Empat Puluh Tiga

1.1K 35 3
                                    

Keluarga Demas sungguh khawatir, mereka mondar-mandir tak karuan didepan pintu UGD hanya menunggu dokter agar segera keluar dari sana. Varo yang tampak marah dengan tangan mengepal sehingga buku jarinya memutih dan gigi-giginya berkeletuk. Ya, Varo akan marah besar jika ini menyangkut dengan nyawa adik satu-satunya itu.

"Leo." Ucap Varo pelan, tapi dengan nada yang begitu menyeramkan, siapapun yang mendengarnya sudah bisa dipastikan akan bergidik ngeri.

Baru Varo berdiri dari tempat duduknya, Dokter dan dua perawat keluar bersaman dari ruang UGD dan mencari keluarga Demas. Mereka pun langsung menghampiri dokter tersebut dengan tergesa-gesa, berharap kabar baik yang akan mereka dengar kali ini.

"Apa benar kalian keluarga dari Dokter Raka, spesialis kanker?" Tanya dokter sambil melepas stetoskopnya.

"Iya, benar. Ada apa ya, Dok?" Dengan penasaran, Demas pun begitu tergesa-gesa untuk mengetahui hasil pemeriksaan Vania saat ini.

Helaan napas panjang berkali-kali yang dilakukan Dokter di depan keluarga Demas ini. Dengan berat hati, akhirnya sang Dokter memberi tahu tentang semuanya.

"Kanker Vania semakin parah, sebaiknya ambil tindakan, jika tidak ingin terjadi apa-apa sama anak perempuan kalian satu-satunya. Dokter Raka pasti tau apa yang terbaik buat adiknya saat ini. Saya permisi." Ucapan yang begitu menohok itu pun akhirnya lolos terucap.

Demas pun dan istri pun langsung ambruk, mereka berdua sungguh tak kuasa menahan kesedihannya. Sebegitu parah penyakit anaknya untuk saat ini. Varo pun langsung menguatkan kedua orang tua untuk saat ini, Varo tak mau jika Vania menjadi kepikiran ketika melihat orang-orang yang dia sayang sedih.

"Ma, Pa, tolong jangan gini, jangan bikin Vania sedih melihat kalian berdua seperti ini, bukan hanya kalian yg sedih, Varo sama bang Raka juga sedih," dorongan semangat dari Varo pun kini berhasil membuat kedua orang tuanya kembali bangkit.

Kedua orang tua yang begitu serasi pun akhirnya bangun dan memeluk Varo begitu erat. Tak segan, Varo membalas pelukan kedua orang tuanya itu.

"Ma, Pa, Varo izin pergi sebentar, ya. Ada urusan yang harus Varo selesaiin." Izin Leo sambil melepas pelukannya.

Sang mama pun menangkap wajah putra keduanya itu dengan tatapan sendu, Varo yang melihat tatapan itu, sungguh sedih, tak tahan, ingin memeluk, semuanya. Varo rapuh ketika melihat keluarganya seperti ini, tapi Varo juga harus selesaiin ini secepatnya.

"Ma, percaya sama Varo deh. Varo gak akan kenapa-kenapa, ini Varo mau ngasih tau teman-temannya Vania, udah itu aja. Varo janji, Ma." Tutur Varo yang berhasil membuat sang mama percaya.

Varo pun meninggalkan kedua orang tuanya yang masih setia di depan UGD. Selama Varo berjalan melewati koridor rumah sakit, Varo pun fokus terhadap ponselnya, seskali ia melihat kedepan.

Dan sampailah ia di parkiran Rumah Sakit, dan diwaktu itu juga ponselnya berdering begitu nyaring pertanda ada telepon masuk, tanpa melihat siapa penelpon tadi, ia langsung menggeser tombol hijau dan menempelkan pada telinga kanannya.

"......."

"Yaudah, Lo ajak ketiga temen cewek adik gue, dan bawa mereka ke rumah sakit, untuk barang-barang yang mereka bawa, angkut sekalian. Gue kesana sekarang." Putus sambungan telepon Leo tanpa menunggu jawaban dari si penelpon.

****

Sedangkan Leo dan yang lain pun kebingungan, mencari keberadaan Vania. Mereka hanya menemukan kupluk yang tergeletak di dekat kedai es krim.

Teriakan demi teriakan mereka lontarkan, tapi hasilnya nihil, tak ada tanda-tanda keberadaan Vania, bahkan setiap orang ditanya pun tak ada yang tau satupun.

Tomboyish Girl [Proses Penerbitan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang