20 tahun lalu...
London, Inggris...
Gadis kecil itu menatap bosan ke arah pastur yang tengah memberikan ceramah dan doanya. Mata bulatnya menengok ke sisi kiri, tempat dimana ayah dan ibunya tampak mendengarkan dengan serius.
2 lelaki di sampingnya pun sibuk menatap pastor yang kini tengah melambaikan tangan ke atas, berseru keras.
Dia bosan, luar biasa bosan. Bukannya dia atheis atau berkeyakinan lain, tapi dia baru 5 tahun dan dia kemari untuk berlibur.
"Kalau memang mau ke gereja, kan bisa di mana saja, bukan disini," gerutunya pelan.
Gadis cilik itu tersenyum lebar, saat memikirkan sebuah ide. Kalau ia hanya pergi sebentar, kedua orangtuanya mungkin tak akan curiga.
Lagipula, ini pertama kalinya ia kemari kan? Dan harusnya ia bersenang-senang.
Berpikiran seperti itu, dia menunggu saat pastur meminta mereka berdiri, dan berdoa. Lalu, ia menjejakkan kaki bersepatu pink pitanya di lantai, mengendap-ngendap sebelum membuka pelan pintu samping dan pergi.
Gadis cilik itu tersenyum lebar, dan semakin lebar saat ia menengok ke belakang, untuk memastikan tak ada satu pun yang melihat ia pergi.
Ia berjingkrakan di tanah berumput sebelum mengepalkan kedua tangannya ke udara, bersorak gembira dan pergi berlari membuat lingkaran.
Gadis itu tersandung kakinya sendiri, lututnya mencium tanah.
"Auw!" rintihnya, tapi tak menangis. Ia hanya tertawa ceria sebelum kembali bangkit dan menepuk-nepuk noda di bajunya.
***
Anak muda itu tampak menunggu di balik pagar dengan tak sabar. Ia menengok ke arah belakang terus menerus sambil sesekali menatap jamnya tak sabar.
Wajahnya tampak kesal sementara desahan nafasnya semakin tak sabar setiap tarikan.
"Kenapa dia lama sekali? Bukannya dia bilang akan keluar 10 menit lagi?" gerutunya sambil menggaruk rambutnya yang tak gatal.
Anak muda itu bersiap pergi saat sesosok tubuh terjatuh di dekat kakinya. Ia mengerjapkan mata lalu buru-buru membantu orang itu.
"Kau tak apa?" tanyanya lembut sambil mengulurkan saputangan putihnya ke wajah si anak kecil.
"Eum!" Ia menatap orang di depannya, "Terima kasih. Apa yang kau lakukan disini?"
Anak muda itu mengulum senyumnya. "Aku menunggu seseorang, tapi sepertinya dia lupa kami memiliki janji. Kau sendiri, apa yang kau lakukan disini anak kecil?"
Gadis kecil itu merengutkan bibirnya. "Aku bukan anak kecil! Aku sudah dewasa!"
"Ohya?" tanyanya pura-pura terkejut. "Berapa umurmu memangnya?"
"5 tahun!" jawabnya bangga. "Kau?"
"Aku? 10 tahun."
Anak itu terdiam lama lalu mengangguk. "Berarti kau juga sudah dewasa. Kenapa kau sendirian?"
"Kau sendiri kenapa?" tanya anak muda itu pada si gadis cilik.
Si gadis cilik menendang kerikil di depannya dengan ujung sepatu. "Aku bosan di dalam. Pastur itu ceramahnya panjang sekali. Aku tak tahan."
"Ah, jadi kau kabur," ucap si anak muda sambil terkikik geli.
Gadis cilik itu menggembungkan pipinya kesal. "Coba saja kalau kau yang disana, mungkin kau akan kabur," tantangnya.
Anak muda itu tertawa keras. Semenit yang lalu dia merasa kesal karna Dee, gadis yang harusnya bertemu dengannya, tak datang juga meski sudah setengah jam ia menunggu.
Dee mungkin mempermainkannya atau sengaja melupakannya. Tapi kini, kehadiran si gadis cilik sepertinya cukup menghibur. Dia baru berumur 5 tahun tapi sikapnya sangat bossy. Dan itu cukup lucu.
"Kau mau eskrim?" tawar si anak kepadanya.
Gadis cilik itu menatap ke arah depan, ke toko eskrim yang ada di sebrang mereka dan mengangguk. "Aku mau vanilla!"
"Bukan strawberry?" tanyanya jail.
"Aku maunya vanilla. Strawberry asam."
Anak muda itu tersenyum sebelum berjalan ke depan, sementara si gadis cilik menatapnya, tepatnya menatap eskrim, tak sabar.
Anak muda itu kembali dengan 2 cone eskrim di tangannya. Ia memberikan yang putih untuk si gadis cilik sementara untuknya yang berwarna hijau.
"Apa itu rasanya?" tanyanya penasaran.
Anak muda itu menjilatnya dengan penuh semangat saat sensasi dingin membasahi lidahnya. "Rasa green tea. Enak sekali, mau coba?"
Gadis cilik itu menggeleng tapi ia melihat setiap jilatan anak lelaki itu.
Tanpa ia ketahui anak lelaki itu dengan sengaja, mengusilinya, menggodanya dan ber 'ehmm' seakan makanan itu paling enak di dunia.Saat gadis cilik itu menjilat eskrim hijau miliknya, ia ber 'huek' dan si anak lelaki terbahak-bahak.
"Kau menipuku," tuduhnya kesal. Sementara si anak lelaki tetap tertawa puas. Ia terengah-engah, menarik nafas dalam lalu menatap tak bersalah.
"Aku kan menyukai rasa eskrim ini, jadi kalau kubilang enak aku tak bohong," elaknya.
Gadis cilik itu memberengut lalu memakan eskrimnya. Anak lelaki itu berjongkok, dan menatapnya lurus.
"Kau masih marah? Mau ku belikan eskrim lagi besok?"
"Tapi aku harus kembali malam ini," renungnya sedih.
"Baiklah begini saja. Saat kita bertemu lagi, aku akan membelikanmu eskrim vanilla sebanyak apapun."
Gadis cilik itu menatapnya bingung. "Kau tidak sedang merayuku kan?"
"Hah?" tanya si lelaki tak percaya.
Gadis cilik itu mengangguk kuat. "Heem! Di film kan seperti itu, si lelaki menyukai si wanita dan ia merayu wanita itu."
Anak lelaki itu tertawa lagi, jauh lebih keras. Astaga, anak ini benar-benar menyenangkan. Dan itu malah membuatnya, ingin menggodanya lagi.
"Benar! Aku jatuh cinta padamu."
"Tapi aku tidak. Aku menyukai eskrim."
Anak lelaki itu menahan senyumnya. "Baiklah. Akan kubuat kau lebih menyukaiku dibandingkan eskrim."
"Kau harus berjuang keras," ucapnya sungguh-sungguh. Tak tahu kalau ia sedang dijahili, lagi.
Anak lelaki itu menggigit bibir dalamnya. "Oke. Saat kau sudah semakin dewasa, datanglah kemari. Aku, akan membuatmu jatuh cinta padamu."
Gadis cilik itu tertawa geli. "Percaya diri sekali. Siapa namamu?"
"Raphael. Kau?"
"Livia. Livia Larodi."
Livia menawarkan jari kelingkingnya ke Raphael dan lelaki itu mengaitkannya. "Kita berjanji."
________________________________
Suka cerita ini?
Tunjukkan apresiasi dan dukungan kalian ke authornya dengan cara ⬇️⬇️⬇️
Ikuti akun FoxyRibbit
Ketik komentar
Vote cerita ini
Follow akun IGnya di Livia_92 dan FoxyRibbit
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)
Historical FictionLivia Larodi, si bungsu dan wanita satu-satunya dalam keluarga, pergi ke Inggris untuk membuktikan pada kedua saudaranya bahwa ia mampu mandiri tanpa mereka. Sayangnya, di perjalanan ia kehilangan semua barangnya. Keesokan harinya, ia menemukan diri...