Livia mendengar bunyi pintu yang tertutup dan ia tersenyum kecewa. Ia berharap, sangat berharap sebenarnya kalau Raphael akan memaksa untuk tinggal dan membantunya.
Tadi Livia tak tahu saat lelaki itu datang. Ia terhanyut dalam pikirannya sendiri. Dan saat ia mendengar suara Raphael, refleks badannya berputar cepat dan membuat sisi samping tubuhnya terjatuh ke depan.
Lututnya kini berwarna merah, dan kulitnya mengelupas sedikit sewaktu mengeluarkan darah segar karna mengenai tepi bathtube.
Menggigit bibir bawahnya, Livia berpegangan erat pada kaca, yang memisahkan bathtube dengan pancuran, sebelum akhirnya berhasil naik.
Tangannya terulur mengambil handuk yang menggantung di tepi wastafel, sementara punggungnya membungkuk sedemikian rupa. Livia berhasil menarik ujungnya, melilitkan handuk ke sekitaran tubuhnya.
Ia mengangkat lutut kirinya, yang luka saat kakinya yang baik-baik saja berjalan ke arah pintu. Sayangnya, ia lupa kalau pintu itu mengarah ke depan, dan saat ia membukanya terlalu cepat keseimbangan Livia goyah dan ia berseru.
"Kyaaaa...!!"
Livia yakin ia akan terjatuh, kalau saja tak ada sepasang tangan dari arah samping menangkap pinggang dan bahunya. Refleks Livia menyambar si penolong dan menatap ke samping.
"Raphael.." bisiknya tak percaya karna lelaki itu masih disini, menunggunya.
"Apa.. apa yang kau lakukan?" tanya Livia malu saat lelaki itu membantunya membetulkan posisi.
Wajah Raphael tampak terkejut melihat tubuh Livia yang hanya tertutup handuk. Rambut wanita itu basah, dan menyebar si punggungnya bagaikan air mancur. Beberapa tetesan air di wajahnya terjatuh, turun ke hidung, mengenai tepian bibir sebelum membentuk tetesan indah di dagu.
Sebagian lain merambat turun melalui sisi samping wajah, sebelum melekuk sempurna di lehernya dan terus turun hingha tersembunyi di balik handuk. Matanya melebar sebelum ia berkedip dan berdehem.
Lelaki itu buru-buru melepaskan pegangan tangannya, seakan Livia adalah api dan ia berdehem. Raphael merutuk dalam hati saat tangannya terasa panas, untuk hal lain.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri. Kau terluka karna aku. Aku harus bertanggung jawab."
"Oh, tak apa. Hanya sedikit lecet."
Tapi Raphael jelas memikirkan hal sebaliknya saat lelaki itu menatap lutut Livia dengan wajah muram dan ekspresi serius. "Ini lebih dari lecet."
Livia memutar matanya sebal. "Kau mulai bertingkah seperti kakakku."
Lelaki itu menatap terkejut. "Aku? Ya Tuhan pasti otakmu terbentur saat terjatuh tadi."
"Dan kau mulai berucap seperti Antonio. Penuh sarkastik."
Livia meringis saat merasakan cairan gelap itu mulai menuruni kakinya. Wajah Raphael semakin gelap.
"Tahan sebentar," ucap lelaki itu dan sebelum Livia sempat bertanya, Raphael menaruh sebelah tangan di balik lutut Livia dan tangan lain di punggungnya.
"Raph!" seru Livia kaget tapi mereka hanya berjalan ke arah ranjang, saat lelaki itu mendudukkannya dengan hati-hati di tepi kasur sementar Livia menahan sakitnya.
"Tunggu disini." Dan lelaki itu pergi keluar dengan cepat.
Livia baru menyadari betapa pendek handuknya saat ia duduk. Kulitnya terekspos lebih banyak dari yang ia duga.
Hampir sepuluh senti dari lutut! Sebanyak itulah pahanya terpampang dan ia mengambil guling, untuk ia taruh di atas pahanya.
Handuk itu pun juga menampilkan kulit bahu Livia dan bagian depan tubuhnya. Ia mengintip ke bawah, ke arah gundukan lembutnya yang tertutup kain wol tebal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)
Historical FictionLivia Larodi, si bungsu dan wanita satu-satunya dalam keluarga, pergi ke Inggris untuk membuktikan pada kedua saudaranya bahwa ia mampu mandiri tanpa mereka. Sayangnya, di perjalanan ia kehilangan semua barangnya. Keesokan harinya, ia menemukan diri...