Selamat membaca!
***********
"Tidak, aku mau mau 50 persen."
"Aku bilang kau akan mendapatkan 10 persen."
"50 persen atau aku akan membatalkan pernikahan ini dan kau bisa mencari wanita lain."
"Sialan kau Mela, waktuku semakin mepet, ada apa denganmu dan mempersulitku?" aku menggumamkan lagu 'ada apa denganmu' begitu Radit membawa lirik itu dalam percakapan kami. Wajah Radit terlihat semakin memerah karena marah, tentu saja siapa yang tak marah jika orang yang diajaknya bicara justru bernyanyi tak jelas.
Lagipula aku sudah malas untuk berdebat dengan Radit, aku tak sekuat itu untuk berdebat dengan manusia macam Radit yang tak lelah untuk berdebat jika tak sesuai dengan keinginannya. 15 menit waktu kami, dihabiskan dengan berdebat mengenai harta bagianku. Tentu saja aku tak mau rugi menikah dengan Radit, setidaknya jika aku tersiksa dengan pernikahan kami nanti, aku bisa mengompres kepalaku dengan uang. Aku matre? Memang.
"Ku tanya malam, dapatkah kau lihatnya perbedaan—"
"Mela, hentikan suara jelekmu itu. Kau merusak lagu itu dengan menyanyikannya." Aku mendelik pada Radit, suaraku tentu tak sejelek itu hingga bisa merusak sebuah karya. Radit pasti mengada-ngada, aku ingat kemarin ada seseorang yang memuji suaraku.
"Suaraku bagus Radit, kemarin tetangga sebelah memuji suaraku." Radit menaikkan sebelah alisnya, sepertinya ia tak percaya dengan ucapanku.
"Apa kau yakin tetanggamu tak memiliki gangguan pendengaran?"
"Tentu saja tidak, dia masih berumur 70 tahun—" belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Radit sudah tertawa keras. Aku menunggunya untuk selesai tertawa tapi setiapa ia melihat wajahku, tawanya kembali pecah. Aku yakin wajahku tak selucu itu hingga bisa membuat tertawa nonstop. Dan apa yang salah dengan ucapanku?! Tak ada yang lucu.
Radit menyeka air mata yang keluar dari matanya, kadang tawa kecil masih keluar dari mulutnya, membuatku bertambah marah. Aku menatap tajam Radit, begitu ia berhenti tertawa.
"Mela, gadis pintar, tentu kau tahu kalau seseorang yang berumur 70 tahun memiliki kurang pendengaran kan? Mau suara klakson pun dia akan bilang suara itu merdu." oke, akui Radit benar, tapi aku tak akan mengakuinya. Tak mungkin aku akan mempermalukan diriku sendiri. Dengan harga diri yang masih tersisa, aku mengangkat daguku, menatap Radit dengan tatapan memperingatkan.
"Kau tertawa, berarti kau setuju bagianku 50 persen." Wajah Radit kembali datar, seperti dirinya tak pernah tertawa macam orang gila beberapa detik yang lalu. Aku bertaruh, otaknya sekarang sedang memikikan cara untuk memusnahkanku detik ini juga, tak ada yang menghalangi Radit dari uangnya, setidaknya itulah yang aku ketahui selama 2 tahun bekerja dengannya.
Uang bagi Radit adalah segalanya, bahkan aku tak melihat dirinya menangis di pemakaman ayahnya. Wajah standar itu tetap datar, tak menunjukkan kesedihan apalagi ketampanan, disaat semua keluarganya menangis karena kepergian Om Erlangga, Radit sang anak hanya diam, tanpa ekspresi dan sok misterius. Jika aku seorang polisi maka aku akan mencurigai Radit sebagai pembunuh ayahnya. Mana ada anak yang tak menunjukkan emosi apapun saat melihat pemakaman ayahnya sendiri?
"15 persen, tawaran terakhir. Jika kau tak mau, aku lebih baik mencari wanita lain yang matreless." sekarang dia malah membuat kosakata baru. Aku memikirkan tawarannya, 15 persen itu sudah lumayan besar mengingat harta warisan Radit yang pasti WOW.
"Deal, sekarang kesepakatan lainnya, kau tidur di kamar tamu." Radit menyeringai, wajahnya ia dekatkan padaku, membuatku harus mundur untuk menghindari kejadian buruk yang mungkin akan terjadi. Matanya menatap bibirku lama, membuat segala pikiran kotor yang tak diinginkan hadir di kepalaku.
"Tidak!" setelah mengucapkan satu kata itu, dirinya mundur, topeng datarnya kembali terpasang, mengingatkanku betapa menyebalkannya diri Radit. Kenapa tadi aku berpikiran kotor mengenai dirinya? Sekarang aku menyesal, Radit tak pantas untuk berada di otakku.
"Aku lelaki yang bertanggung jawab, Mela, tak mungkin aku meninggalkan istriku dan tak menafkahinya," ucapan Radit terdengar begitu polos, sepolos pantat sapi, seolah tak ada pesan tersembunyi dalam kalimatnya, seolah tak ada pikiran kotor yang hinggap dalam kepalanya itu. Aku tersenyum, bukan senyum tulus apalagi menggoda, aku hanya ingin berekspresi sepolos dirinya.
"Tenang saja, aku istri yang baik, aku membebaskanmu dari tanggung jawab muliamu itu. Kau hanya perlu bekerja, Calon suamiku sayang, tak perlu mengunjungiku apalagi menemaniku tidur, aku tak akan ketakutan." Bibir Radit berkedut, mungkin ia menahan tawanya.
"Calon istriku yang cantik, tak mungkin aku meninggalkanmu, aku seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Tenang saja kau tak akan merepotkanku sama sekali."
"Tapi kau pasti lelah, bekerja seharian. Istri macam apa aku yang membuat suaminya bekerja 24 jam. Aku juga tidur ngorok, jadi kau pasti akan terganggu, lebih baik kau tidur jauh dariku, supaya kau tak terganggu," sialan, ternyata sulit untuk menahan ekspresi datar dan polos, tapi aku tak akan kalah dari Radit.
"Tenang saja, aku menerimamu apa adanya, meskipun kau tidur ngorok aku tak peduli. Kau tetap istriku dan aku akan menemanimu dalam keadaan bangun ataupun tidur."
Aku sudah tak bisa sok polos lagi, dengan emosi aku berteriak, "sialan kau, Radit. kita tak akan tidur sekamar, TITIK."
"Hmmmm, nanti saja dilanjutkan, aku harus menghadiri rapat sebentar lagi, kau sih enak pengangguran," dan salah siapa semua itu? Pikirku sarkatis.
"Kita akan menikah dua minggu lagi, aku sudah urus semuanya, dan untuk resepsi biar keluarga yang menentukan tanggalnya," ucapan Radit yang begitu santai seperti seorang SPG, membuatku hanya bisa menggelengkan kepala, aku tak bisa marah lagi, semakin aku marah, Radit justru akan menanggapinya dengan tenang dan menyebalkan, sepertinya ia menganggap ini sebagai sebuah permainan.
Aku akui Radit adalah musuh yang sulit untuk ditaklukkan, kemampuannya bernegosiasi sudah terasah dengan baik. Sebagai mantan sekretarisnya, aku tentu tahu bagaimana Radit menghadapi lawan bisnisnya, dia memanfaatkan sikap arogannya dengan tepat, memancing emosi setiap musuhnya hingga mereka bertindak gegabah.
Sekarang giliranku untuk menghadapi sang tuan arogan, aku akui ini akan jadi permainan menarik, siapa yang mampu bertahan sampai akhir tanpa kehilangan kontrol emosinya? Kita lihat saja, siapa yang akan gila terlebih dahulu, dia atau aku?
***********