******
"Kau harus menikah denganku." Aku merasa bos di depanku ini sudah gila. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba ada petir yang hadir. Bosku mengguncang telingaku dengan kalimat yang baru keluar dari mulutnya.
"Memangnya Bapak tidak laku?" tanyaku dengan entengnya. Radit nampak tersinggung dengan ucapanku. Tapi, aku tidak peduli, salah siapa mengatakan hal gila seperti itu? Dia pikir selama ini aku tertarik padanya? Cih, manusia berwajah standar itu pasti percaya iri sekali jika berpikir aku tertarik padanya.
"Banyak yang mau sama saya, tapi saya mau kamu, seharusnya kamu bangga. Bahkan seharusnya kamu mencatat hari bersejarah ini." Aku mendengus mendengar nada arogan bosku itu. Kesombongan dan kenarsisan Radit selalu berhasil membuatku muak. Telingaku selalu demo ketika mendengar nada arogan Radit dan sayangnya, selama ini aku harus menahan semua kekesalan yang aku rasakan. Aku hanya bawahan yang tidak berdaya...
"Kalau banyak yang mau kenapa memilih saya yang jelas tidak mau dengan Anda?"
"Itu dia, aku tidak mau seorang wanita yang jatuh cinta padaku." Aku menggelengkan kepalaku melihat sifat sombong Radit yang setinggi langit ke-sepuluh itu. Aku memang sudah mengenal Radit selama dua tahun tapi bukan berarti aku bisa tahan dan kebal dengan sifat arogan bosku itu. Aku memaksakan sebuah senyum pada Radit yang duduk di hadapanku.
"Bapak Raditya Bramasta yang rendah hati, saya yakin banyak wanita di luar sana yang tak akan jatuh cinta dengan Bapak, jadi Bapak bisa menikahi mereka saja, saya yang hanya butiran debu ini sama sekali tidak pantas bersanding dengan Anda yang sebongkah batu." Aku tahu, aku baru saja melakukan kejahatan dengan menyindir Radit. Tapi, semua itu tidak menjadi masalah jika objek yang disindir tak menyadari dan justru terlihat bangga.
"Aku tahu kau tidak pantas untukku, maka dari itu kau seharusnya bersyukur dan menerima lamaranku." Aku mengumpat Radit dalam hati. Tanganku begitu gemas untuk menampar wajah Radit yang standar itu, siapa tahu dengan begitu otaknya akan kembali ke tempat yang benar.
"Sekali lagi, Pak. Saya tidak pantas untuk Anda. Dan Anda membuang waktu dengan membujuk 'butiran debu ini'." Aku heran, kurang merendah apa diriku hingga Radit masih tak mau merubah keputusannya. Aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa hidupku nanti jika menikah dengan manusia ini.
"Aku tetap mau kau menikah denganku, Mela. Meskipun memang benar kau hanya butiran debu." 'tampar, boleh?' tanganku terkepal dengan kuat. Sebenarnya, jika Radit bukan bosku mungkin tak hanya tamparan yang akan dia dapatkan, sebuah doorprize berupa kursi melayang pun bisa menjadi miliknya. Aku geram, marah dan ingin menghajar pria diktator itu.
"Maaf, Pak, saya tetap tidak bisa menikah dengan Anda, saya tidak akan kuat menerima ujian seberat itu." Radit berdiri dari kursinya, dia menatapku dengan garang. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal di atas meja, seolah ia siap menggebrak meja itu jika perlu. Aku tetap duduk dengan tatapan menantang, aku tahu aku harus melawannya saat ini. Demi hidup dan masa depanku nanti, aku tidak boleh takut dengan wajah menyeramkan yang sedang ia tunjukkan sekarang. Jika dengan setan saja aku berani maka Radit bagaikan serpihan upil Naruto yang tidak ada apa-apanya.
"Begini, aku akan menjelaskan situasinya padamu." Radit menghela napasnya.
"Menurut wasiat yang ditinggalkan ayahku, aku harus menikah sebelum menjadi direktur utama di perusahaan ini."
"Bangsat!" kali ini aku tak bisa menghentikan umpatan yang mendesak untuk keluar. Wanita mana yang terima dijadikan alat peraih harta? Kalaupun ada, tentu itu bukan diriku.
"Apa kamu bilang!" teriak Radit yang tiba-tiba sudah berada di hadapanku dan mengurung tubuhku di kursi. Aku menelan ludahku, wajahnya begitu menakutkan. Mata beriris hitam itu seolah mengeluarkan laser yang bisa membuat kepalaku berlubang seketika.