"Aku mencintaimu... Mami."
Aku langsung melempar baju ke arah wajah menyebalkan Radit. Aku tak peduli baju itu lecek, biar nanti Radit yang membayar baju itu.
Mami sudah berkacak pinggang di hadapan Radit yang masih sibuk menyingkirkan baju dari wajahnya. Aku menatap suamiku itu tajam begitu Radit melihat kami berdua dengan wajah bingung dan sok polosnya.
"Radit, kenapa kau malah mengungkapkan cintamu pada mami? Apa lidahmu begitu sulit untuk menyebut nama istrimu?" Tanya Mami, geregetan. Jika dia saja frustasi dengan tingkah anaknya, apalagi aku yang harus setiap hari menghadapi Radit. Dia tak pernah berubah, mungkin benar kata mami, lidah Radit selalu keseleo jika menyebut namaku, makanya ia justru mengungkapkan cintanya pada mami seolah hari ini tiba-tiba berubah menjadi hari ibu.
"Apa salahnya aku mengungkapkan cintaku ke mami? Apa mami sudah tidak mengakuiku sebagai anak?"
Mami mengambil nafas panjang, aku sendiri pun dibuat kesal dengan semua alasan Radit. Dirinya tak pernah kehabisan akal untuk menghindar dari setiap pertanyaan yang diriku atau orang lain tanyakan.
Jika boleh aku ingin men-sleding kepala Radit. Tapi aku tahu itu akan membuatku menjadi istri durhaka, jadi lebih baik aku urungkan niat tersebut daripada aku masuk neraka nanti.
"Terserah Radit, aku sudah tidak peduli kau mau mengungkapkan cintamu pada mami ataupun tiang listrik. Sekarang, kau lebih baik, bayar semua pakaian yang sudah aku pilih ini. Ok, suamiku?"
Aku mengambil dengan asal semua baju yang ada di depanku, kemudian menyerahkannya pada Radit. Aku benar-benar dibuat gemas dengan tingkahnya. Aku pikir dia akan bilang, 'aku mencintaimu, Mela...' nyatanya lelaki bergengsi tinggi itu lebih memilih menambahkan kata Mami di belakang.
Tanpa dia beritahupun, semua orang juga tahu kalau Radit mencintai orang yang melahirkannya. Tapi Radit, justru menggunakan kalimat itu sebagai senjata untuk menghindar lagi.
Aku harus memberikan tepuk tangan yang gemuruh atas keberhasilan Radit menghindari semua serangan yang ditujukan padanya. Setidaknya Radit punya kelebihan untuk dibanggakan.
"Sabar ya, Sayang. Anak itu memang punya gengsi yang besar. Percayalah Radit sebenarnya mencintaimu sepenuh hati," ujar Mami sat Radit membawa barang belanjaanku ke kasir. Untung pelitnya tidak kumat hari ini, jika kumat maka habislah aku, tak ada yang bisa kubanggakan dari suamiku.
Aku mengangguk menjawab ucapan mami. Kami berdua memutuskan untuk menyudahi belanja kami di butik ini. Selanjutnya mami mau ke supermarket untuk membeli kebutuhan lainnya.
"Mela, kau marah?" Tanya Radit saat aku hanya diam sedari tadi. Aku tak menjawab pertanyaannya, sejak di mobil tadi, aku hanya berbicara dengan mami dan tak menghiraukan Radit sama sekali.
"Tidak, kenapa aku marah?" Tanyaku.
"Oh, jadi tidak marah ya? Baguslah, aku kira kau seperti wanita lain yang bakal marah kalau kekasihnya tidak mengucapkan kata cinta. Ternyata kau berbeda."
Radit berlalu meninggalkanku yang geram, memendam bara amarah di dalam dadaku. Aku berbeda? Radit sialan, darimana dia menangkap kesimpulan itu, sementara selama seminggu ini aku telah mendesaknya berkali-kali untuk mengatakan kata keramat itu.
Mami sudah berbelanja entah kemana, Radit sedang memilih minuman bersuplemen. Sementara aku hanya berdiri, memendam amarah yang meletup-letup karena Radit.
"Mela, kau mau belanja apa? Jangan hanya berdiri di situ, semakin cepat kau belanja, semakin cepat kita pulang, aku yakin kasur kita sudah menunggu untuk dipakai." Radit tanpa tahu malunya masih memikirkan mengenai ranjang, padahal di sini ekspresiku sudah mirip orang yang punya dendam kesumat.