Livia memang berjanji pada dirinya bahwa ia tak akan mau mengenakan jaket yang Carl bawa. Tapi Raphael menunggunya dan kesempatan berdua dengan lelaki itu terlalu langka untuk ia lewatkan.
Jadi walaupun harus menjilat ludahnya sendiri, ia memakai jaket buatan banci itu, meyakinkan dirinya bahwa ia akan bersenang-senang dengan Raphael, saat lelaki itu malah tampak mondar-mandir sewaktu menelpon seseorang dengan wajah gusar.
Livia menyadari Raphael belum mengenakan jaketnya, karna perhatian lelaki itu fokus pada panggilannya. Dari sudut matanya, Raphael menatap sosok Livia yang menuruni tangga dan mendekatinya saat ia berbalik lalu berhenti tiba-tiba.
"Tunggu sebentar," ia menjauhkan telepon dan menutupi dengan tangan saat menatap Livia sesal. "Aku minta maaf. Kurasa aku tak bisa menemanimu hari ini."
Livia mengerjapkan bulu mata dan mengepelkan tangannya. "Kenapa?"
"Ada masalah di pabrik dan aku harus kesana."
"Telepon saja manajer itu! Memangnya pabrikmu itu akan hancur kalau kau tak ada?!" jerit Livia dalam hatinya.
Tapi Livia tak pernah bisa mengungkapkan perasaannya. Ia takut dan yakin lelaki itu akan membencinya, menganggap ia egois. Bertolak belakang, Livia hanya tersenyum lembut. "Yah, pergilah. Kau tampak sangat dibutuhkan."
Livia menelan ludahnya, "Aku..aku bisa sendiri."
Raphael menatap Livia lama lalu ia menatap ponsel dan kembali menatapnya saat menggeleng sesal. "Maafkan aku. Aku akan pulang secepat mungkin."
Raphael menepuk pelan bahu Livia saat ia melanjutkan panggilan dan keluar. Livia menatap kepergian lelaki itu. Entah sejak kapan mobil sudah siap saat Salvatore membukakannya pintu belakang, ia membungkuk sekilas ke Raphael lalu menutup pintunya.
Raphael bahkan tak menengok ke belakang untuk melihat Livia, bahkan ketika mobil keluar dari pagar. Dan Livia membuka jaketnya, menarik syal di leher, membiarkan wol lembut itu teronggok di lantai.
"Sophie!" serunya keras.
Wanita tua itu mendekat dan menghampirinya saat Livia masih berdiri di depan pintu. "Your Grace?"
Livia menjawab tanpa menengoknya. Ia menatap butiran salju di depannya dan tempat lelaki itu pergi. "Buang semua yang Carl bawa tadi."
"Maaf?"
"Buang atau ambil saja untuk kalian. Aku tak butuh."
"Lalu anda? Apa anda mempunyai mantel tebal atau jaket musim dingin?"
Livia mendengus tajam sebelum menatapnya saat giginya merapat. "Hatiku sudah mendingin Sophie."
Sophie menyadari, terlalu banyak luka yang dibuat Raphael dan lelaki itu tak menyadari, seberapa sering ia melakukannya. Jadi, ia menarik tangan Livia, menggenggamnya erat saat menepuk-nepukan lembut jarinya disana. "Perasaan manusia tak bisa mendingin. Saya akan meminta Robinson membelikan anda mantel lain."
Livia tak menjawab saat Sophie kembali masuk. Ia bingung akan sikap Raphael. Livia sempat berharap lelaki itu akan memilihnya di bandingkan urusan di pabrik, setelah apa yang mereka alami.
Ia pikir mereka saling mencoba jujur satu sama lain. Nyatanya ia salah. Saat dihadapkan dengan pilihan apapun, Raphael akan selalu menomor duakannya. Kepentingan yang lain akan lebih diutamakan dibandingkan dirinya.
Livia berdiri lama disana sebelum ia memilih melangkahkan kakinya keluar. Mengabaikan tangannya yang tak bersarung atau kakinya yang tak beralas apapun, ia membiarkan rasa dingin menggigiti kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)
Historical FictionLivia Larodi, si bungsu dan wanita satu-satunya dalam keluarga, pergi ke Inggris untuk membuktikan pada kedua saudaranya bahwa ia mampu mandiri tanpa mereka. Sayangnya, di perjalanan ia kehilangan semua barangnya. Keesokan harinya, ia menemukan diri...