Livia penasaran seberapa mirip dirinya dengan Penelope. Gadis itu menatap wajahnya sendiri di cermin. Apa benar, wajah Penelope sepertinya?
Jemari Livia mengetuk-ngetuk di atas meja, tatapannya melamun ke arah luar. Kalau ia bertanya seperti apa Penelope, apakah Raphael akan mengijinkan Livia melihat fotonya?
Tapi menilai sikap lelaki itu kemarin, sepertinya mustahil. Mendesah, Livia berjalan keluar kamar, dan langsung menabrak seseorang.
"Uupps!" serunya kecil sambil memegangi kardus yang dibawa Sophie. Ia mengenggam erat tepi kardus dan mendekap di dadanya.
"Ini cukup berat Sophie, kenapa tak ada yang mau membantumu?"
Wanita paruh baya itu melihat ke arah sekitar dan menggeleng. "Tak ada yang bangun sepagi ini." Ia berniat mengambil lagi kardus itu saat Livia menahannya.
"Berikan padaku Soph. Aku akan menaruhnya di gudang."
Wajah Sophie terkejut dan ia menggelengkan kepala lebih keras. "Jangan. Anda akan menjadi Duchess sebentar lagi."
Livia mencibir geli. "Aku tak peduli dengan gelar tersebut. Berikan padaku Sophie."
"Tidak nona, aku saja. Sungguh." ujar Sophie bersikeras.
"Tidak. Aku saja, aku bisa Sophie dan aku lebih kuat," ledeknya geli.
Sophie menjangkaukan tangannya, berusaha menarik kembali kardus itu sementara Livia bersikeras mengamankan kotak itu. Sophie berhasil menarik bagian atas kardus, dengan kekuatan tiba-tiba menariknya.
Tapi, sayangnya kardus itu sudah cukup lama dan Sophie menarik terlalu keras, sementara Livia yang bingung mengapa Sophie sangat ingin mengambil kardus, menggenggamnya terlalu kuat.
Kardus itu terbelah dua, membuat isinya berhamburan. Dengan panik, Sophie buru-buru berjongkok dan mengambilnya. Livia ikut berjongkok, berniat membantu saat ia melihatnya.
Foto seorang wanita berambut merah ikal sedang duduk di sebuah kursi tanpa busana. Dia mengapit kedua kakinya sementara sebagian rambut menutupi bagian payudaranya.
Lipstiknya merah terang saat ia tersenyum lebar. Tampak kepercayaan diri mencuat dari dalam dirinya. Ia bahagia, dan Livia tak perlu menjadi dukun untuk tahu siapa wanita di sana.
"Penelope," pernyataan itu menghantam dadanya sendiri.
Sophie menelan ludah ngeri. Ia tadi dipanggil oleh Raphael pagi-pagi sekali. Lelaki itu ingin melihat barang Penelope yang masih tersisa. Dan Sophie melakukannya, dengan baik.
Sayangnya, ia tak tahu kalau Livia akan bangun pagi. Wanita itu tak pernah bangun sepagi ini sebelumnya. Itu sebabnya ia sangat kaget melihat Livia, dan itu alasan mengapa ia tak ingin wanita itu melihat ini.
Sophie menatapnya kasihan. "Nona, itu..itu..." ia tercekat, tak tahu harus berkata apa.
Livia menyerahkan foto itu ke Sophie dengan tangan gemetar. Ia lupa cara bernafas, selama beberapa detik yang terasa selamanya, sebelum ia mendapatkan suaranya lagi.
"Aku..aku akan melupakannya. Aku akan pura-pura tak pernah melihat ini."
Livia bangkit berdiri, menolak menyentuh barang apapun dan menjaga agar suaranya tetap tenang. "Jangan beritahukan ini pada Raphael. Apalagi kakakku. Kami, akan menikah beberapa hari lagi."
"Nona, anda baik-baik saja?" Sophie itu pertanyaan itu terdengar klise tapi ia harus mengatakan sesuatu. "His Grace hanya meminta melihatnya, itu tak berarti apapun."
Livia mendongak, menatapnya kacau. Menelan ludah, wanita itu menegakkan punggung saat telapak tangannya memegang tembok. Kemiripan ia dan Penelope memang tak perlu diragukan. Dan harus ia akui, ucapan Raphael benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)
Historical FictionLivia Larodi, si bungsu dan wanita satu-satunya dalam keluarga, pergi ke Inggris untuk membuktikan pada kedua saudaranya bahwa ia mampu mandiri tanpa mereka. Sayangnya, di perjalanan ia kehilangan semua barangnya. Keesokan harinya, ia menemukan diri...