Empat Puluh Empat

716 32 2
                                    

Leo yang begitu senang mendapat izin untuk menemui calon kekasihnya. Tapi, ia juga takut jika ia harus melakukan kesalahan yang sama. Melupakan Vania meskipun hanya sebentar. Lampu hijau kini sudah ada pada genggaman Leo lagi, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini lagi.

Pintu kamar dimana Vania di rawat pun terbuka lebar, namun penghuni di dalam nya masih asik dengan lamunannya sampai ia tak sadar jika ada seseorang yang masuk dan berdiri tegap di sebelahnya dengan sebuket bunga Lily kesukaan Vania. Seseorang itu adalah Adeleo Orlando.

"Ekhem." Deheman Leo yang megawali sebelum perbincangan sesungguhnya berlangsung.

Namun sayang, deheman yang keras itu tak berhasil membuyarkan lamunan dan imajinasi Vania.

Mau tak mau, Leo langsung mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajah Vania. Seketika, Vania mengedipkan mata pertanda ia kaget akan perlakuan itu.

"Sadar juga akhirnya." Celetuk Leo.

Vania yang merasa tak asing dengan suara itu, suara yang ia rindukan beberapa hari ini, akan tetapi ia kesal dengan orangnya. Entah kenapa, dan entah perasaan ini apa namanya.

"Ngapain lo kesini, hah?" Tanya Vania tanpa menatap ke arah Leo sama sekali.

Leo yang mendapat perlakuan itu hanya bisa mendengus kesal, ia tau jika gadisnya ini masih kesal terhadapnya. Sebisa mungkin Leo meluluhkan kembali hati gadisnya itu.

"Gue kesini kan jengukin lo, Van. Kok malah di judesin sih," kata Leo dengan suara yang sedikit memelasnya itu. "Nih, gue bawain bunga Lily kesukaan lo, kan?" Leo pun meletakkan bunga itu disamping Vania.

Senyuman tipis muncul dari bibir ranum milik Vania, meskipun tanpa melihat ke arah Leo, Leo pun tau bahwa Vania sedang tersenyum. Sedikit menghangat melihat Vania yang seperti ini, sedih juga melihat keadaan Vania yang seperti ini pula.

Hening beberapa menit, tak ada yang ingin memulai obrolan. Dengan gengsi yang besar, akhirnya Vania membuka obrolan.

"Lo tau dari mana kalau gue suka bunga Lily?" Tanya Vania dengan menatap kearah Leo dengan begitu intens.

Leo menatap wajah pucat Vania tak kalah intens, terlihat jelas disana terpancar kesedihan yang mendalam.

"Gue kan tau semua tentang Lo, makanya gue tau," ujar Leo. "Dan oh ya. Gue kesini juga mau minta maaf soal kejadian di pantai waktu itu."

Sambil menggenggam tangan Vania yang terasa sangat dingin itu, seakan Leo tau seberapa sakit yang sedang Vania rasakan kali ini.

"Kok Lo sekarang jadi cenayang sih, Le." Kata Vania dengan diiringi tawanya.

Melihat Vania yang tertawa seperti itu, berhasil menggetarkan hatinya Leo. Dan Leo pun ingin segera memiliki nya, bagaimanapun dan gimanapun itu.

Leo pun mengusap puncak kepala Vania dengan begitu lembut penuh dengan perasaan sayang. Suasana hangat kini menyelimuti ruangan ini. Tapi sayang, waktu mereka berdua kini terganggu oleh kedatangannya seorang dokter yang menggantikan bekerja sama dengan Caraka untuk merawat Vania.

"Maaf, saya ganggu aktivitas kalian. Saya mau cek kondisi Vania dahulu." Ujar dokter itu sembari memasang stetoskopnya.

"Sini aja." Pinta Vania kepada Leo. Seakan Vania tau, kalau Leo ingin keluar sebentar untuk menunggu hasil pemeriksaan.

"Tapi, Lo masih diperiksa, Van. Ga enak kalau gue disini." Bujuk Leo dengan mengusap kepala Vania dengan lembut dan penuh kasih.

Dokter yang menyaksikan adegan itu, seakan tau, apa yang harus beliau lakukan saat ini. Beliau juga tak ingin merusak kebahagiaan mereka.

Tomboyish Girl [Proses Penerbitan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang