daguku, menolehkan kepalaku ke arah nya. Kemudian mengusap pipiku dengan lembut. Mengusir semua rasa sakit di kepalaku akibat kilasan memori yang kurasakan tadi dan berganti dengan kepakan halus yang pelan-pelan memenuhi badanku.
"Kau tak enak badan?" sorot mata penuh perhatian kembali dia keluarkan. Manik matanya yg menatap langsung kepadaku seakan berusaha mencari jawaban dari mataku.
"E-eh, sepertinya aku kecapekan. Karena aku baru selesai memanen dan belum makan siang, hehe!"
"Begitu?" dia mengangkat sebelah alisnya yg tebal. Tak yakin dengan jawabanku.
Aku mengangguk dan tersenyum. Berharap itu dapat menenangkan dia.
Hembusan nafas kecil dia keluarkan. Kemudian dia menarikku hingga kedua pundak kami menempel.
"Belum makan siang, dan sekarang kehujanan. Setidaknya sekarang kamu harus menghangatkan diri agar tidak sakit." Dia tersenyum kecil sambil menatapku.
Degup jantung di dadaku kian mengencang ketika menyadari kalau badan kami begitu dekat. Ditambah genggaman tangan Gray di lenganku. Membuat tubuhku pelan-pelan terasa hangat.
"Apa yang kau bawa?"
"Ah ini?" Aku menyodorkan keranjang kayu berukuran 50 cm yang kubawa, memamerkan rebung dan tanaman herbal yang kuambil. "Ini lauk makan siangku!"
"Kamu berencana membawanya ke Ann?"
"Iyap!"
"Begitu.."
Gray mengambil salah satu tanaman herbal yang kubawa, dan mengarahkannya ke mulutku.
"Kalau begitu sekarang kunyah dulu ini sebagai penahan lapar."
Aku terkejut ketika Gray tiba-tiba menyuapkan tanaman tersebut kepadaku. Rasa pahit dan pedas yang dingin menjalar di lidahku.
"Gray, ini kan pahiit..."
"Eits, tidak boleh dimuntahkan."
Aku memukul lengannya sambil cemberut. Padahal dia sudah tahu jika aku paling tidak suka pahit, namun tetap dia lakukan juga.
"Nasi rebung sepertinya enak." suara Gray kembali terdengar. "Kalau begitu, ayo kita cepat-cepat ke penginapan. Aku jadi lapar."
"Tidak ada jatah untuk orang jahat!"
"Heei.."
Kami berjalan beriringan sambil saling berbicara. Pada saat itu aku kembali teringat dengan pertanyaan Mary.
"Apa kamu benar-benar menyukai Gray?"
Apakah pertanyaan itu menandakan jika orang yang disukai Mary itu Gray? Jika memang benar...
Apa aku masih boleh dekat dengan Gray seperti ini?
Perasaan tak nyaman kembali menggerogoti hatiku. Memikirkan kemungkinan jika ternyata Gray memiliki perasaan kepada Mary, membuatku merasa sakit.
Saat manik mata kami kembali bertemu, senyuman kecil dia keluarkan dan mengurangi rasa sakit yang kurasakan tadi. Berganti dengan rasa nyaman dan debaran hangat.
Apa ini tanda jika aku menyukainya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Something!
FanficLelaki bernama Gray itu jarang sekali berbicara. Namun tingkah lakunya membuat Claire, gadis pindahan dari kota itu penasaran. Terutama saat kedua mata mereka bertemu. Entah sejak kapan, Claire menjadi tergoda untuk mendekatinya. Inginkan lelaki pen...