Empat Puluh

1.1K 53 7
                                    

Aldo POV

Satu bulan sudah aku lewati masa-masa dimana aku tak tau harus berbuat apalagi dengan keadaan yang seperti ini dan juga tak bisa apa-apa, hanya bisa merepotkan orang sekitar, dan itu sudah bertahun-tahun lamanya. Sedih? Sungguh, tapi ini lah takdir yang digariskan Tuhan untuk ku.

Bahkan keseharian ku tak pernah lepas dengan sebuah buku Diary ini, infus, obat, ponsel, dan sebuah figura kecil dengan tampilan Poto seorang gadis yang sedang tersenyum ceria disana. Kalian para pembaca, dilarang penasaran siapa gadis tersebut, yang jelas kalian akan tau sendiri siapa gadis itu.

Tiap hari seperti ini rasanya sungguh membosankan tapi, bagaimana lagi, kembali ke awal. Ini takdir Tuhan yang sudah digariskan untukku, bahkan aku saja tidak pernah menyangka jika hidup ku akan seperti ini.

Jika kalian bertanya apa yang bisa aku lakukan, jawabannya sungguh klise. Bawa aku, bawa aku ke Tempat ternyaman, jika seperti ini aku hanya bisa merepotkan orang lain. Sungguh aku membencinya tapi, aku bisa apa? Memberontak? Marah? Mogok makan? Hahaha itu terlihat konyol. Aku hanya bisa menjalani hidup ku sesuai apa yang ada sekarang, dan memanfaatkan semuanya dengan baik sebelum terlambat, bukan?

"Aldo," sapa seorang perempuan dari arah belakang ku. Sungguh suara itu mengganggu acara berhalusinasi ku saja.

"Ada apa, mah?" Aku menjawab sapaan itu dengan senyumanku, seperti biasanya, seakan aku lupa akan semuanya.

Jarakku dan mama memang sangat dekat, bahkan kini mama sudah mengusap kepala botak ku dengan sayang. Tak lupa, luka yang terpendam dibalik mata dan senyuman indahnya itu. Siapapun yang melihat itu, pasti akan merasakan bagaimana keadaannya kini. Namun, tidak semua orang tau bagaimana keadaan seorang wanita tegar di samping dan yang sedang aku tatap kali ini.

"Besok keluarga kita ada pertemuan dengan Dokter Charlos di Rumah Sakit," 

Perkataan mama barusan seakan mengingatkanku akan semuanya, mengingatkanku akan diriku siapa, dan ada apa dengan diriku beberapa bulan kedepan. Ahhh sungguh menyedihkan, sungguh miris. Aku pun bisa berbuat apa? Hanya bisa tersenyum tapi, hati ini tidak bisa berbohong, jika hati ini sudah menangis meraung-raung.

"Yaudah, kapan pun itu, Aldo siap kok, mah." Jawabku mantap. Seakan aku sudah siap untuk semuanya, terutama saat-saat itu.

Perlahan, usapan hangat di kepalaku menghilang, dan kini kembali diserang rasa dingin, dan ya, mama sudah meninggalkan aku sendirian lagi dengan teman anganku yang tak jelas ini.

Pikiranku ini tak akan pernah lepas dari seorang gadis yang berhasil masuk kedalam hati kecil ini. Kalian sudah tau pasti siapa gadis itu.

Seakan kali ini mesin waktu berpihak kepadaku. Memori-memori dimana masa-masa masih bersamanya terputar kembali dan akan berakhir nyeri teramat dalam di hati.

******

"Aldo, coba deh sini. Ini view nya bagus buat foto. Ayo dong foto bareng. Kita kan sahabat, ya meskipun kita sahabat yang, ah sudahlah." pinta Vania dengan merajuknya. Akupun dengan senang hati menuruti permintaan sahabatku itu.

Aku pun  langsung memasang tripod dengan kameranya, yang sudah aku atur untuk timer-nya, setelah semua siap, dengan sigap aku langsung menghampiri Vania untuk sekedar berfoto ria. Dari gaya senyum, datar, lucu bahkan aib pun juga ada dalam kamera itu.

"Van," sapa ku. Setelah acara berfoto ria,

Vania pun menatapku dengan senyumnya. Jujur, aku takut tak akan bisa melihat senyuman itu lagi. Tapi aku sadar akan kenyataan. Ya, kenyataan bahwa semua akan sirna.

"Gue mau ngomong sesuatu." kata ku. Raut wajah Vania pun mulai tampak serius.

"Ngomong apasih, Al. Buruan ngomong." Pinta Vania dengan buru-buru.

Diam sejenak, menyiapkan semua mental. Lidah ini rasanya keluh untuk mengucapkannya, tapi gimanapun juga, aku harus mengatakan sejujurnya.

"Gue mau pergi ke Singapure tiga hari lagi, gue mau berobat disana. Gue harap, Lo ga perlu nunggu gue disini." Ucapku lancar tanpa ada kendala sedikit pun.

"Ha?" Respon Vania yang begitu kaget. "Lo bohong kan, Lo sahabat gue, Al. Gue ga ada temen lagi dong kalo gue lagi opname dan juga kemo, Lo mah, masa iya Lo mau ninggalin gue kayak mereka?"

Mendengar rintihan Vania, rasanya hati ku sungguh teriris, sakit, tapi gimana lagi, inilah jalan satu-satunya, bukan?

****

"Bang." Celetuk Nichol dari arah belakang yang berhasil membuyarkan lamunan ku.

Senang, sedih, kaget bercampur jadi satu. Senang karna Nichol berhasil menyadarkan ku dari perihnya kisah ini, kaget karena dia tiba-tiba datang seperti setan, sedih karena Vania tak akan bisa ku genggam bagaimana pun itu.

"Ada apa?" Tanya datar, tapi dengan nada yang masih bersahabat dengannya.

Nicholas pun duduk disamping ku, dengan tatapan yang lurus ke depan, seperti layaknya peramal masa depan.

"Besok, ada pertemuan sama dokter kan?" Tanya nya. Dan aku hanya menganggukan kepala sebagai jawaban. "Yaudah, besok tunggu gue pulang sekolah dulu, ya. Gue mau ikutan." Celetuknya.

Aku pun menatapnya dengan tatapan yang ah entahlah, aku sendiri tak tau apa arti tatapan ini.

"Ikutan gak ikutan, Lo juga tau apa hasilnya, nihil. Dan hanya tinggal sebentar." Kata ku. Dan langsung memalingkan wajah dari menatapnya kini menatap Poto seorang gadis cantik di genggaman tangan ku.

Dari sudut mataku, aku tau bahwa Nicholas menatap ku dengan senyuman kecilnya, bahkan tidak terlihat senyuman itu.

"Yaudah, gue balik ke kamar dulu, mau belajar. Dan Lo Bang, jangan nyerah, jangan putus asa."

Sepergian Nicholas, helaan napas panjang pun kulakukan, semua omongan yang ku denger hanyalah sebagai penenang belaka. Seberapa banyak kalimat penenang terlontarkan, jika memang saat nya, aku bisa apa? Menolak? Mengundurkan waktu? Andai itu bisa, mungkin sudah kulakukan sejak dulu.

Dan semua itu hanya halusinasi seseorang yang tak ingin menerima kenyataan. Jika kalian bilang aku termasuk dalam itu, kalian salah. Aku siap menerima kenyataan apapun itu, baik semanis gula, ataupun sepahit kopi. Memang kenyataan di dunia ini hanya ada 2, jika tidak kenyataan baik ya kenyataan buruk.

Angin semilir menerpa wajah dan kepala gundul ku, rasanya sejuk. Tapi ini hanya sementara, sejuk diluar, tidak dilamnya. Terasa pedih dan terluka didalam sini.

Memandang langit yang tampak cerah, mungkin jika bisa digambarkan, ini secerah gadis yang begitu aku sayangi, tapi tak bisa kuraih. Sungguh menyedihkan nasib ini, bagai ditampar dengan gada bahwa aku tak akan bisa memilikinya walau hanya semenit saja.

Ia terlalu baik untuk diriku, dan juga hari-hari ku, ia terlalu cantik untuk menjadi pasangan sementara ku sebelum aku benar-benar pulang ke sisi-Nya. Lagi dan lagi, halusinasi menghampiri otak ku dengan lancang, dan berhasil membuatku berharap lebih kepadanya.

Memandang poto ku bersamanya, sedikit mengobati rasa rindu ini. Yang mungkin suatu hari aku hanya bisa mengawasi dan melihatnya dari alam yang berbeda.

"Jangan pernah merasa sendiri ketika aku benar-benar pergi. Aku percaya kamu akan sembuh, aku juga percaya bahwa Leo bisa menjagamu dan perasaanmu lebih dari aku menjagamu. Maaf kan aku, Van. Aku hanya bisa berbicara dari sini, biarlah angin dan Allah yang menyampaikan pesanku ini kepadamu."

Tanpa malu, cairan bening sudah menetes hangat di pipi tirusku, rasanya sangat enggan untuk aku mengusapnya, biarlah angin yang membuatnya mengering sendiri.

___________________________________________

Bek lagi, maaf lama up nya😅
Semoga suka, dan jangan lupa tinggalkan jejak disini❤️

Aday

Tomboyish Girl [Proses Penerbitan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang