23. CONNECTION

19.7K 1.8K 46
                                    

Begitu mobil hitam itu berhenti di garasi, Livia melepas sabuknya cepat sembari berkata "Terima kasih" dengan pelan dan langsung membuka pintu mobil, menghambur keluar.

Raphael membuka mulut dan berniat menghentikannya saat punggung wanita itu semakin menjauh sebelum masuk ke balik pintu. Lelaki itu menggaruk kepalanya kasar, keluar dari mobilnya sembari membanting pintu dengan keras dan berpikir kenapa ia menaikkan nada suaranya seoktaf lebih tinggi.

Karna Livia tersenyum padamu, ucap hatinya.

Tapi wanita itu selalu tersenyum pada setiap orang, bela pikirannya.

Tapi senyumnya membuat otakmu berhenti berpikir sesaat. Dan bukannya tersenyum kau malah membentaknya.

Aku tidak, geram Raphael marah dalam diam.

Ohya? Lalu kenapa dia lari terbirit-birit barusan? Akuilah Raphael, senyum Livia membuatmu salah tingkah.

Raphael menggeleng, menepis suara otak dan pikirannya yang saling beradu dalam dirinya. Ia berencana meminta maaf pada Livia soal tadi, tapi wanita itu seperti menutup pintu dan kabur secepat kilat.

Langkah Raphael menyusulnya dan bukannya ke kamar Livia, ia malah ke kamarnya sendiri untuk merenung. Raphael membuka tirai jendela saat punggungnya membelajangi pintu sementara kedua tangannya ia lipat, menampilkan otot lengannya.

Mata hijaunya lurus, menatap salju yang terus turun. Ini bukan pertama kalinya ia melihat butiran putih dingin itu. Ini kesekian kalinya dan ia merasa bosan.

Tapi ini, pertama kalinya ia melihat pemandangan itu bersama istrinya, Livia. Wanita itu jelas belum pernah melihat salju karna cuaca di Jakarta tak memungkinkan. Tapi bukannya bersikap sebagai suami yang lembut ia malah membuat kenangan Livia akan salju pertamanya hancur.

Lalu otaknya berpikir cepat. Apa wanita itu membawa mantel yang tebal? Apa Livia membawa sarung tangan dan topi? Mengingat ini pertama kalinya Livia merasakan cuaca sedingin ini, besar kemungkinan ia mungkin akan mati beku saat malam.

Berpikiran seperti itu, Raphael berjalan keluar dan membuka pintunya sebelum mengetuk pintu kamar Livia. "Livia? Ini aku. Boleh aku masuk?"

"Ya, masuklah."

Raphael mendorong pintu hingga terbuka dan menatap ke arah wanita itu yang sedang membuka lemari bajunya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Raphael sambil mendekat.

"Mencari jaket," jawabnya tanpa menatap Raphael.

Tangan Livia bergerak liar ke arah gantungan baju sementara matanya tampak bingung mencari mantelnya.

"Jaket? Agar kau tak kedinginan?"

"Bukan. Aku mau keluar dan merasakan saljunya," jawab Livia cepat.

Raphael menatapnya lama.

"Aku yakin aku membawanya." Livia mengeluarkan satu gantungan, melempar ke kasur dan menggeleng. "Bukan. Dimana aku menaruhnya?"

"Kau yakin kau sudah mengepaknya?" tanya Raphael hati-hati.

"Tentu saja," jawabnya kesal.

Livia berbalik, menaruh kedua tangan di pinggang sementara mimik wajahnya cemberut, membuat Raphael mengulum senyumnya. "Apa mungkin, hilang saat hujan waktu itu?"

Livia membuka mulut, membentuk huruf 'A' tanpa suara sebelum menepuk keningnya sendiri.

"Astaga! Saat aku diculik mereka mengeluarkan semua barang di koperku."

Raphael mengangkat sebelah tangannya untuk menutup bibirnya yang melengkung terhibur saat melihat tingkah dan kesibukan Livia. Wanita itu memutar mata kesal sementara bibirnya mengerucut tajam dan alisnya bertaut. Mimik wajahnya sangat lucu sampai Raphael gemas.

Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang