Raphael terbangun lebih dulu pagi itu saat merasakan sebuah tangan berada di dadanya. Ia mengerutkan dahi dan menatap ke samping, menemukan Livia yang tengah tertidur bersamanya, dengan pakaian lengkap.
Ia ingat kemarin setelah ia meminta Livia menciumnya, Raphael membawa mereka ke ranjangnya dan memeluk badan wanita itu dari belakang. Lalu Livia jatuh tertidur dan Raphael ikut tertidur di sampingnya.
Lelaki itu tersenyum lebar, menatap wajah Livia yang tertidur. Dengan kuku jarinya, Raphael menelusuri bentuk wajah Livia sementara tangan wanita itu masih ada di dadanya.
Kuku Raphael bergerak membentuk lingkaran di pipi Livia, turun terus ke dagu, lalu kembali naik ke bibirnya yang tampak sedikit terbuka. Raphael mencubit pelan bibir merah itu, sementara Livia mulai tampak terganggu.
"Eengg!" tepis Livia kesal dalam tidurnya sebelum ia menghembuskan nafas lagi dan membalikkan punggung.
Bergerak cepat, Raphael melompati sisi kasur lainnya saat kakinya mendarat di lantai. Ia menekuk lututnya saat punggungnya membungkuk sementara kedua tangannya saling menopang dagu sewaktu matanya menatap Livia.
Raphael menghembuskan nafasnya ke arah wajah Livia. Wanita itu menggerutu lagi. Sementara Raphael malah terkekeh bisa menjahili Livia.
Sekejap, muncul pemikiran lain dalam dirinya. Andai ia bertemu Livia lebih dulu, apakah ia akan sebahagia ini? Andai hatinya tidak hancur karna Penelope, bisakah ia mencintai Livia? Apa yang akan terjadi pada Raphael, andai ia lebih dulu mengenal Livia? Ia ingin tahu jawabannya.
Merasa bosan karna Livia tak kunjung bangun dan mengingat ia masih harus memberi perintah lainnya, Raphael menegakkan punggungnya dan berjalan ke kamar mandi.
Ia menyedok air dengan kedua tangannya, membawanya dengan cepat ke arah Livia dan menuangkan air yang cukup banyak tepat di atas wajah wanita itu.
"Pruttt! Astaga, apa itu?" tanya Livia kaget karna dibangunkan tiba-tiba.
Raphael buru-buru memasang wajah polos. "Air. Aku membangunkanmu dengan air."
Livia menatapnya kesal. "Ya ampun Raph, kalau kau pikir cara itu romantis kau salah. Bagaimana kalau ada air yang masuk ke kupingku?"
Lelaki itu tampak tak bersalah dan ia malah mengangkat bahunya santai. "Aku akan mengeluarkannya untukmu. Yang paling penting Livia, kau tidur di kamarku, lagi, dan kita tidur bersama, lagi."
Dampak dari kata-kata Raphael adalah balasan Livia yang tercekat dan wanita itu menatap bajunya, baju yang kemarin masih ia pakai. Livia langsung menapakkan kakinya di lantai, tapi itu kesalahan.
Dia baru bangun, dan karna jarak Raphael dari tepi kasur cukup dekat, sehingga membuat celah bagi Livia untuk berdiri tegak hampir seratus persen mustahil, yang terjadi adalah badan Livia condong ke depan dan kepalanya tepat mengenai dada lelaki itu.
Raphael refleks meremas bahunya, sementara kedua tangan Livia terentang lebar di dadanya. "Uups!"
"Kau jatuh lagi di pelukanku. Seriously Livia, you just have to ask and im willing hug you all time."
Bibir Livia bergetar marah. Mereka berdua tahu itu kecelakaan, murni ketidaksengajaan tapi Raphael memang pandai memutar balikkan perkataan Livia. Dan sudahkah ia mengatakan bahwa Livia sangat benci saat lelaki itu menaikkan sebelah alisnya?
"Kau tahu itu tak benar," sanggahnya.
"But you like when im do this right?" tanya Raphael balik dengan senyum andalannya.
"Oh gross! Entah bagaimana aku lupa kau dan alis menyebalkanmu itu."
"Tsk..tsk..tsk.. Hati-hati Mrs. Standford, perkataanmu itu bisa membuatmu dalam masalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)
Historical FictionLivia Larodi, si bungsu dan wanita satu-satunya dalam keluarga, pergi ke Inggris untuk membuktikan pada kedua saudaranya bahwa ia mampu mandiri tanpa mereka. Sayangnya, di perjalanan ia kehilangan semua barangnya. Keesokan harinya, ia menemukan diri...