Prolog

709 48 3
                                    


Menjadi petani tidak semudah yang terlihat.

Mengurus lahan dengan menyirami semua tanaman dengan rutin, belum lagi tanaman yang harus ditanam harus sesuai musim atau tidak akan tumbuh. Jika badai tiba dia bisa menghilangkan semua tanaman yang susah payah kau rawat.

Menyebalkan.

Aku belum berani menambah bebanku dengan membeli hewan ternak. Mengurus tanaman saja membuatku kewalahan, bagaimana dengan ternak?

Meskipun semua ini tidak separah tingkah bosku saat masih di kota, namun aku masih tak menyangka jika kekuatan fisikku yang sudah lama kusembunyikan dari orang lain itu harus kugunakan semuanya disini.

Semua berawal ketika aku melihat brosur iklan mengenai penawaran untuk perawatan lahan yang berada di desa yang cukup terpencil ini dengan biaya yang cukup murah, bahkan bisa dibilang hampir cuma-cuma.

Aku yang saat itu merasa muak dikekang oleh pekerjaan di kantor memutuskan untuk membuang kehidupanku di dunia metropolitan untuk menjajal kehidupan baru disini.

Mengingat kehidupan dulu saat masih diperbudak oleh bos di perusahaan yang lama, membuatku bergidik. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk lebih mensyukuri kehidupanku yang sekarang.

Oh iya, aku termasuk perempuan yang old fashioned.  

Karena aku lebih mempercayai buku diary untuk menampung semua curhatanku, dibanding teknologi-teknologi yang ditawarkan oleh dunia kota nan canggih disana.

Pada awalnya, buku diaryku itu hanya diisi oleh seputar keluh kesahku mengenai merawat lahan, namun belakangan ini diary ku itu mulai terisi dengan hal lain.

Semua berawal dari saat aku mengunjungi bar yang berada di desa ini.

Ketika aku memutuskan untuk membaur dengan warga desa, satu-satunya yang terlintas di otaku hanyalah mengunjungi tempat publik yang cukup sering dikunjungi oleh warga penduduk yang bisa dihitung dengan jari ini.

Dan disanalah, aku bertemu dengannya.

Laki-laki bertopi biru. Dengan rambutnya yang berwarna pirang terlihat dari lubang dibelakang topinya.  Dengan mantel berwarna krem, duduk di kursi pojok dan membelakangi pintu bar itu, menyebabkan aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Pada saat aku hendak meninggalkan bar, aku mendapati dia merogoh sesuatu dari balik sakunya. 

Bukan, bukan barang yang dia ambil yang membuatku kefikiran, namun ekspresi yang dia keluarkan saat dia melihat benda itu.

Sebuah senyuman kecil, yang dengan seenaknya mengambil tempat didalam otakku saat mataku menemukannya.

Hei, bukan masalah kan jika aku ingin mengenalinya lebih dekat karena terpikat dengan senyuman itu?

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang