Setelah Raphael pergi, Livia langsung melepas ketakutannya. Ia mendesah berulang kali,
"Aku pikir aku hampir mati. Untung saja aku pintar."
Robinson melongo sebentar dan tertawa. Ternyata Livia tidak selemah yang ia perkirakan. Wanita itu sangat cerdik dan mampu menghadapi Duke mereka. Meski ia juga yakin Raphael akan menghukum mereka berdua.
Livia menatapnya bingung. "Ada yang salah Robinson?"
Robinson menggeleng. Lama tertawa ia berdehem dan membantu Livia berdiri. "Tidak. Anda sangat berani dan pandai. Tapi lain kali, jangan melepaskan infus anda tiba-tiba."
Gadis itu menyengir, "Benarkah? Yah, sebenarnya itu juga karena Raphael terpancing rencanaku saja. Aku takut dia terlalu pintar untuk berkata 'tidak'."
Robinson tersenyum lemah, "Tapi anda harus tinggal disini. Itu tidak adil menurut saya."
Livia berputar-putar di ruangan itu.
Ia berhenti berputar dan memasang wajah serius. "Aku ingin mendengar cerita lanjutanmu tentang Penelope."
Robinson mengangguk. Toh Livia sudah tahu, jadi ia cerita saja. Ia mengajak Livia duduk di pinggir ranjang. Matanya menatap jauh ke luar. "7 tahun lalu, Duke kami tidak seperti ini. Ia periang, pengertian dan tidak mudah marah. Ia bagai sinar matahari."
Livia tampak tidak percaya. Mana mungkin orang kasar yang tadi ia temui dulunya seperti itu ? tapi ia diam saja.
"Tapi semua berubah sejak ia mengenal Penelope de Cruella. Wanita itu berasal dari Skotlandia. Ia berhati dingin dan bagaikan rubah licik. Tapi Duke kami tidak bisa melihat sifat aslinya, ia terlalu jatuh cinta pada Penelope. Rachel, Miss Standord, adiknya, bisa melihatnya. Ia mencoba memberitahu kakaknya, tapi Raphael tak mendengar dan bahkan ingin menikah dengan Penelope secepatnya. Ia mencoba memberitahu Leon, Earl of Lockham yang merupakan kekasih sekaligus sahabat sang Duke. Tapi Raphael tetap tak percaya."
Robinson menarik nafas sebelum melanjutkan lagi, "Hingga suatu hari, Penelope pergi, tepat di hari pernikahan. Ia meninggalkan selembar surat yang mengatakan bahwa ia tak bisa melanjutkan ini semua karena ia tak siap dan karna ia mencintai Leon.
Tentu saja itu fitnah. Raphael meninju Leon berkali-kali saat mereka bertemu. Miss Standford melerai dan majikan kami menjelaskan alasannya. Miss Rachel sangat terluka dan memutuskan mengakhiri hubungannya."
Livia menggelengkan kepalanya tak percaya. Wanita mana yang tega berbuat seperti itu? Apakah dia tak punya hati sama sekali?
"Lalu, para pembantu yang kasihan melihat Lady menangis tiap hari, mengatakan bahwa Earl dijebak. Hingga kini, mereka masih bersama meski harus bersembunyi."
Livia mengernyit bingung, "Lalu, dimana dia sekarang?"
"Di tempat Earl. Mereka sudah ingin menikah, namun Raphael takkan pernah mengijinkannya."
Livia tampak terkejut luar biasa, "Tapi itu dosa! Hanya karena diri sendiri tidak bahagia, bukan berarti orang lain harus merasakan penderitaan juga! Itu sangat tidak adil!"
Robinson mengangkat bahunya lemah, "Yah, tapi itu yang sebenarnya. Berhubung anda sudah bangun, anda ingin makan apa?"
Livia menggembungkan pipinya ke kiri dan ke kanan sebelum tersenyum lebar, "Yah, kurasa aku sanggup menghabiskan makanan sebanyak apapun."
Robinson mengangguk hormat, "Tolong tunggu sebentar."
***
Livia selesai berganti baju dengan rok katun selutut dan baju lengan panjang hijaunya. Rambutnya ia kepang jadi satu dan ia lilitkan di kepala lalu ditahan penjepit rambut. Ia sedang memasukkan bajunya ke lemari saat mendengar suara nampan yang jatuh berturut-turut. Menengok ke samping, ia melihat sekitar 10 pelayan menatapnya takut. Otaknya berpikir cepat. Pasti mereka mengira ia Penelope.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)
Historical FictionLivia Larodi, si bungsu dan wanita satu-satunya dalam keluarga, pergi ke Inggris untuk membuktikan pada kedua saudaranya bahwa ia mampu mandiri tanpa mereka. Sayangnya, di perjalanan ia kehilangan semua barangnya. Keesokan harinya, ia menemukan diri...