Hari demi hari Vania lewati, tanpa adanya keributan dan kericuhan. Sudah satu bulan Vania meninggalkan sekolah bahkan sekarang rasanya sudah terbiasa bagi Vania.
Dan hampir setiap hari juga, rumah Vania selalu kedatangan teman terdekat Vania. Alasan mereka hanya satu, tak ingin Vania bosan dirumah. Dengan kedatangan mereka terkadang membuat Vania seneng dan kadang malah sebaliknya.
Kini Vania selesai melakukan homeschooling nya, dengan sesegera mungkin Vania merapikan buku-bukunya. Kini Vania bingung harus melakukan apa dirumah, sungguh bosan Vania disini tanpa adanya teman.
Vania memutuskan untuk pergi ke taman belakang hanya sekedar melihat bunga-bunga yang cukup indah baginya.
"Vania," sapa seseorang dari arah belakang Vania dan menghampirinya.
"Mama," kaget Vania dan tersenyum hangat kepada orang yang di panggilnya mama tersebut.
Dewi pun mengelus rambut putrinya dengan sayang, "makan siang dulu ya, mama udah siapin. Oh iya, nanti sore jadwal kamu kemo kan?"
Seketika Vania teringat bahwa sekarang adalah hari ia melakukan kemo untuk yang sekian kalinya. Malas, itulah yang dirasakan Vania saat akan pergi ke rumah sakit. Rasanya percuma tiap saat melakukan kemo kalau yang diatas berkehendak lain, benar bukan?
"Iya, ma. Vania mau nanti kemonya ditemenin sama mama, papa, bang Varo sama bang Raka," lirih Vania. Namun, masih terdengar jelas ditelinga Dewi.
Dewi pun mengangguk antusian mendengar permintaan anak gadisnya ini, "pasti. Sekarang kamu makan siang dulu ya."
Vania mengangguk sebagai jawaban. Dewi pun memberi kecupan sayang dikening Vania sebelum Vania pergi menuju meja makan.
Sepergian Vania, Dewi pun terlihat begitu sedih ketika melihat keadaan Vania yang sekarang. Harus duduk di kursi roda dan rambutnya yang mulai terlihat tipis dan sedikit itu. Andai bisa, Dewi ingin menggantikan posisinya kepada Vania, tapi apa boleh buat? Tuhan lebih sayang kepada Vania sehingga Tuhan memberinya seperti ini.
Sungguh hati Dewi begitu teriris ketika melihat Vania lagi dan lagi terbaring lemah di rumah sakit. Dewi tak mau kehilangan anak gadisnya satu-satunya ini.
Sedangkan Vania, dia tak ingin terpikirkan oleh apapun yang mungkin bisa menyebabkan dirinya kenapa-kenapa dan itu pasti akan membuat keluarganya kelimpungan, ia tak mau itu cukup untuk ini saja.
Jam sungguh begitu lama bagi Vania, ia sungguh bosan dirumah. Ingin sekali ia keluar rumah untuk sekedar jalan-jalan mencari suasana baru, tapi apa daya hanya ada mamanya dirumah, pasti mamanya gak ngebolehin kalau tidak ada cowok yang nemenin. Klise, sungguh klise alasan dari sang mama.
Ponsel Vania pun berdering tanda ada pesan masuk disana, Vania langsung mengambil ponsel tersebut dan membuka pesannya, dam ternyata pesan itu dari sahabatnya, Agnes. Membaca pesan singkat itu, membuat senyuman Vania luntur seketika namun, Vania sadar mereka tidak seperti dirinya yang tanpa adanya tugas setelah sekolah. Ya, Vania sadar akan hal itu.
*****
Kini keadaan kantin yang awalnya ramai mendadak menjadi sepi ketika mendengar suara gebrakan meja yang cukup keras. Tanpa aba-aba seorang cowok pun menggebrak meja yang telah di tempati oleh Leo dan gengnya. Ya, cowok tadi adalah Nevan.
Leo yang mendengar gebrakan di mejanya pun hanya tersenyum miring, bagi Leo, Nevan gak ada apa-apanya, hanya cowok lemah yang selalu di dampingi oleh orang tuanya ketika kemana-kemana.
Nevan yang merasa tak di gubris dari gebrakannya pun langsung menarik krah baju Leo sehingga sang empunya pun berdiri dan menatap Nevan dengan tatapan membunuh. Sungguh kehadiran Nevan kali ini membuat Leo naik darah, kehadiran Nevan selalu membuat onar bersama Leo dan berujung Nevan lah yang akan babak belur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomboyish Girl [Proses Penerbitan]
Teen Fiction[Revisi jika sudah tamat] Pada dasarnya kita hadir sebagai utusan Tuhan dengan segala skenario yang telah di atur. Untuk menolak saja itu tak akan bisa karena kita hanyalah manusia biasa. Seperti sekarang, dua insan yang telah di uji kesabarannya me...