Tiga Puluh Satu

38.2K 2.8K 105
                                    

Siapa yang kemarin nungguin?

Maap, kmrin bad mood, gk bs ngelawak. Drpd cerita ini tiba" jd lapak indonesia lawyers club yg seriusnya smpe kayang, mnding
kgk usah d apdet.

Happy reading

********

Mataku masih begitu berat ketika mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap. Aku membuka mataku sedikit, melihat siapa yang sedang berbicara dan mengganggu tidur cantik dan kerenku.

"Sayang, bangun."

Suara lembut mami seperti sengatan listrik yang mampu membuat mataku seketika terbuka lebar. Aku terduduk dan merentangkan tanganku memeluk tubuh mami yang berdiri di samping tempat tidur.

Setelah dua minggu lebih tak bertemu, aku begitu merindukan ibu mertuaku yang unik dan antik ini. Meskipun mami sering memberiku benda-benda aneh setidaknya ia tak semenyebalkan putranya yang tukang selingkuh. Mengingat Radit membuatku hatiku panas dan ingin menelpon santet online sekarang juga.

"Mela, kamu kabur dari rumah?" Aku melepaskan pelukanku. Aku tidak kabur, aku hanya pergi dari rumah calon mantan suami. Tidak ada gunanya juga aku di sana, aku hanya akan terus teringat akan wajah Radit tiap melihat ke tembok.

"Aku tidak mau tinggal di rumah Radit," ucapku. Saat ini rencanaku adalah numpang di rumah Caca sampai aku menemukan tempat tinggal baru.

"Itu rumah kalian, Sayang. Mami sudah baca gosip yang beredar dan mami tahu bagaimana perasaanmu. Tapi jangan bertindak gegabah ya, kasian anak yang kamu kandung, Caca tadi sudah menceritakan semuanya pada Mami. Kita tunggu Radit selesaikan masalahnya di sana dan semoga anak itu cepat pulang, ia pasti memiliki penjelasan atas semua ini."

Aku memegang perutku, ada apa dengan semua orang dan menyebutku hamil. Aku tidak hamil! Lagipula, menunggu Radit pulang bisa saja berbulan-bulan. Aku tak tahu kapan manusia itu memutuskan untuk pulang dan ingat akan istrinya di rumah.

"Nih cek sana, aku sudah belikan test pack untukmu."

Caca menyodorkan alat pengetes kehamilan dan juga sebuah wadah kecil. Aku sedikit ragu saat menerimanya. Bagaimana kalau positif? Malang sekali nasibku jika hamil di saat genting seperti ini. Aku harus membesarkan anak sendirian jika benar-benar minta cerai. Jika tidak bercerai, aku juga akan makan hati setiap hari.

"Tidak mau, aku tidak hamil."

Mami dan Caca saling berpandangan. Mereka berdua seperti membuat kesepakatan melalui telepati karena sedetik kemudian aku sudah dipaksa untuk berdiri dan ditarik menuju kamar mandi.

"Kau tidak boleh keluar sebelum tesnya keluar. Kalau sampai kau berbuat curang, aku akan mengurungmu di kamar mandi umum yang bau pesing itu," ancam Caca sebelum menutup pintu tepat di depan mukaku.

Sahabatku baik sekali memang, mengancamku agar menuruti keinginannya. Semua orang yang ada di hidupku sepertinya memang punya penyakit yang sama. Dari mulai Radit yang memaksaku untuk menikah hingga Caca yang memaksa bahkan mengancamku. Kamar mandi umum yang dimaksud Caca berada tak jauh dari rumahnya ini, aku pernah masuk sekali dan saat itu juga hidungku melambaikan tangannya, tak mampu untuk melanjutkan tantangan uji nyali itu. Aroma kencing, bercampur bau pete dan bau pisang keramat yang mengambang mampu membuat hidung siapapun memilih untuk resign.

Aku menatap benda yang ada di tanganku. Benda inilah yang akan memutuskan apakah diriku bernasib malang atau tidak. Aku tak yakin Radit akan melepaskanku jika aku mengandung anaknya. Radit sering mengatakan padaku bahwa dia ingin memiliki anak dariku.

Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang