Sore, berganti menjadi malam. Ketiga sahabat Vania masih setia menemani sahabatnya yang sedang sakit itu, mereka serasa tidak terbeban sama sekali.
Di tempat lain, ada beberapa orang yang sedang melihat keadaan Vania kini melalui jendela ruangan, mereka adalah keluarga Vania.
"Mama nggak siap jika Vania tau kalau lama kelamaan rambutnya akan mulai rontok jika sudah tahap terapi." Kata sang mama sambil dibanjiri air mata.
Alvaro sangat nggak tega melihat mamanya yang terpuruk melihat adiknya itu, Alvaro langsung memeluk mamanya untuk menenangkan hatinya. Tapi tanpa Hana sadari, Vania melihat kejadian mamanya nangis ketika melihatnya sedari tadi. Vania mencoba menenangkan hatinya untuk kembali bercanda dengan teman-temannya lebih tepatnya sahabat Vania.
Tak lama itu pula, kelurga Vania masuk keruangan Vania, Vania menyambut mereka dengan senyuman kebahagian serasa Vania tidak memiliki beban sama sekali, tapi kenyataan itu salah besar, Vania bahkan sangat memiliki masalah yang sangat besar. Dan saat itulah sahabat Vania pamit untuk pulang.
"Bang, apa bener aku besok bakalan pulang?" Tanya Vania kepada Caraka selaku dia dokter spesialis penyakitnya dan juga merangkap sebagai kakaknya. Caraka hanya mengangguk dan tersenyum sebagai jawabannya.
Hana mendekat kebrankar Vania, "sayang, apa kamu nggak sebaiknya mengundurkan diri dari event karate di sekolah kamu? Kamu besok baru pulang dan eventnya udah minggu depan." Tutur Hana.
Vania menatap mata mamanya lekat-lekat seakan memberi tau kalau Vania bakalan baik-baik saja setelah event itu berlangsung. Moment ini sangat berarti bagi Vania, karna apa keluarganya telah memperdulikannya, entah itu peduli karna sayang atau karna kasihan? Tapi Vania sangat bahagia dengan mereka.
"Dek ini jadwal terapi lo mulai bulan depan." Caraka menyodorkan sebuah kertas kearah Vania. Hana melihat itu tak sanggup untuk menahan kristal putihnya, yang lagi dan lagi membanjiri pipinya.
Vania membaca sekilas dan membalikkan halaman berikutnya, "makasih bang," jawab Vania sambil tersenyum getir.
Vania melihat sekelilingnya yang sekarang sudah nangis dengan diam, "kalian kenapa nangis? Vania nggak papa kok." Ucap Vania dengan senyum seikhlas mungkin.
"Kalian ingat kan, kalian yang lah yang ngajari Vania buat kuat dalam hadapi masalah seberat apapun, kalian lah yang ngajari Vania tersenyum ketika punya masalah tapi kenapa kalian malah menangis?" jeda Vania sambil menarik nafas dalam-dalam, "apa kalian lupa, kalau kalian pernah bilang bahwa skenario tuhan lebih indah dari apapun, dan aku percaya itu semua." lanjut Vania lagi.
Mendengar tuturan Vania tersebut, Hana kini menangis lebih deras dari yang tadi. Karena Hana merasa anaknya kini sudah cukup dewasa dan sepertinya Vania telah mengetahui jika penyakitnya nggak lama lagi akan menyebar keseluruh tubuhnya.
"Mama nggak usah nangis lagi ya, Vania janji Vania bakal nuruti semua omongan mama, papa sama abang-abang Vania ini." Ujar Vania sambil menunjukkan senyumannya kepada mereka.
****
Pagi ini Vania kembali pulang kerumahnya dengan didampingi keluarga, sesampainya dirumah betapa terkejutnya ketika sahabat-sahabatnya menyambutnya dengan meriah, bahkan sangat meriah.
"Welcome back in home, Bellvania." Teriak ketiga sahabat Vania secara serempak.
Vania tak kuasa menahan air matanya, dan sedetik itu juga menetes secara satu persatu, Vania nangis bukan karna tak suka cuma karna terharu saja melihat mereka.
"Ih kok malah nangis sih, Van, kita kan mau nyambut kepulangan lo." Jelas Calista sambil mendekati Vania.
Vania mendengar omongan Calista dan oh gosh dia makin nangis, dan nangisnya tak tanggung-tanggung lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomboyish Girl [Proses Penerbitan]
Teen Fiction[Revisi jika sudah tamat] Pada dasarnya kita hadir sebagai utusan Tuhan dengan segala skenario yang telah di atur. Untuk menolak saja itu tak akan bisa karena kita hanyalah manusia biasa. Seperti sekarang, dua insan yang telah di uji kesabarannya me...