Preparation

166 23 0
                                    


Claire POV

"Perhatikan langkahmu Claire!"

"Tidak, bukan begitu, gerakkan pinggulmu searah jarum jam."

"Lebih rileks lagi,"

Gara-gara perkataan Cliff yang seenaknya mengusulkan agar aku pergi bersama Gray untuk festival Dewi Spring, kini aku tengah berlatih dengan Karen di dalam rumahnya.

Untungnya aku sudah menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu sebelum menemui Gray, jadi aku bisa mengiyakan ajakannya tersebut.

Sebenarnya, aku tidak tau mengapa situasinya bisa menjadi seperti ini. Namun karena aku suka menari, jadi aku pun tak keberatan

Terlebih lagi karena aku akan pergi dengan Gray.

Hehe.

Aku memandang wanita berambut coklat di hadapanku. Dengan luwes dia menggerakkan tangan dan kakinya seirama dengan musik yang dimainkan melalui tape kecil di sudut ruangan. Meski kamar Karen yang menjadi satu dengan dapur rumahnya tidak terlalu luas, tapi dia mengakalinya dengan meminggirkan meja dan kursi yang ada di tengah ruangan. Rambutnya yang berkibas akibat gerakan badannya saat menari ditambah ekspresi wajahnya yang lembut membuat pesonanya sebagai seorang wanita makin meningkat. Bahkan aku yang sesama wanita saja tak bisa mengalihkan pandanganku saat ini. 

Tak heran jika Ann mengklaim jika Karen adalah wanita paling cantik di desa ini.

I guess Karen already become my ideal type of woman.   

"Oke, stop." Ujar Karen sambil mematikan tape, lalu melemparkan botol air mineral ke arahku. "Kurasa kamu sudah menguasai dasar-dasarnya, selebihnya terserah padamu nanti" 

"Eh, secepat ini?" Tukasku tak percaya. Kukira aku masih memerlukan banyak hal untuk kupelajari hari ini. 

"Aku pun cukup terkejut sebenarnya, karena gerakanmu terlalu ahli untuk dikatakan sebagai seseorang yang belum pernah mengikuti festival ini."  Balas Karen sambil menyenderkan tubuhnya ke dinding, lalu menatapku. "Kau yakin belum pernah menarikan ini sebelumnya?"

"Yakin. Kau tau kan kalau aku baru saja pindah kesini." 

"Dan kau langsung bisa mendapatkan pasangan untuk datang ke festival." Senyuman penuh arti terukir di wajah Karen. "Kau berbahaya juga Claire,"

"Uh itu kan karena Cliff yang menyar--"

"Tapi Gray setuju kan?" Sahut Karen cepat. Membuat suhu tubuhku meningkat drastis karena menahan malu.

"....begitulah."  

Suara tawa terdengar dari mulut Karen setelah aku menjawab perkataannya. Dia beranjak dari tempatnya lalu mendekat ke arahku yang masih berdiri mengelap keringat. Aroma wine bercampur dengan bunga samar-samar terhirup olehku ketika dia duduk didekatku. 

"Kau tahu, aku cukup terkejut melihat ada orang yang mau mengambil alih peternakan yang sudah usang tersebut" Dia melambaikan tangannya kearahku, mengisyaratkan agar aku duduk. "Apa yang membuatmu melakukan itu?"

"Hmm apa ya.." Aku memutar bola mataku sejenak untuk mencari jawaban. "Karena aku sudah lelah dengan lingkungan kota sepertinya."

"Bukankah disana lebih asyik?" Karen meluruskan ke dua kakinya dan menyamankan posisi duduknya. "Maksudku, kau bisa mendapatkan banyak wine ternama disana dengan mudah, banyak lelaki tampan, serta lebih banyak lelaki tampan?"

"Haruskah kau menyebutkannya dua kali?"

"Bukankah itu point terpenting bagi wanita dewasa seperti kita ini?"

Kami saling bertukar pandang sejenak. Tak lama kemudian suara tawa kembali terdengar di ruangan ini.

Yang membedakan, kali ini aku turut andil didalamnya.

"Kau sendiri bagaimana Karen?" 

"Hm?" manik emerald milik Karen mengerling ke arahku. Tangan kirinya memegang botol mineral ke arah mulutnya.

"Kau akan pergi dengan siapa untuk festival lusa nanti?"

Dia langsung terbatuk kecil setelah aku menanyakannya. Sampai aku harus menepuk punggungnya agar tidak semakin parah.

"Duh, kenapa harus kau tanyakan lagi?" Sahut Karen setelah berhasil reda dari batuknya tersebut. "Tentu saja dengan Rick."

"Aah, anak laki-laki pemilik Poultry Farm itu?"

"Tentu saja. Bukannya dia sahabat kakakmu?"

Aku mengerjap. Bagaimana dia bisa tahu?

Sebenarnya, satu-satunya orang yang kukenal di desa ini hanyalah Rick, itupun karena dia adalah teman masa kecil kakakku, Jack. Tapi karena dia sedang memiliki kesibukan di desa lain, dia jadi tidak bisa membantuku ketika aku pindah ke desa ini.

"Kau kenal dengan kakakku Karen?"

"Tentu saja, siapa yang tidak kenal dengan laki-laki tampan yang pernah tinggal di desa ini?"

Aku terkekeh mendengar jawabannya. "Hei, memangnya Rick belum cukup? Jangan lirik kakakku juga dong."

"Rick sudah lebih dari cukup kok, tapi tidak ada salahnya kan mengagumi laki-laki lain!" Tegas Karen mantap. "Meski Rick tetap nomor satu, tidak menutup kemungkinan aku bisa cuci mata dengan laki-laki yang lebih tampan dari dia."

Aku bersyukur Kak Rick tidak berada disini saat ini.

"Hei, memang kakakku itu terkenal sekali ya disini?" tanyaku penasaran. 

Kakakku Jack Rustwold kuakui memang memiliki wajah yang lumayan. Posturnya yang cukup kekar, manik mata yg berwarna coklat gelap yg senada dengan rambutnya yang bermodel spike rapi, tingkah lakunya yang sangat baik dan ramah. Berbanding terbalik dengan adiknya yang berpenampilan apa adanya, sangat kekanakan dan blak-blakan ini.  Kehadirannya selalu mampu membuat siapa saja nyaman berada di dekatnya. Benar-benar figur kakak idaman.

Meski dia juga sedikit protektif sampai membuatku agak risih sih.

"Wah itu sih tak perlu ditanyakan lagi." Sahut Karen antusias. "Tidak ada wanita disini yang tak pernah jatuh hati dengannya. Meski dia selalu memperlakukan kami semua sama rata sih."

"Kepadamu juga Karen?"

"Tentu. Mungkin karena Rick sudah mengklaim diriku. Sebal."

"Hei hei..."

"Tapi sepertinya dulu Kakakmu pernah menyukai salah satu wanita di desa ini." lanjut Karen sambil memutar bola matanya. Berusaha mengingat-ingat kembali. 

"Oh? Siapa?"

"Entah ya, mungkin antara Rou, Ann atau Mary?"

Rou?

"Tapi setelah kupikir-pikir lagi tak mungkin Rou ya, karena Gotz tak mungkin memberikan mereka restu, hehe!"

Rou? 

"Kau sendiri masih ingat kan Claire..."

Mendadak aku tak bisa fokus mendengar kelanjutan celotehan Karen. Entah mengapa setelah mendengar nama itu, kepalaku terasa berat. Seakan ada beban yang meminta untuk dikeluarkan dari dalam otakku. Tanpa sadar aku meletakkan kepalaku ke lantai sambil memegang kedua sisi kepalaku

Sakit.

"Claire? Ada apa?" Karen akhirnya berhenti bercerita. Tersirat kepanikan dalam suaranya.

Setelah itu, aku tidak dapat mendengar apapun lagi. Semua mendadak menjadi gelap.

***

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang