Raphael dengan hati-hati mengangkat kepala Livia dengan tangan kanannya saat lengan kirinya menyelusup masuk dan membaringkan kepala Livia di atas lengannya.
Ia menaruh tangannya yang bebas di punggung Livia saat ia mendekat dan merapatkan tubuh mereka. Tubuh Livia masih sedingin tadi dan ia menyampirkan selimut untuk menutupi tubuh Livia.
Buku tangan lelaki itu mengusap lembut rahang Livia. Raphael tanpa sadar menelan ludah memikirkan kemungkinan seandainya ia pulang lebih lambat, seandainya ia tak lebih cepat mencari Livia.
Raphael mendongak ke bawah, menatap mata Livia yang terpejam. Ia bisa merasakan bagaimana kenyal dan padatnya payudara wanita itu saat menyentuh dadanya. Atau tungkainya yang panjang saat menyentuh paha Raphael.
Ia lelaki normal dan sehat. Dihadapkan akan tubuh telanjang seorang wanita tentu membangkitkan gairahnya. Tapi meski ia sangat membutuhkan pelepasan, ia lebih mementingkan kesehatan Livia.
Jadi Raphael memejamkan matanya sesaat saat bibirnya menyentuh puncak kepala Livia.
Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan saat Livia sadar. Mengapa wanita itu membuang jaketnya? Mengapa ia pergi keluar sendiri? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya. Nanti, ia akan mengintrogasi Livia.
Raphael merapatkan tubuh mereka dan memejamkan matanya. Ini demi kesehatan Livia. Hanya itu, tak lebih.
***
Api... Ada api yang sangat besar di depan Livia. Bahkan asap hitamnya mengepul, membumbung tinggi ke udara di malam hari, di hari berhujan. Livia merasakan kekangan erat di kedua tangannya, teriakan putu asa dan airmata kesedihannya.
Api itu menari di depannya, seolah menunjukkan betapa putus asanya dia. Betapa tak bergunanya dia. Teriakannya semakin menjadi seiring membesarnya kobaran api itu.
Hujan deras tampak tak membantu sama sekali. Tak mampu memadamkannya. Tangisannya berubah menjadi keras dan semakin keras. Lalu kekangan erat di tangannya terlepas dan ia berlari ke arah api.
Tapi bahkan sebelum Livia bisa mendekat, api itu seakan tersedot ke dalam lubang besar, begitu juga dia. Badan Livia seakan terhisap dan ia terombang bing di udara sebelum ia mendarat di sebuah bantal besar yang lembut.
Livia menatap ke kiri dan ke kanan, tak ada apapun. Tak ada siapapun. Ia bahkan tak biaa melihat apapun kecuali dirinya sendiri. Tak ada sinar, bahkan meski hanya seinci. Dimana kakaknya? Dimana dia? Dimana ayah dan ibunya?
Lalu ia mendengar bunyi keras, dan Livia mendongak saat bagian atasnya retak. Langit gelap itu tampak menampilkan sedikit sinar sebelum cahaya terang masuk. Ia melihat kilasan 20 tahun lalu yang menampilkan janji eskrim. Livia menyipitkan matanya dan ia menatap wajah anak lelaki itu.
"..via? Livia?"
Livia memandang wajah Raphael yang cemas, sekaligus sangat dekat. "Ternyata kau.." ucapnya pelan.
"Livia? Kau tak apa-apa?" tanya lelaki itu cemas.
"Ternyata itu kau... Kau berhasil menepati ucapanmu." bisik Livia lalu memejamkan matanya lagi.
Raphael melebarkan matanya dan membetulkan posisinya saat mengguncang-guncang bahu Livia.
"Livia?!" baru tadi ia melihat ada setitik airmata disana. Raphael mengusapnya dan terkejut saat mata Livia terbangun dan langsung menatapnya.
"Dokter!" seru Raphael keras sambil tetap menepuk pelan pipi Livia agar wanita itu bangun.
Tak lama pintu terbuka dan lelaki muda itu datang, menghampirinya. Ia mengabaikan bagian atas Raphael yang terekspos dan menatap Livia. Tangannya memegang jari Livia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)
Historical FictionLivia Larodi, si bungsu dan wanita satu-satunya dalam keluarga, pergi ke Inggris untuk membuktikan pada kedua saudaranya bahwa ia mampu mandiri tanpa mereka. Sayangnya, di perjalanan ia kehilangan semua barangnya. Keesokan harinya, ia menemukan diri...