Siapapun yang melihat Livia sekarang, akan merasa gadis itu boneka manusia yang dibuat sangat sempurna. Raphael duduk di pinggir kasur. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia selalu mengatakan pada dirinya sendiri bahwa Livia adalah Penelope! Tapi semakin ia menatap Livia, keyakinannya tergoyah.
Livia mau tertawa bersama para pelayan. Ia mau mendengar cerita para mereka. Dan Raphael tahu beberapa pelayan prianya menaruh hati pada Livia, tapi tak cukup berani mengatakannya. Lalu hari ini, badai hujan yang tiba-tiba datang di musim dingin membuatnya tambah bingung. Apalagi Livia seperti sangat syok, sangat terpukul.
Raphael menggeleng kuat. Ini hanya kasihan! Hanya rasa tanggung jawab! Dengan lembut, ia memanggil nama Livia, tak ada respon. Lebih keras, juga tak ada respon.
Raphael mendesah. "Livia, tatap aku," perintahnya.
Gadis itu masih tak bergerak, membuat Raphael makin marah. "Tatap aku sialan!" dan ajaibnya Livia menatapnya.
Lama menatap, Livia mengerjapkan matanya bingung. Ia menatap Raphael dan bertanya, "Kau memanggilku?"
Raphael mendesah kesal, "Tentu saja! Kau seperti orang yang kehilangan kesadaran beberapa lama. Apa yang terjadi?"
Livia berpikir keras sebelum menggeleng. "Tidak apa." Buat apa ia menceritakan semuanya pada Raphael? Lelaki itu tak bisa membantunya. Ia menatap sekeliling datar.
Ranjang berkanopi, lantai berkarpet, lampu gantung mewah dan saat ia menatap bajunya, Livia terkesiap kecil. Ia menarik selimut dan menatap Raphael menuduh, "Apa yang kau lakukan?"
Raphael menatap langit-langit, meminta kesabaran untuk tidak membunuh gadis ini. Saat menatap Livia, ia berdecak, "Sophie yang mengganti bajumu. Aku membawamu kemari karena di luar badai hujan dan pondok itu takkan sanggup bertahan lebih lama."
Mata indah Livia terbelalak kaget, "Kau menolongku??"
"Kau tamuku. Aku harus melaksanakan tugasku sebagai tuan rumah."
Livia mengangguk datar. "Terima kasih."
"Tidak masalah. Kau tidur saja. Aku akan turun untuk minum lagi."
Livia buru-buru berseru, "Tunggu," ia terdiam sebentar saat Raphael berbalik dan menaikkan sebelah alisnya seakan bertanya, "Apa lagi?".
Livia memberanikan dirinya. "Warna apa yang kau suka?"
Kening Raphael berkerut dalam, "Apa?"
Livia menarik nafasnya cepat, jantungnya berdetak sangat cepat dan terlalu kuat. "Warna apa yang kau suka?"
"Abu-abu. Apa yang kau pikirkan?"
Livia menggeleng, menatapnya polos "Hanya bertanya."
Tatapan Raphael setajam elang dan suaranya sedingin es. "Jangan merencanakan apapun. Buang saja apa yang kau pikirkan."
Livia tersenyum manis, "Kau kan tidak tahu apa yang kupikirkan. Baiklah selamat malam." lanjutnya buru-buru saat melihat Raphael hendak berbicara.
Lelaki itu menatapnya dingin sebelum pergi keluar. Setelah Raphael keluar, Livia baru menyadari bahwa gemetarannya sudah berhenti, meski tanpa boneka.
***
Aroma makanan menyeruak masuk ke hidungnya, membuatnya terbangun dari tidur pulasnya. Livia memakai jubah dan sandal lalu turun. Ia mengikat jubah itu dan tersenyum pada Sophie dari anak tangga.
Sophie tersenyum lembut. "Pagi yang indah Miss Larodi."
Livia mengangguk, "Sangat. Tapi bagaimana pondok itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon A Time : Love Me, Your Grace (LARODI SERIES #1)
Historical FictionLivia Larodi, si bungsu dan wanita satu-satunya dalam keluarga, pergi ke Inggris untuk membuktikan pada kedua saudaranya bahwa ia mampu mandiri tanpa mereka. Sayangnya, di perjalanan ia kehilangan semua barangnya. Keesokan harinya, ia menemukan diri...