BAB 21

8K 511 66
                                    

Apakah salah, jika sahabat menjadi pacar?

***

Kamilla diam, mengetuk-ngetuk pensil di meja belajarnya. Hari sudah malam, tetapi mata Kamilla masih terjaga. Tidak ingin tertidur, pikirannya selalu terpusat pada Adrian. Dia merindukan sikap dingin Adrian, tatapan tajam Adrian.

Bahkan Kamilla bingung, Adrian menghilang sejak siang tadi di sekolah. Dia tidak melihat Adrian masuk ke kelas, menyapa dirinya jarang. Bagaimana Kamilla ingin mendekati Adrian, jika orang yang dia incar begitu sulit digapai.

Secarik kertas putih berada di hadapan Kamilla. Sebuah ide muncul dalam pikirannya, Kamilla tersenyum puas. Dia berniat akan memberi surat untuk Adrian. Memang terdengar jadul, tetapi Kamilla tidak mementingkan hal itu. Karena sebuah kesenangan dilihat dari momen yang di lalui, kejadian yang akan terjadi, bukan dari sebuah hal yang lain.

Dia menulis beberapa kata yang menjadi kalimat. Senyum terus mengukir wajah Kamilla, hingga digantikan tetesan air mata. Kamilla menangis, saat menulis isi surat untuk Adrian. Dia berniat akan memberikannya besok pagi pada Adrian.

Setelah selesai dia beberapa detik menatap langit, isakan Kamilla keluar. Dia sungguh tidak tahan menahan rasa ini, yang semakin hari semakin bertambah rasa cintanya pada Adrian.

"Setelah adanya surat ini di tangan dia. Kemungkinan besar gue akan menjauhi Adrian," gumam Kamilla. Memandang surat di depannya dengan gemetar, tetesan air mata membasahi kertas. Bisa dilihat, air mata itu mengenai tinta hingga luntur oleh satu tetes air mata.

***

Adrian keluar dari kamarnya, menuruni tangga. Terlihat di dapur ibu tirinya sedang menyiapkan sarapan pagi untuk ayahnya, dan Lunetta. Adrian hanya diam dan tidak acuh, lalu pergi meninggalkan ruangan ini yang menurutnya begitu panas.

"Adrian, sarapan dulu nak." Karin dengan ramah mengajak Adrian untuk bergabung, sarapan bersama. Tetapi Adrian tidak merespon, dia menatap Karin dengan tajam.

Lunetta hanya diam. Menatap kakak tirinya dengan sedih. Impian Lunetta mempunyai kakak yang penyayang, selalu menjaga adiknya, dan dijadikan sandaran semuanya hilang. Lunetta tahu jika drian memang bukan kakak kandungnya. Tetapi yang Lunetta inginkan, mereka saling melindungi, menyayanggi, dan saling menjaga. Hanya itu saja sudah cukup bagi Lunetta.

Baginya Adrian sudah berubah. Berkamuflase menjadi sosok Adrian yang baru dalam dirinya. Dulu Lunetta dan Adrian pernah akrab, tetapi itu dulu.

"Adrian sini, jangan diem di sana," oanggil Karin melambaikan tangannya. Nihil, Adrian tetap diam memandang semua orang di meja makan dengan tatapan menjijikan. Dari pada memandang mereka yang menurutnya tidak berguna, lebih baik Adrian pergi meninggalkan rumah terkutuk ini.

Baru juga beberapa langkah, suara Pratama terdengar keras di telinga Adrian,

"Adrian, kamu tuli?! Ibumu mengajak sarapan bersama," ucap Pratama, memandang tingkah Adrian yang menurutnya begitu memalukan.

"Adrian nggak mau! Jangan maksa Adrian untuk sarapan bareng kalian, karena itu tidak mungkin! Dan jangan pernah ayah panggil dia Ibu pada Adrian. Karena Adrian tidak pernah lahir dari rahim wanita itu!" kata Adrian dengan lantang lalu berbalik meninggalkan mereka.

"ADRIAN!" teriak Pratama murka, "jaga bicaramu, Adinata!"

"Sudah mas, biarkan saja. Mungkin dia tidak terbiasa dengan kehadiran aku dan Lunetta." Karin menenangkan Pratama. Mengusap punggung suaminya, agar tenang. Sebenarnya dia sedih melihat Adrian yang sudah dia anggap sebagai anak kandungnya. Yang dia sayangi, Karin tidak bisa berbohong jika perkataan Adrian menyaki batin Karin.

With You AdrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang