Nafas Livia tampak tak teratur sementara kepalanya bergerak ke kiri dan kanan dengan liar. Badannya yang berada di balik selimut ikut bergerak resah. Jarinya mencengkram tepi selimut saat titik keringat berkumpul di wajahnya.
"Tidak..tidak..." igaunya dalam
mimpi saat mulutnya meracau tak jelas.Dolphie, yang sedang tertidur dengan posisi kedua kaki depannya tertekuk dan menopang wajahnya, terbangun saat menyadari suara Livia.
Anjing itu menggonggong, naik ke kasur dengan indah dan menatap Livia yang resah. Ia mengibaskan ekornya saat Livia tampak bernafas dengan susah payah.
Dolphie bukan hanya anjing peliharaan semata. Ia sudah dilatih oleh kedua lelaki Larodi bersaudara, kapan saja Livia mengalami mimpi buruk, Livia harus memeluk bantal awan buatan ibu mereka.
Sayangnya, saat ini bantal awan itu tak memiliki pengaruh apapun meski ada di sampingnya. Terbukti saat Livia justru malah terlihat semakin panik dan ia menangis dalam mimpi sementara kedua tangannya menggapai ke atas.
"Mama... Papa..."
Dolphie menggonggong lagi sebelum ia turun dan menuju kerah pintu. Anjing itu meregangkan tubuhnya sejauh yang ia bisa dan berjinjit dengan susah payah sambil menaruh kedua tangannya di kenop pintu.
Dolphie memutarnya dan menarik pintu lebih lebar sebelum melesat berlari ke bawah. Ia tiba di kamar Raphael dan menyalak cukup keras hingga membangunkan Salk.
Salk ikut mengonggong dan Dolphie mendenger rentetan umpatan cepat sebelum pintu dibuka.
Raphael menatap anjing terrier itu dingin, marah karna waktu tidurnya diganggu. "Dolphie? Berbaik hatilah. Aku sedang tidur."
Anjing itu menggigit ujung celana piyamanya. Raphael menggeleng, berpikir kalau Dolphie ingin mengajaknya main.
"Ini baru jam empat pagi. Kau akan membangunkan semua orang," ucapnya dengan nada yang tak bisa dibantah.
Dolphie semakin keras menggigit kain itu. Raphael mengerutkan dahinya, saat tampaknya anjing itu memiliki tujuan lain. Ia menatap waspada. "Dimana Livia?"
Dolphie menggongong dan seketika Raphael tahu ada yang tak benar, ada yang salah. Jadi ia melesat, menaiki tangga secepatnya dan matanya membelalak melihat pintu kamar Livia yang terbuka.
Tapi saat ia melangkah di depan pintu dan kakinya masuk ke dalam kamar untuk menyalakan lampu, ia sadar Livia masih disana. Dan itu membuat ia merasakan kelegaan yang luar biasa, selama hanya sedetik.
Karna kali berikutnya ia mendengar rengekan tertahan dari Livia dan tangan wanita itu masih menggapai ke atas, seakan mencoba memeluk udara. Raphael mendekatinya, ia menekuk sebelah lututnya saat duduk di tepi kasur, melihat Livia yang menangis dalam tidurnya.
"Jadi ini alasan Dolphie." Raphael memutuskan berbaring di sisi Livia dan menarik turun kedua tangan wanita itu. Dalam diam, ia memutar tubuhnya menyamping dan sebelah lengannya menyelusup masuk ke leher Livia, menaruh kepala wanita itu di lengannya.
Refleks Livia berbalik ke arahnya meski ia masih terisak. Raphael mengelus punggungnya dengan irama pelan dan teratur. "Psst...tenang Livia tenang.."
Detik demi detik berlalu, isakan Livia perlahan berkurang dan nafas wanita itu kembali normal. Raphael menatapnya dari atas puncak rambut Livia dan menyipitkan matanya saat Dolphie kembali ke kamar Livia.
"Lain kali, panggil aku lebih cepat saat dia mulai mengigau, paham?"
Dolphie mengaing lemah, seakan mengiyakan. Ia menatap Livia yang tampak tenang sementara lelaki itu bertahan disampingnya, dalam diam. Sebenarnya berapa malam yang sering Livia lewati? Sendirian, menghadapi mimpi buruknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)
Historical FictionLivia Larodi, si bungsu dan wanita satu-satunya dalam keluarga, pergi ke Inggris untuk membuktikan pada kedua saudaranya bahwa ia mampu mandiri tanpa mereka. Sayangnya, di perjalanan ia kehilangan semua barangnya. Keesokan harinya, ia menemukan diri...