22. BEGINNING

19.9K 1.7K 22
                                    

Sepanjang perjalanan pulang dari bandara, terjadi keheningan yang menyesakkan di antara Raphael dan Livia. Raphael menatap lurus ke jalanan di London sementara Livia menyandarkan kepala di kaca saat kedua tangannya memegang erat sabuk pengaman.

Livia bingung harus mengucapkan apa setelah salam perpisahan unik dari Antonio. Seluruh bandara mendengarnya dan bahkan saat mereka pulang tadi, pegawai menunjuknya geli.

Kalau Antonio mengatakannya saat tak di tempat ramai atau hanya ada mereka saja, Livia mungkin akan melemparkan benda pertama yang bisa ia raih.

Tapi sayangnya Antonio memilih waktu dan tempat yang pintar, membuat Livia hanya bisa merutuki kebodohan kakaknya.

Wanita itu menggerakkan sedikit kepalanya saat menatap Raphael dan wajahnya tampak mengerut sebelum ia kembali menatap ke jalanan.

Raphael diam-diam melirik gerakan itu sambil tersenyum. Ia tahu Livia pasti merasa canggung setelah kepergian kakaknya dan wanita itu menangis di depannya, untuk pertama kalinya.

Jadi kalau saat ini Livia gelisah dan sikapnya berubah uring-uringan, Raphael memahaminya. Terlebih kedekatan yang sangat jelas, meski hanya sedetik, saat Raphael menghapus airmatanya.

Punggung tangan lelaki itu mengusap lembut pipinya. Gerakan yang wajar sebenarnya, tapi ada sensasi lain. Getaran lembut yang menderanya saat kulit mereka saling bersentuhan. Rasa yang Raphael yakini sudah mati, ternyata masih ada.

Livia memutar matanya dan akhirnya memutuskan memulai pembicaraan, apapun.  "Apa kau tahu kalau Nath memiliki putri?"

Raphael menatap terkejut sebelum menggeleng. "Tidak, aku tak tahu."

"Namanya Ione. Dia memiliki rambut hitam tebal dengan mata bulat, mewarisi Nath."

"Apa kakakmu tahu kalau Nath memiliki putri?"

Raphael membelokkan mobilnya ke kiri dengan sebelah tangan saat ia menatap Livia. Wanita ituterdiam lama sebelum mengangkat bahunya. "Aku tak tahu. Aku juga baru tahu Nath memiliki anak saat mengantar Evelyn. Nath seorang ibu rumah tangga yang multi-tasking."

"Dan kakakmu tergila-gila padanya," timpal Raphael.

"Tentu saja. Nath cantik, dewasa dan ia memiliki lekuk tubuh yang menarik. Semua pria menyukainya."

"Tidak semua."

"Huh? Maaf?" Livia menatap ke arahnya bingung.

Lampu lalu lintas berhenti di warna merah dan Raphael mengambil kesempatan untuk menatap wajah Livia. "Tidak semua lelaki menginginkan Nath, aku dan Antonio buktinya."

Livia tersenyum lebar. "Itu karna Antonio tahu saat Michael melempar panah, Antonio harus mundur. Dan kau.." Livia sengaja melambatkan suaranya, "..kau kan hanya mencintai satu wanita saja."

Raphael menjawab cepat bahkan sebelum otaknya bisa merangkai kalimat. "Aku tak tahu soal itu. Aku meragukannya."

Saat pertanyaan itu terlontar, baik Raphael dan Livia sama-sama terkejut. Suasana kembali menggantung di sekitar mereka namun dengan atmosfir berbeda.

Apa yang terjadi di malam pertama mereka, kembali terjadi hari ini. Jemari Raphael terangkat naik dan ia hampir, hampir saja menyentuh pipi Livia saat terdengar bunyi klakson panjang.

Raphael berdehem dan menyadari lampu berwarna hijau sebelum ia melajukan mobilnya. Livia mengedipkan bulu matanya, memutar bola matanya cepat sementara detak jantungnya bertalu tak teratur sewaktu ia kembali menatap ke jalan.

Raphael menyadari keterikatan di antara mereka. Ia tak akan salah mengenalinya, ia tahu tanda-tanda itu. Tapi ia tak bisa mengatakannya pada Livia. Dan hal itu tak mungkin, karna ia hanya mengenali reaksi ini kepada Penelope.

Sementara Livia menarik nafas cepat. Dan otaknya berputar keras, bingung memahami situasi. Sedetik lalu Livia seperti merasakan medan magnet di sekitarnya. Tapi tadi menguap seakan tak ada yang terjadi.

Apa itu...? Apa barusan..?

Livia dan Raphael sama-sama memilih diam, tak ada yang berbicara satu sama lain. Mereka hanya bergerak seperlunya. Ketegangan yang ada saat ini terasa menyesakkan, tapi mereka tak ingin menyelesaikannya.

Rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan, dan terlalu manis untuk diabaikan. Mobil hitam itu kembali berhenti saat di persimpangan lampu merah. Livia melirik Raphael dari sudut matanya sementara lelaki itu bernafas gugup.

Livia menyipitkan matanya ke satu titik yang jauh di depan. Dan ia membuka mulutnya sebelum menarik kaos lengan lelaki itu.

"Raph! Raph!" serunya nyaring dengan senyum merekah.

"Apa?"

"Salju! Ada salju di London!" jawabnya sambil membuka kaca jendela dan menjulurkan tangan.

Raphael menundukkan sedikit kepala sewaktu menatap dari balik kaca mobil. Butiran lembut yang kecil dan berwarna putih itu terjatuh perlahan. "Kau benar. Salju pertama yang kita lihat "

Livia menyengir semakin lebar, menampilkan deretan giginya sewaktu menatap Raphael dan tanpa sadar ia mengangguk setuju. "Kau benar. Aku tak sabar pulang ke rumah kita."

Livia menyadari implikasi kata-katanya karna Raphael kembali berdehem dan mengedipkan bulu mata beberapa kali.

"Itu rumahku Livia, bukan rumahmu."

Nada yang biasanya Raphael pakai, setingkat lebih tinggi dari seharusnya sehingga membuat Livia berpikir lelaki itu membenci kata kita.

Wajah Livia yang tadinya cerah kembali gelap dan ia menunduk dengan tatapan menyesal saat matanya memandang kembali ke arah salju. "Kau benar. Itu rumahmu. Maafkan aku."

Raphael hendak mengatakan kata 'maaf' saat ia melihat lampu kembali berubah hijau. Ia menatap wajah murung Livia dan memutuskan akan meminta maaf saat mereka di rumah.

Menginjak pedal gas, mobil hitam itu kembali maju di padatnya jalan London. Dan kali ini, tak ada lagi lirikan tersembunyi.

________________________________

Suka cerita ini?

Tunjukkan apresiasi dan dukungan kalian ke authornya dengan cara ⬇️⬇️⬇️

Ikuti akun FoxyRibbit

Ketik komentar

Vote cerita ini

Follow akun IGnya di Livia_92 dan FoxyRibbit

Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang