15. TROUBLE

22.2K 2.3K 32
                                    

Raphael menutup jarak pandangnya sendiri dengan merentangkan lebar-lebar koran paginya. Ini baru hari pertama kedua kakak Livia disini, tapi mereka menganggap bahwa ini rumah mereka sendiri.

Livia tengah di dapur sejak tadi, sibuk membuat sesuatu. Raphael tak tahu kalau gadis itu bisa memasak. Mengingatkannya bahwa ia hampir tak tahu apapun tentang Livia.

Kebalikkannya dengan Leon, yang mengetahui apapun. Dia mengaku bahwa setiap kali Michael menemuinya, atau sebaliknya, selalu terselip nama Livia disana.

Apa yang ia suka, apa yang tak ia suka, hobinya, makanan favoritnya atau apa ia memiliki alergi atau tidak.

Raphael tahu, seharusnya, ia bersikap gentleman dengan bertanya pada Livia kehidupan gadis itu. Tapi ia merasa itu tak perlu.

Ia hanya bisa mencintai Penelope, saat wanita itu pergi, Raphael kehilangan sebelah hatinya. Ia tak bisa memiliki perasaan cinta untuk orang lain.

Ohya, dia masih mampu tidur dengan beberapa wanita, perangkatnya bekerja dengan sangat baik terakhir kali ia ingat. Tapi hanya sex. Selalu sex sejak Penelope pergi.

Kehadiran Livia tak membangkitkan gairahnya, yang mana mulai ia curigai, entah memang gadis itu tak memiliki daya tarik sensual, atau usia mulai memakan hormon Raphael?

Apalagi wajah gadis itu sangat mirip Penelope, hanya berbeda di rambut dan warna mata. Selebihnya, they're like twin.

Ia menutup korannya saat melihat sosok Livia dari sudut matanya. Gadis itu keluar membawa nampan dan menaruh di dekatnya.

Livia tersenyum kikuk saat Raphael menatap hidangan di depannya. Banyak butiran beras berwarna putih kecoklatan, dengan wangi pandan membentuk gunung.

Terdapat juga irisan tomat, ayam panggang dan potongan telur yang diatur sedemikan rupa. Di piring kecilnya, yang ditaruh di dekat ayam, terdapat cabai yang sudah di gerus.

"Apa ini?" tanyanya bingung sambil mendongak menatap Livia.

"Nasi uduk."

"What?"

Livia menutupi senyumnya dengan tangan dan menunjuk ke arah hidangan itu. "Aku ingin membuat bacon dan roti panggang atau sandwich. Tapi aku tak menemukan rotinya."

"Jadi kau membuat ini?" tanya Raphael dan gadis itu mengangguk kikuk.

Antonio baru kembali dari depan saat selesai berolahraga. Ia menghirup aroma nasi uduk dan berjalan mendekati meja makan.

"Woah! Nasi uduk buatanmu ya? Lama sekali aku tak memakannya." Ia mengambil kursi di depan Raphael.

Livia terkekeh geli, "Salahmu. Kenapa kau sibuk membanting anak buahmu sendiri tiap hari?"

Antonio menatap adiknya santai. "Livia, anak buahku harus selalu terlatih dan sigap. Mereka harus yang terbaik di bidangnya."

"Jadi itu sebabnya kau barusan melawan semua anak buahmu seorang diri?" sindir Michael yang entah sejak kapan ada di belakang Livia.

Ia mencium pipi Livia lembut dan mengambil kursi di samping Raphael.

Raphael menatap lelaki itu dingin. "Kenapa kau duduk disini?"

"Apa bangku ini ada pemiliknya?" tanya Michael tenang.

Livia melihat aura gelap dari Raphael dan ia buru-buru berdehem. "Akan ku bawakan nasinya."

"Kau disini saja!" serentak mereka ber3 berbarengan, yang membuat Livia berubah menjadi patung dalam sekejap.

Sophie, wanita tua yang sangat baik hati, akhirnya, membawa keluar makanan. Ketiga lelaki itu meminum kopinya, sementara Livia masih berdiri di tempat yang sama.

Raphael mengaduk makanannya sangsi. Ia menatap ke arah Larodi bersaudara, yang berebut mengambil nasi uduk itu.

Ia melirik ke Livia, yang menatap dengan tatapan menunggu. Lalu mencoba memakannya.

Livia melebarkan mata, menundukkan kepala dan menahan nafasnya. Raphael mengunyahnya, tampak mengangguk lalu sadar bahwa ia tengah diperhatikan.

"Apa?"

"Rasanya enak?" bisik gadis itu pelan. "Atau tak sesuai seleramu?"

Raphael menggeleng. "Ini enak. Tapi lidahku belum terbiasa. Aku tak tahu kalau kau bisa memasak."

"Aku suka memasak kok."

Raphael menyadari bahwa Livia, tak pernah benar-benar mirip Penelope, saat ia memperhatikan lebih seksama.

Bulu mata Penelope lentik, Livia tidak terlalu. Alis Penelope merah tapi alis Livia hitam dan tumbuh tak teratur. Wajah Penelope berbentuk hati sementara Livia oval.

Hidung Penelope sedikit bengkok sementara Livia mancung. Dan bibirnya, bibir Penelope cukup tebal sementara bibir Livia sedikit tipis namun tampak ranum.

Raphael tanpa sadar mengulurkan tangannya ke rahang gadis itu, melebarkan jarinya hingga menyentuh pipi lembut Livia, membuat mata Livia melebar. Ia melupakan keberadaan Larodi lainnya, hanya Larodi ini yang ia lihat.

Mata mereka saling melihat ke dalam satu sama lain. Mata Livia yang kaget diwarnai kebingungan, berpadu dengan mata hijau Raphael, yang tak terbaca.

Lalu...

Ciuman itu terjadi begitu saja. Pasti Raphael yang menarik kepalanya turun, atau Livia yang memajukan wajahnya. Dia tak tahu, mereka tak tahu. Tapi secepat ciuman itu terjadi, secepat itulah interaksi diantara mereka berakhir.

Livia menelan ludah, menjilat bibirnya sendiri yang terasa kering. "Ap...apa yang..apa...?"

Raphael mendapati gagap gadis itu terasa lucu dan ia tersenyum lembut. "Bicaralah 1 kata utuh Livia."

"Kau...aku..kita..." gadis itu masih tergagap, jelas keterkejutannya belum pulih.

Raphael semakin tersenyum lebar. "Aku hanya membagi rasa masakanmu. Apa itu salah?"

Livia tak menjawab, bukan. Tepatnya ia tak mampu menjawab. Lidahnya kelu dan otaknya berhenti berputar.

Alarm peringatan dalam dirinya berdering keras. Ia tahu, entah bagaimana, ia sudah jatuh cinta pada Raphael.

_________________________________

Suka cerita ini?

Tunjukkan apresiasi dan dukungan kalian ke authornya dengan cara ⬇️⬇️⬇️

Ikuti akun FoxyRibbit

Ketik komentar

Vote cerita ini

Follow akun IGnya di Livia_92 dan FoxyRibbit

Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang